29 Nov 2019

Pluralisme Harakah; Perjalanan Panjang di Kafilah Dakwah


Jika selama ini kaum liberal menggembar-gemborkan faham plurasime agama yang menganggap semua agama adalah sama dan mengajarkan kebaikan, maka agaknya saya ingin memperkenalkan pluralisme harokah. Karena saya berpandangan, semua harokah islam sama-sama memperjuangkan ummat islam menuju kejayaan. Hanya cara, wasilah dan kendaraan yang mereka tempuh berbeda satu sama lain. Mungkin cara dawkah yang ditempuh oleh HTI berbeda dengan cara dakwah ikhwah di gerakan tarbiyah PKS. Tapi jika kita sama-sama tanya untuk apa mereka berjuang, maka tentu mereka akan menjawab, ‘Kami berjuang untuk islam.’

Baiklah, izinkan saya sedikit bernostalgia. Dulu, saya begitu jatuh cinta terhadap gerakan PKS. Saya kagum dengan aksi-aksi social mereka yang tanpa pamrih. Saya suka nasyid-nasyid mereka yang membumi, saya terpesona dengan idealisme yang mereka tawarkan. Sehingga saya akrab dengan tulisan-tulisan para ‘gegeden’ mereka. Tulisan Anis Matta, Lili Nur Aulia, dan syaikhu Tarbiyah Rahmat Abdullah telah habis saya baca.

Dari PKS juga saya mulai mengenal sosok Hasan al-Bana sebagai pendiri gerakan dakwah yang membumi ke seantoro penjuru. Ikhwanul muslimin. Dan kelak saya mengakrabi karya Sayid Qutb sebagai lokomotif gerakan tersebut di masa selanjutnya.

Lambat tapi pasti, saya tidak hanya mengenal PKS, tapi juga mulai curi-curi pandang dengan gerakan HTI. Bagaimana tidak, saya sudah tidak asing dengan konsep ‘kembali menuju khilafah’ lewat majalah corong HTI, Al-Wa’ie. Belum lagi media ummat yang membawa saya kepada pemahaman yang komprehensif. Sejatinya, saya tidak pernah mengikuti gerakan HTI. Tapi pernah ikut konferensi khilafah yang diadakan di GBK Senayan bersama teman-teman satu pondok. Waktu itu HTI belum dilarang keberadaannya. Yang lebih unik lagi, itu pondok dengan faham NII, tapi ikut konferensi khilafah-nya HTI. Ajib kan. Jadi, usut punya usut, pemimpin pondok kami yang NII itu juga sangat akrab bersahabat dengan sesama ikhwah HTI.

Pada beberapa tahun setelahnya, saya mulai mengenal ustadz Felix Siauw yang membuat saya kagum dengan pemahamannya yang konfrehensif tentang khilafah. (btw, jika ingin tahu tentang khilafah secara menyeluruh, saya sarankan baca karya beliau yang berjudul ‘khilafah remake’). Dari sana saya mengambil kesimpulan bahwa teman-teman HTI memiliki satu titik temu, ‘Tidak ada solusi yang paling relevan untuk mengembalikan kejayaan selain kembali kepada khilafah.’

Setelah itu, saya mulai mengenal HASMI. Sebuah gerakan dakwah yang memplopori dakwah menuju kemurnian islam, tapi dengan fleksibelitas yang begitu indah. Jika Salafi terkesan rigid, maka HASMI menawarkan konsep dakwah yang fleksibel, tapi tak pernah lepas dari koridor salafush shalih.

Di bawah naungan Hasmi saya mulai menyadari bahwa, islam memang tidak layak dikawinkan dengan demokrasi, dan solusi utama dari permasalahan ummat tidak selalu harus diawali dengan berdirinya khilafah. Semua harus diawali dari gerakan dakwah dari bawah dan dakwah yang selalu berkesinambungan.

Disini, saya tidak menihilkan PKS, apalagi mengecilkan HTI. Tidak juga merasa jumawa dengan keberadaan saya di HASMI. Setiap gerakan dan harokah dakwah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak bisa dilampui oleh selain mereka. PKS memiliki prestasi yang tidak bisa dilalui HTI. Pun sebaliknya. Masing-masing dari mereka, memiliki kontribusi yang tidak layak dinihilkan.

Maka, bagi saya, semua kita adalah sama. Sama-sama untuk berjuang demi tingginya kalimat Allah di bumi Indonesia khususnya, dan di dunia umumnya. Bhineka tunggal ika.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment