31 Mar 2020

Seni Merawat Cinta


Cinta tanpa komitmen membawamu pada keserakahan dan keindahan yang semu, cinta dalam ikatan membawamu pada penerimaan dan keikhlasan. Cinta tanpa komitmen hanya menghadirkan keindahan yang terkadang lekang, sementara cinta dengan komitmen menghadirkan kesadaran untuk menerima kekurangan pasangan.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Plato bertanya makna cinta kepada gurunya. Maka gurunya pun meminta Plato untuk mengarungi padang gandum sembari berkata, “Ambillah setangkai gandum yang paling bagus dalam pandanganmu dan kembali kepadaku. Jangan pernah kembali menyusuri jalan yang pernah engkau lalui.”

Maka Plato pun menyusuri padang gandum itu. Setiap kali dia melihat tangkai gandum yang bagus dan ingin memetiknya, dia berpikir bahwa bisa jadi di depan nanti dia akan melihat tangkai gandum yang lebih indah dan bagus sehingga dia tidak jadi memetiknya. Apa yang terjadi, sampai ujung ladang dia tidak memetik setangkai gandum pun. Dia melihat tangkai gandum terakhir ternyata tidak lebih bagus dari apa yang dia lihat sebelumnya.

Plato datang kembali kepada sang guru dan gurunya bertanya, “Kenapa tidak kau bawa setangkai pun?” Plato menceritakan apa yang baru saja dia alami. Maka gurunya berkata kepadanya, “Itulah makna cinta. Kau akan melewatkan banyak hal yang indah dan kau baru menyadari bahwa semua yang telah engkau lalui sia-sia begitu saja.”

“Lalu apa makna perkawinan?” tanya Plato. Maka sang guru bilang, “Sekarang, coba kau lalui hutan dan cabutlah satu pohon yang paling bagus dan rimbun kemudian bawa kepadaku.

Plato pun masuk ke dalam hutan dan dia tidak ingin mengalami pengalaman yang sama di padang gandum. Maka dia pun mencabut sebuah pohon tepat ketika dia memasuki hutan dan membawanya. Tapi ternyata di tengah perjalanan dia menemukan banyak pohon yang lebih subur dan rimun dibanding pohon yang dia cabut. Tapi dia sudah terlanjut memilih. Ketika kembali kepada sang guru, maka sang guru bertanya, “Apa yang kau alami?” Plato menceritakan semuanya. Kemudian dia memugkasnya, “Meskipun pohon yang aku cabut ini kecil dan kerdil, toh aku bisa menanamnya sehingga pohon ini bisa lebih subur indah dan tinggi. Aku hanya perlu merawatnya sehingga aku bisa menyukai pohonku.”

Maka sang guru pun berkata, “Begitulah hakikat pernikahan.”

Terlepas benar atau tidaknya cerita ini, pelajaran apa yang bisa kita ambil darinya? Saya yakin setiap kita sudah bisa menangkap hikmah dibalik kisah tersebut.

Saya tidak akan berpanjang lebar mengomentari kisah Plato, saya hanya ingin berbagi kisah kehidupan rumah tangga saya. Jujur saja, saya mengenal istri bukan karena pacaran atau apa pun itu namanya. saya mengenal istri lewat proses taaruf yang sangat singkat dengan modal berbagi CV dan berujung nadzor. Hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk mengkhitbahnya. Selama rentang waktu masa khitbah hingga pernikahan, saya tidak pernah berani chatingan kecuali untuk hal-hal yang sangat urgent, saya juga tidak pernah berani menelpon calon istri saya kecuali untuk keperluan yang mendesak. Itu pun dengan bahasa yang sangat formal, singkat dan padat. Sehingga teman saya berkomentar, “Wah, ini sih kayak komunikasi antara staf dan bos di kantor aja. Serba simple dan dingin.”

