Cinta tanpa komitmen membawamu pada keserakahan dan keindahan yang semu, cinta dalam ikatan membawamu pada penerimaan dan keikhlasan. Cinta tanpa komitmen hanya menghadirkan keindahan yang terkadang lekang, sementara cinta dengan komitmen menghadirkan kesadaran untuk menerima kekurangan pasangan.
Dikisahkan bahwa suatu ketika
Plato bertanya makna cinta kepada gurunya. Maka gurunya pun meminta Plato untuk
mengarungi padang gandum sembari berkata, “Ambillah setangkai gandum yang paling
bagus dalam pandanganmu dan kembali kepadaku. Jangan pernah kembali menyusuri
jalan yang pernah engkau lalui.”
Maka Plato pun menyusuri padang
gandum itu. Setiap kali dia melihat tangkai gandum yang bagus dan ingin
memetiknya, dia berpikir bahwa bisa jadi di depan nanti dia akan melihat
tangkai gandum yang lebih indah dan bagus sehingga dia tidak jadi memetiknya. Apa
yang terjadi, sampai ujung ladang dia tidak memetik setangkai gandum pun. Dia melihat
tangkai gandum terakhir ternyata tidak lebih bagus dari apa yang dia lihat
sebelumnya.
Plato datang kembali kepada sang
guru dan gurunya bertanya, “Kenapa tidak kau bawa setangkai pun?” Plato
menceritakan apa yang baru saja dia alami. Maka gurunya berkata kepadanya, “Itulah
makna cinta. Kau akan melewatkan banyak hal yang indah dan kau baru menyadari
bahwa semua yang telah engkau lalui sia-sia begitu saja.”
“Lalu apa makna perkawinan?”
tanya Plato. Maka sang guru bilang, “Sekarang, coba kau lalui hutan dan
cabutlah satu pohon yang paling bagus dan rimbun kemudian bawa kepadaku.
Plato pun masuk ke dalam hutan
dan dia tidak ingin mengalami pengalaman yang sama di padang gandum. Maka dia
pun mencabut sebuah pohon tepat ketika dia memasuki hutan dan membawanya. Tapi ternyata
di tengah perjalanan dia menemukan banyak pohon yang lebih subur dan rimun dibanding
pohon yang dia cabut. Tapi dia sudah terlanjut memilih. Ketika kembali kepada
sang guru, maka sang guru bertanya, “Apa yang kau alami?” Plato menceritakan
semuanya. Kemudian dia memugkasnya, “Meskipun pohon yang aku cabut ini kecil
dan kerdil, toh aku bisa menanamnya sehingga pohon ini bisa lebih subur indah
dan tinggi. Aku hanya perlu merawatnya sehingga aku bisa menyukai pohonku.”
Maka sang guru pun berkata, “Begitulah
hakikat pernikahan.”
Terlepas benar atau tidaknya
cerita ini, pelajaran apa yang bisa kita ambil darinya? Saya yakin setiap kita
sudah bisa menangkap hikmah dibalik kisah tersebut.
Saya tidak akan berpanjang lebar
mengomentari kisah Plato, saya hanya ingin berbagi kisah kehidupan rumah tangga
saya. Jujur saja, saya mengenal istri bukan karena pacaran atau apa pun itu
namanya. saya mengenal istri lewat proses taaruf yang sangat singkat dengan
modal berbagi CV dan berujung nadzor. Hingga pada akhirnya saya memutuskan
untuk mengkhitbahnya. Selama rentang waktu masa khitbah hingga pernikahan, saya
tidak pernah berani chatingan kecuali untuk hal-hal yang sangat urgent, saya
juga tidak pernah berani menelpon calon istri saya kecuali untuk keperluan yang
mendesak. Itu pun dengan bahasa yang sangat formal, singkat dan padat. Sehingga
teman saya berkomentar, “Wah, ini sih kayak komunikasi antara staf dan bos di
kantor aja. Serba simple dan dingin.”
Kemudian saya bertanya ke dalam
hati saya, ‘apakah saya memiliki getar cinta atau perasaan spesial ketika saya
memikirkan dia? Sayangnya tidak. Saya tidak merasakan perasaan yang paling
istimewa sebagaimana kisah-kisah romansa yang saya tonton atau novel romance
yang sering saya baca bahkan saya tulis sendiri. Saya belum pernah merasakan
perasaan paling spesial dan mendebarkan sebelum pernikahan. Bahkan selama
nadzor pun perasaan saya biasa-biasa saja. Apa? Jangan kau anggap saya tidak
normal karena tidak punya ketertarikan pada lawan jenis. Jangan pula tanyakan
orientasi seksual saya. Yang paling menyedihkan, justru debar itu muncul ketika
saya chatingan dengan teman-teman perempuan yang selama ini sangat terbuka dan
sering berkomunikasi secara intens di grup bahasa atau kepenulisan, meski
dengan batas yang wajar. Kenapa?
Dari situ saya mulai berpikir
yang aneh-aneh. Andai saya melanjutkan rencana pernikahan ini, saya khawatir
tidak bisa membahagiakan dan mencintai istri saya. Alasannya? Karena debar itu
belum juga muncul. Saya juga khawatir kehidupan rumah tangga saya akan terasa
hambar dan berujung pada perceraian. Naudzubillah. Apakah saya salah memilih
calon? Apakah saya terkesan tergesa-gesa untuk menerimanya sebagai calon istri
saya? Bagaimana jika saya menyesal? Bagaimana jika saya kecewa? Banyak tanya
yang berlesakan di benak saya. Hingga pada akhirnya saya sandarkan diri saya
kepada Allah. La haula wala quwwata illa billah. Jika dia jodoh saya, Allah
tidak akan pernah salah dengan pilihan-Nya. Jika dia jodoh saya, Allah akan
hadirkan cinta dan kasih sayang di hati saya. Hanya saja, saya hanya perlu menghadirkan,
menanam dan memupuk rasa cinta di hati saya.
Singkat cerita, pernikahan itu
pun terlaksana. Lalu apakah getar itu muncul? Saya tidak akan terburu-buru
untuk menceritakannya. Tapi pertama kali saya menyadari bahwa saya harus
memahami dia memiliki kekurangan dibalik kelebihan yang saya lihat dari
dirinya. Pun saya juga mencoba mawas diri bahwa dia sendiri sudah pasti melihat
banyak kekurangan pada diri saya. Hanya saja, barangkali terkadang dia cukup
malu untuk mengungkapkannya. Sehingga saya selalu bilang kepadanya, “Beb, jika
kamu menemukan satu hal yang membuatmu tidak suka, katakan saja sehingga aku
bisa mengubah laku atau ucapku dan selaras dengan keinginanmu. Tentunya selama
sejalan dalam koridor-Nya.”
Alhamdulillah, hanya Allah tempat
saya memuji atas anugerah cinta yang begitu mendalam di hati saya. Getar demi
getar telah bermunculan di hati saya. Allah menghadirkan cinta di hati saya
seiring berjalannya waktu antara saya dan sang istri tercinta. Pernikahan saya
bar berumur satu minggu ketika saya duduk manis untuk menulis artikel ini. Disaat
yang sama saya merasakan rasa cinta saya semakin membuncah. Mungkin seiring
berjalannya waktu getar cinta dan kasih sayang itu akan semakin bertambah. Itu tergantung
pada diriku. Apakah aku akan menerima atau menggugat dan menatap sebelah mata
kekurangannya. Itu tergantung pada diriku, apakah aku akan jujur dengan
kesetiaan dan penerimaan atau pengkhianatan. Yang jelas, mungkin aku harus
belajar untuk memupuk, merawat dan menyiram cinta itu sehingga semakin rimbun
dengan daun-daun kasih sayang sebagaimana plato yang belajar menerima pohon
kerdil yang terlanjut dia cabut. Karena toh, aku pun mungkin bukan lelaki yang
sempurna di matanya. Karena cinta adalah menerima. Sesederhana itu.
Sebagai penutup, izinkan aku
mengutip puisi Rumi yang mengisi relung hati saya. Puisi ini saya kutip dari
buku Afifah Afra dkk ‘Buanglah Pacar pada Tempatnya.’
Sekalipun cinta telah kuuraikan
dan kujelaskan panjang lebar
Namun jika Cinta kudatangi, aku
jadi mau pada keteranganku sendiri
Meskipun lidahku telah mampu
menguraikan dengan terang
Namun, tanpa lidah, cinta
ternyata lebih terang
Sementara pena begitu
tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping
saat sampai kepada cinta
Dalam menguraikan cinta
Akal terbaring tak berdaya
Bagaikan keledai yang terbaring
dalam lumpur
Cinta sendirilah yang memenangkan
cinta dan pecintanya
_Rumi


No comments:
Post a Comment