Handuk basah itu kembali tergeletak di atas kasur. Ini yang
membuat Lisa selalu menggerutu dan mendecakan lidah. Dan handuk itu teronggok
di atas kasur bukan untuk pertama kalinya. Tapi yang kesekian kalinya. Menyisakan
jejak lembab dan basah di seprey.
Entah kapan Andi bisa hidup teratur seperti yang dia
harapkan. Bagi Lisa, menjadi istri Andi sama saja mengurus seorang anak balita
yang jorok dan menjengkelkan. Tentu saja ini bukan masalah handuk basah. Tapi juga
tentang baju kotor yang tidak disimpan di keranjang cucian atau langsung tidur
di atas ranjang dengan sepatu yang masih terpasang di kaki. Oh God, yang benar
saja! Lisa yang selalu memperhatikan kebersihan harus sabar menghadapi seorang
suami macam Andi?
“Bagus sekali ada handuk basah di tempat tidur.” Ujar Lisa
dengan nada sinis. Ia memungut handuk dan membawanya keluar tanpa menunggu
respon suaminya. Pun Andi tak mau tahu dengan ocehan istrinya, ia menyumpal
kupingnya dengan headset dan pura-pura tak dengar.
Di hari kemarin istrinya masih mengeluarkan sindiran karena
masalah yang sama. Bagi Andi itu masalah sepele yang tidak perlu membuat Lisa
marah dan mendelik kejam.
“Kapan handuk bisa jalan sendiri ke jemuran?”
Andi hanya mendengus dan berujar, “Tidakkah kau tahu
bagaimana suami merasa lelah setelah seharian berkutat dengan kerjaan di kantor. Jadi kamu tidak perlu
mengomel tentang handuk itu.”
“Oh, memangya berapa
ton berat handuk ini sehingga kamu tidak bisa membawanya ke tempat jemuran. Atau
berapa jam waktu yang kamu gunakan untuk mengantarkannya ke jemuran. Kamu hanya
malas dan jorok!”
Nah, sindiran itu adalah sindiran yang paling pedas yang
keluar dari mulut Lisa. Itu omelannya yang kemarin dan masih membuat Andi
kesal.
***
Lisa hanya merasa heran kenapa suaminya tak juga berubah. Padahal
dia sudah berkali-kali mengomel dan menasihati Andi layaknya seorang ibu
menasihati anak pertamanya yang sedang duduk di kelas satu SD.
Andi seakan-akan sengaja meletakan handuk basah itu di kasur
untuk mengundang kejengkelan dan kemarahannya. Jelas Andi senang membuat
dirinya jengkel. Maka hari itu, ketika ibunya datang bertandang Lisa curhat
tentang kelakuan suaminya.
“Saya merasa capek dengan tingkah Andi bu. Dia itu jorok dan
hidupnya nggak mau diatur.”
“Lelaki memang begitu.” Ujar Ibunya sembari menyeruput teh
hangat yang baru saja dihidangkan putri semata wayangnya itu.
“Ah masa! Jorok ya jorok! Mas Pram tidak begitu. Papa juga
tidak. Hanya Andi yang bisa meletakan handuk basah di atas kasur. Sepertinya dia
tak pernah diajari mamanya.”
“Nah, berarti jika begitu, kamu yang harus mengajarinya.”
Lisa mendecakan lidahnya dan berkata, “Mulutku sudah berbusa
tentang aturan ‘handuk basah simpan di jemuran sisi jendela.’ Tapi dia tak
pernah mendengarnya. Dia sepertinya sengaja ingin membuat Lisa kesal dan marah.”
“Caramu salah.” Ujar ibu Lisa. Kali ini dia mencomot biscuit
gandum dari piring porselen.
“Lho, kok ibu jadi menyalahkan Lisa sih?”
“Lis, mengubah orang lain itu memang gampang-gampang susah. Apalagi
untuk hal yang sudah menjadi kebiasaan dia sejak kecil. Cobalah kamu ubah cara
pandangmu dan sikapmu.”
“Gimana caranya?”
“Sini, ibu akan kasih tahu…”
***
Sore itu Andi sudah pulang dan langsung bergegas menuju
kamar mandi. Dan tentu saja seperti biasa dia membiarkan si handuk basah
berwarna hijau miliknya tergeletak begitu saja di kasur. Setelah itu Andi
memakai kaus oblong dan kolor, kemudian rebahan di kasur sembari memainkan
gadgetnya.
Lisa yang sedang membaca di sofa menghela nafas dan berkata
di dalam hati,
Baiklah, handuk basah ini akan menjadi permadani di surga
nanti. Makin banyak aku memindahkan handuk basah ke jemuran, makin banyak
permadani indahku di surga.
Lisa tersenyum dan bergegas memungut handuk tersebut dan
membawanya keluar. Andi hanya meliriknya sebentar tanpa ekspresi. Setelah itu
kembali tenggelam dengan gadget di genggamannya.
Lisa mencoba menghadirkan perasaan bahagia di hatinya. Setelah
itu Lisa beranjak ke dapur dan membuatkan teh hangat untuk Andi dan membawa
sepiring brownies yang siang tadi dia beli dari lapak Bik Sum.
“Andy, kamu lelah ya. nih aku buatkan teh.”
Andi menatap Lisa heran. “Terimakasih.” Ujarnya lirih dan
datar. Ia meletakan gadget dan meminum teh panas buatan istrinya.
“Browniesnya juga cobain Ndy, tadi aku beli dari bik Sum.”
Andi tersenyum dan mencomot satu iris Brownies dari piring.
***
Sore itu seperti biasa Lisa membuat teh dan menyajikan biscuit
untuk Andi. Dia beranjak ke kamar dan didapatinya Andi sudah memakai kausnya
dan berkolor. Dia juga sudah duduk santai di atas kasur. Tapi ajaib! Kali ini
handuk itu tidak lagi tergeletak di atas kasur.
“Lho, handuknya kemana? Handuknya sudah bisa jalan sendiri
ke jemuran ya Ndy.”
“Iya.” Ujar Andi dengan senyum dikulum. “Aku tidak tega
membuat istriku yang cantik ini selalu jengkel setiap sore. Lagipula dia sudah mau
menghidangkan teh manis dan kue setiap aku pulang kerja.”
Lisa mendecakan lidahnya. “Oh, jadi perkara handuk basah ini
semacam protes tidak langsung ya.”
“Bisa jadi.” Jawab Andi pendek.
Senyum lisa merekah. Dia menyimpan teh dan kue di atas meja
kecil. Lisa jadi teringat nasihat ibunya pekan lalu, “Kadang ada hal yang sulit
kita ubah pada orang lain. Jika ingin hasil yang lebih baik, maka ubahlah diri
kita lebih dulu. Bahagia, sedih, syukur, mengeluh, semua adalah tergantung diri
kita. Kitalah yang memilih.”
Sore itu Lisa menikmati sore dengan secangkir teh hangat dan
kue yang dia bikin sendiri. dia rebahan bersama Andi dengan perasaan bahagia.
No comments:
Post a Comment