Jika selama
ini kaum liberal menggembar-gemborkan faham plurasime agama yang menganggap
semua agama adalah sama dan mengajarkan kebaikan, maka agaknya saya ingin
memperkenalkan pluralisme harokah. Karena saya berpandangan, semua harokah
islam sama-sama memperjuangkan ummat islam menuju kejayaan. Hanya cara, wasilah
dan kendaraan yang mereka tempuh berbeda satu sama lain. Mungkin cara dawkah yang
ditempuh oleh HTI berbeda dengan cara dakwah ikhwah di gerakan tarbiyah PKS.
Tapi jika kita sama-sama tanya untuk apa mereka berjuang, maka tentu mereka
akan menjawab, ‘Kami berjuang untuk islam.’
Baiklah,
izinkan saya sedikit bernostalgia. Dulu, saya begitu jatuh cinta terhadap
gerakan PKS. Saya kagum dengan aksi-aksi social mereka yang tanpa pamrih. Saya suka
nasyid-nasyid mereka yang membumi, saya terpesona dengan idealisme yang mereka
tawarkan. Sehingga saya akrab dengan tulisan-tulisan para ‘gegeden’ mereka. Tulisan
Anis Matta, Lili Nur Aulia, dan syaikhu Tarbiyah Rahmat Abdullah telah habis saya
baca.
Dari PKS
juga saya mulai mengenal sosok Hasan al-Bana sebagai pendiri gerakan dakwah
yang membumi ke seantoro penjuru. Ikhwanul muslimin. Dan kelak saya mengakrabi
karya Sayid Qutb sebagai lokomotif gerakan tersebut di masa selanjutnya.
Lambat tapi
pasti, saya tidak hanya mengenal PKS, tapi juga mulai curi-curi pandang dengan
gerakan HTI. Bagaimana tidak, saya sudah tidak asing dengan konsep ‘kembali
menuju khilafah’ lewat majalah corong HTI, Al-Wa’ie. Belum lagi media ummat
yang membawa saya kepada pemahaman yang komprehensif. Sejatinya, saya tidak
pernah mengikuti gerakan HTI. Tapi pernah ikut konferensi khilafah yang
diadakan di GBK Senayan bersama teman-teman satu pondok. Waktu itu HTI belum
dilarang keberadaannya. Yang lebih unik lagi, itu pondok dengan faham NII, tapi
ikut konferensi khilafah-nya HTI. Ajib kan. Jadi, usut punya usut, pemimpin
pondok kami yang NII itu juga sangat akrab bersahabat dengan sesama ikhwah HTI.
Pada beberapa
tahun setelahnya, saya mulai mengenal ustadz Felix Siauw yang membuat saya
kagum dengan pemahamannya yang konfrehensif tentang khilafah. (btw, jika ingin
tahu tentang khilafah secara menyeluruh, saya sarankan baca karya beliau yang
berjudul ‘khilafah remake’). Dari sana saya mengambil kesimpulan bahwa
teman-teman HTI memiliki satu titik temu, ‘Tidak ada solusi yang paling relevan
untuk mengembalikan kejayaan selain kembali kepada khilafah.’
Setelah itu,
saya mulai mengenal HASMI. Sebuah gerakan dakwah yang memplopori dakwah menuju
kemurnian islam, tapi dengan fleksibelitas yang begitu indah. Jika Salafi
terkesan rigid, maka HASMI menawarkan konsep dakwah yang fleksibel, tapi tak
pernah lepas dari koridor salafush shalih.
Di bawah
naungan Hasmi saya mulai menyadari bahwa, islam memang tidak layak dikawinkan
dengan demokrasi, dan solusi utama dari permasalahan ummat tidak selalu harus
diawali dengan berdirinya khilafah. Semua harus diawali dari gerakan dakwah
dari bawah dan dakwah yang selalu berkesinambungan.
Disini, saya
tidak menihilkan PKS, apalagi mengecilkan HTI. Tidak juga merasa jumawa dengan
keberadaan saya di HASMI. Setiap gerakan dan harokah dakwah memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing yang tidak bisa dilampui oleh selain mereka. PKS
memiliki prestasi yang tidak bisa dilalui HTI. Pun sebaliknya. Masing-masing
dari mereka, memiliki kontribusi yang tidak layak dinihilkan.
Maka, bagi
saya, semua kita adalah sama. Sama-sama untuk berjuang demi tingginya kalimat
Allah di bumi Indonesia khususnya, dan di dunia umumnya. Bhineka tunggal ika.
No comments:
Post a Comment