Kemudian saya bertanya ke dalam hati saya, ‘apakah saya memiliki getar cinta atau perasaan spesial ketika saya memikirkan dia? Sayangnya tidak. Saya tidak merasakan perasaan yang paling istimewa sebagaimana kisah-kisah romansa yang saya tonton atau novel romance yang sering saya baca bahkan saya tulis sendiri. Saya belum pernah merasakan perasaan paling spesial dan mendebarkan sebelum pernikahan. Bahkan selama nadzor pun perasaan saya biasa-biasa saja. Apa? Jangan kau anggap saya tidak normal karena tidak punya ketertarikan pada lawan jenis. Jangan pula tanyakan orientasi seksual saya. Yang paling menyedihkan, justru debar itu muncul ketika saya chatingan dengan teman-teman perempuan yang selama ini sangat terbuka dan sering berkomunikasi secara intens di grup bahasa atau kepenulisan, meski dengan batas yang wajar. Kenapa?

Dari situ saya mulai berpikir yang aneh-aneh. Andai saya melanjutkan rencana pernikahan ini, saya khawatir tidak bisa membahagiakan dan mencintai istri saya. Alasannya? Karena debar itu belum juga muncul. Saya juga khawatir kehidupan rumah tangga saya akan terasa hambar dan berujung pada perceraian. Naudzubillah. Apakah saya salah memilih calon? Apakah saya terkesan tergesa-gesa untuk menerimanya sebagai calon istri saya? Bagaimana jika saya menyesal? Bagaimana jika saya kecewa? Banyak tanya yang berlesakan di benak saya. Hingga pada akhirnya saya sandarkan diri saya kepada Allah. La haula wala quwwata illa billah. Jika dia jodoh saya, Allah tidak akan pernah salah dengan pilihan-Nya. Jika dia jodoh saya, Allah akan hadirkan cinta dan kasih sayang di hati saya. Hanya saja, saya hanya perlu menghadirkan, menanam dan memupuk rasa cinta di hati saya.

Singkat cerita, pernikahan itu pun terlaksana. Lalu apakah getar itu muncul? Saya tidak akan terburu-buru untuk menceritakannya. Tapi pertama kali saya menyadari bahwa saya harus memahami dia memiliki kekurangan dibalik kelebihan yang saya lihat dari dirinya. Pun saya juga mencoba mawas diri bahwa dia sendiri sudah pasti melihat banyak kekurangan pada diri saya. Hanya saja, barangkali terkadang dia cukup malu untuk mengungkapkannya. Sehingga saya selalu bilang kepadanya, “Beb, jika kamu menemukan satu hal yang membuatmu tidak suka, katakan saja sehingga aku bisa mengubah laku atau ucapku dan selaras dengan keinginanmu. Tentunya selama sejalan dalam koridor-Nya.”

Alhamdulillah, hanya Allah tempat saya memuji atas anugerah cinta yang begitu mendalam di hati saya. Getar demi getar telah bermunculan di hati saya. Allah menghadirkan cinta di hati saya seiring berjalannya waktu antara saya dan sang istri tercinta. Pernikahan saya bar berumur satu minggu ketika saya duduk manis untuk menulis artikel ini. Disaat yang sama saya merasakan rasa cinta saya semakin membuncah. Mungkin seiring berjalannya waktu getar cinta dan kasih sayang itu akan semakin bertambah. Itu tergantung pada diriku. Apakah aku akan menerima atau menggugat dan menatap sebelah mata kekurangannya. Itu tergantung pada diriku, apakah aku akan jujur dengan kesetiaan dan penerimaan atau pengkhianatan. Yang jelas, mungkin aku harus belajar untuk memupuk, merawat dan menyiram cinta itu sehingga semakin rimbun dengan daun-daun kasih sayang sebagaimana plato yang belajar menerima pohon kerdil yang terlanjut dia cabut. Karena toh, aku pun mungkin bukan lelaki yang sempurna di matanya. Karena cinta adalah menerima. Sesederhana itu.

Sebagai penutup, izinkan aku mengutip puisi Rumi yang mengisi relung hati saya. Puisi ini saya kutip dari buku Afifah Afra dkk ‘Buanglah Pacar pada Tempatnya.’

Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar
Namun jika Cinta kudatangi, aku jadi mau pada keteranganku sendiri
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang
Namun, tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping saat sampai kepada cinta
Dalam menguraikan cinta
Akal terbaring tak berdaya
Bagaikan keledai yang terbaring dalam lumpur
Cinta sendirilah yang memenangkan cinta dan pecintanya
_Rumi


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment