31 Mar 2020

Hirarki Cinta


Saya terkesan dengan ucapan selamat yang dikirimkan seorang ikhwah lewat whastapp, tepat sehari setelah akad nikah saya berlangsung. Pesan yang dikirimkannya berbeda dengan ratusan ucapan selamat yang saya terima. Yang ini beda dari yang lain. Selain mengucapkan doa keberkahan untuk saya dan istri, ikhwah yang satu ini memungkas pesannya dengan kalimat berikut, “Semoga pernikahan ini menjadi pelecut untuk semakin bersemangat dalam berdakwah, bukan malah jauh dari medan dakwah.”

Aku tercenung. Hmm, apakah ada korelasi yang jelas antara semangat berdakwah dengan perniakahan? Lama saya merenungkan hal ini hingga pada akhirnya saya menulis artikel ini setelah saya yakin dengan perenungan saya.

Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan istri Baginda Rasulullah saw tercinta, Khadijrah radiyallahu anha. Tahukah kamu bahwa dari pernikahan pertama Rasulullah saw ini menjadi penyokong utama dan penggerak utama dakwah sang Utusan.

Khadijahlah yang rela mengorbankan hartanya untuk menyokong dakwah sang suami tercinta. Khadijahlah yang mendukung dan memberi motivasi sang suami hingga hati dan jiwanya menjadi tenang dan tentram. Khadijah juga yang senantiasa menyuntikan optimisme kepada sang Nabi bahwa dia adalah hamba pilihan. Tak heran jika Rasulullah saw selalu mengingat istri pertamanya tersebut meski sudah meninggal dunia. Tersebab hal ini, Aisyah radiyallahu anda menjadi cemburu karenanya. Lihatlah, betapa karena pernikahan tersebut Rasulullah mendapatkan penyokong dakwah yang mencurahkan waktu, tenaga, dan harta demi keberlangsungan dakwah. Dan pada akhirnya sejarah pun banyak mencatat istri-istri luar biasa yang menyokong aktifitas dakwah sang suami.

Tapi perlu diingat juga bahwa tidak sedikit pula para istri yang justru menjadi batu sandungan dan penghalang dakwah sang suami. Di sebuah forum halaqoh tarbiyah saya pernah mendengar kisah tentang seorang ikhwah bernama fulan yang justru menghilang dari peredaran dakwah setelah menikah.

Usut punya usut, si fulan meninggalkan dakwah karena merasa bahwa waktunya habis untuk istri dan anak-anaknya. Keluarga yang dia bina menjadi excuse untuk meninggakan amal jama’i dan medan dakwah dimana dulu dia tumbuh.

Maka, dari pesan yang dikirimkan sang teman itu saya disadarkan untuk hati-hati sehingga pernikahan ini bukan menjadi awal dari absennya jiwa saya dari amal dakwah. Saya disadarkan bahwa hendaknya saya mawas diri dan menjadikan pernikahan ini sebagai babak baru dari amal dakwah yang harus saya tempuh. Sebagaimana kisah Rasulullah saw dan Khadijah. Hanya saja istri saya bukan seorang janda. :D

Pertanyaannya, kenapa ada seseorang yang justru berubah menjadi buruk setelah menikah? Buruk disini bisa jadi banyak macamnya, bukan hanya berbicara tentang medan dakwah. Dalam kesempatan yang lain saya pernah membaca tentang seorang lelaki yang tak lagi memperhatikan kedua orang tuanya yang sudah renta karena ‘kesibukannya’ dengan sang istri. ada juga yang mendapatkan  istri yang buruk (naudzubillah) sehingga dia ikut-ikutan menjadi buruk karena rasa ‘cintanya’ yang begitu besar kepada sang istri.

Dari sinilah kita harus memetakan rasa cinta dalam hirarki cinta yang benar, sehingga cinta yang hadir di hati kita tidak tersesat di lembah kehancuran.

Memangnya cinta ada hirarkinya? Tentu saja ada.  Dan hirarki ini tidak boleh dibolak-balik. Urutan yang pertama tidak boleh diletakan pada urutan yang kedua, apalagi diletakan pada urutan yang terakir. Jika hal itu dilakukan, maka tunggulah kehancuran dan penyesalan.

Lalu seperti apa sih hirari cinta yang benar. Mari saya paparkan disini

Pertama, cinta kepada Allah Swt yang melahirkan konsekuensi berupa penghambaan
Kedua, Cinta kepada Rasulullah saw yang memberkan konsekuensi berupa meneladani sunnah-sunnahnya
Ketiga, cinta kepada keluarga (orang tua, pasangan, anak-anak) yang memberikan konsekuensi berupa sakinah, mawaddah dan warohmah
Keempat, cinta kepada sesama muslim yang memberikan konsekuensi berupa ukhuwah islamiyah
Kelima, cinta kepada sesama manusia, khususnya yang berkaitan dengan humanity dan empati yang konsekuensinya berupa dakwah islamiyah.
Keenam, cinta kepada benda-benda/alam yang konsekuensinya pemanfaatan dan perawatan sebaik-baiknya.

Kemudian muncullah tanya, bagaimana saya harus membagi cinta. Berapa prosentasi cinta untuk Allah, untuk kelurga dan untuk sesama muslim dan lain-lainnya. Ribet? Tidak juga. Selama cinta kepada Allah swt diletakan pada urutan yang pertama, maka cinta-cinta yang lainnya  sejatinya telah mengikuti dan menjadi konsekuensi cinta kepada Allah swt. Cinta seorang istri kepada suami atau sebaliknya adalah manifestasi dari cinta kepada Allah swt. Karena Allah swt memerintahkannya untuk mencintai pasangan. Pun dengan cinta kepada orang tua, sesama muslim dan ummat manusia. Sebaliknya, jika cinta selain kepada Allah swt diletakan di tingkat yang pertama, maka cinta kepada Allah swt akan dikorbankan begitu saja.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment