Saya terkesan dengan ucapan
selamat yang dikirimkan seorang ikhwah lewat whastapp, tepat sehari setelah
akad nikah saya berlangsung. Pesan yang dikirimkannya berbeda dengan ratusan
ucapan selamat yang saya terima. Yang ini beda dari yang lain. Selain mengucapkan
doa keberkahan untuk saya dan istri, ikhwah yang satu ini memungkas pesannya
dengan kalimat berikut, “Semoga pernikahan ini menjadi pelecut untuk semakin
bersemangat dalam berdakwah, bukan malah jauh dari medan dakwah.”
Aku tercenung. Hmm, apakah ada
korelasi yang jelas antara semangat berdakwah dengan perniakahan? Lama saya
merenungkan hal ini hingga pada akhirnya saya menulis artikel ini setelah saya
yakin dengan perenungan saya.
Tentunya kita sudah tidak asing
lagi dengan istri Baginda Rasulullah saw tercinta, Khadijrah radiyallahu anha. Tahukah
kamu bahwa dari pernikahan pertama Rasulullah saw ini menjadi penyokong utama
dan penggerak utama dakwah sang Utusan.
Khadijahlah yang rela
mengorbankan hartanya untuk menyokong dakwah sang suami tercinta. Khadijahlah yang
mendukung dan memberi motivasi sang suami hingga hati dan jiwanya menjadi
tenang dan tentram. Khadijah juga yang senantiasa menyuntikan optimisme kepada
sang Nabi bahwa dia adalah hamba pilihan. Tak heran jika Rasulullah saw selalu
mengingat istri pertamanya tersebut meski sudah meninggal dunia. Tersebab hal
ini, Aisyah radiyallahu anda menjadi cemburu karenanya. Lihatlah, betapa karena
pernikahan tersebut Rasulullah mendapatkan penyokong dakwah yang mencurahkan
waktu, tenaga, dan harta demi keberlangsungan dakwah. Dan pada akhirnya sejarah
pun banyak mencatat istri-istri luar biasa yang menyokong aktifitas dakwah sang
suami.
Tapi perlu diingat juga bahwa tidak
sedikit pula para istri yang justru menjadi batu sandungan dan penghalang
dakwah sang suami. Di sebuah forum halaqoh tarbiyah saya pernah mendengar kisah
tentang seorang ikhwah bernama fulan yang justru menghilang dari peredaran
dakwah setelah menikah.
Usut punya usut, si fulan
meninggalkan dakwah karena merasa bahwa waktunya habis untuk istri dan
anak-anaknya. Keluarga yang dia bina menjadi excuse untuk meninggakan amal jama’i
dan medan dakwah dimana dulu dia tumbuh.
Maka, dari pesan yang dikirimkan
sang teman itu saya disadarkan untuk hati-hati sehingga pernikahan ini bukan
menjadi awal dari absennya jiwa saya dari amal dakwah. Saya disadarkan bahwa
hendaknya saya mawas diri dan menjadikan pernikahan ini sebagai babak baru dari
amal dakwah yang harus saya tempuh. Sebagaimana kisah Rasulullah saw dan
Khadijah. Hanya saja istri saya bukan seorang janda. :D
Pertanyaannya, kenapa ada
seseorang yang justru berubah menjadi buruk setelah menikah? Buruk disini bisa
jadi banyak macamnya, bukan hanya berbicara tentang medan dakwah. Dalam kesempatan
yang lain saya pernah membaca tentang seorang lelaki yang tak lagi
memperhatikan kedua orang tuanya yang sudah renta karena ‘kesibukannya’ dengan
sang istri. ada juga yang mendapatkan istri
yang buruk (naudzubillah) sehingga dia ikut-ikutan menjadi buruk karena rasa ‘cintanya’
yang begitu besar kepada sang istri.
Dari sinilah kita harus memetakan
rasa cinta dalam hirarki cinta yang benar, sehingga cinta yang hadir di hati
kita tidak tersesat di lembah kehancuran.
Memangnya cinta ada hirarkinya? Tentu
saja ada. Dan hirarki ini tidak boleh
dibolak-balik. Urutan yang pertama tidak boleh diletakan pada urutan yang
kedua, apalagi diletakan pada urutan yang terakir. Jika hal itu dilakukan, maka
tunggulah kehancuran dan penyesalan.
Lalu seperti apa sih hirari cinta
yang benar. Mari saya paparkan disini
Pertama, cinta kepada Allah Swt
yang melahirkan konsekuensi berupa penghambaan
Kedua, Cinta kepada Rasulullah
saw yang memberkan konsekuensi berupa meneladani sunnah-sunnahnya
Ketiga, cinta kepada keluarga
(orang tua, pasangan, anak-anak) yang memberikan konsekuensi berupa sakinah,
mawaddah dan warohmah
Keempat, cinta kepada sesama
muslim yang memberikan konsekuensi berupa ukhuwah islamiyah
Kelima, cinta kepada sesama
manusia, khususnya yang berkaitan dengan humanity dan empati yang
konsekuensinya berupa dakwah islamiyah.
Keenam, cinta kepada
benda-benda/alam yang konsekuensinya pemanfaatan dan perawatan sebaik-baiknya.
Kemudian muncullah tanya,
bagaimana saya harus membagi cinta. Berapa prosentasi cinta untuk Allah, untuk
kelurga dan untuk sesama muslim dan lain-lainnya. Ribet? Tidak juga. Selama cinta
kepada Allah swt diletakan pada urutan yang pertama, maka cinta-cinta yang
lainnya sejatinya telah mengikuti dan
menjadi konsekuensi cinta kepada Allah swt. Cinta seorang istri kepada suami
atau sebaliknya adalah manifestasi dari cinta kepada Allah swt. Karena Allah
swt memerintahkannya untuk mencintai pasangan. Pun dengan cinta kepada orang
tua, sesama muslim dan ummat manusia. Sebaliknya, jika cinta selain kepada
Allah swt diletakan di tingkat yang pertama, maka cinta kepada Allah swt akan
dikorbankan begitu saja.

No comments:
Post a Comment