Saya merasa bangga dengan identitas sunda saya. Sampai-sampai
saya sendiri memiliki komitmen untuk membaca minimal satu novel sunda di setiap
bulan untuk mengasah kemampuan bahasa ibu saya. Saya juga merasa bangga dengan
kebangsaan Indonesia. Bangga menjadi orang Indonesia dan NKRI akan selalu ada
dalam pikiran saya, meski bukan menjadi harga mati yang mengalahkan segalanya.
Tapi tetap saja semua kebanggaan yang ada tidak ada
apa-apanya dibanding dengan kebanggaan atas prinsip agama. Semua boleh
berganti, tapi agama yang menjadi harga mati.
Inspirasi menulis tentang budaya dan rasa bangga ini
tiba-tiba saja muncul selepas obrolan panjang saya dengan seorang saudara
muslim asal India, Seikh Maseh Asgar. (Seikh sendiri nama satu rumpun marga
selain Khan dan Ansari di India)
Saya bertanya, apakah kamu suka menari dan menyanyi. Mengingat
setiap kali saya teringat India, maka yang ada di benak saya adalah tarian dan
nyanyian sebagai representasi budaya India yang ditampilkan di film-film. Ada nikahan,
nyanyi dan nari, ada pesta kecil nari dan nyanyi, sedih sedikit nyanyi, gembira
apalagi. Kupikir, ini mungkin sudah jadi budaya mereka.
Maka teman muslim saya bilang, “Saya tidak suka menari,
bahkan saya sendiri tidak mengetahuinya dan tidak mau tahu. Ini sangat
berbahaya dalam kultur agama kita. bahkan muslim India tidak melakukan itu
semua. Itu semua hanya budaya hindu.”
Saya terkagum-kagum. Sepertinya saya tidak ada apa-apanya
dibanding ghiroh si Seikh terhadap agamanya.
Saya juga jadi teringat cerita teman indonesia yang kuliah
di India. Dia bilang, orang hindu India juga tidak tahu menahu tentang legenda
Mahabrata. Bagaimana mungkin orang-orang Hindu, di negeri induk agama Hindu,
tidak tahu menahu tentang legenda hindu Mahabrata. Sementara di Indonesia yang
berpenduduk muslim, legenda itu begitu dikenal.
Dari semua fakta ini. Saya belajar bahwa agama adalah
prinsip dasar yang menjadi dasar bagi kebanggaan, identitas dan solidaritas. Bukan
berarti kita menolak budaya lain, bukan pula tidak ada solidaritas terhadap
mereka diluar agama kita. hanya saja, baik dan buruk suatu budaya, selalu harus
ditimbang lewat kacamata agama.
===============================================
Muslim tapi nama depannya ‘tuhannya hindu’
Seorang teman yang kuliah di India pernah bilang bahwa
teman-teman Indianya suka heran dengan nama-nama muslim India. Sumber dari rasa
heran mereka adalah soal nama.
Ketika mereka bertanya, ‘Siapa namamu?’
Maka ada teman Indonesia yang nama awalnya Surya, Darma, Candra
dan semacamnya. Otomatis si teman India itu heran, kenapa namanya kok berbau
hindu. Sebagaimana kita tahu semua nama itu sudah biasa dipakai dalam
masyarakat kita. Dan perlu kita tahu nama-nama tersebut diambil dari nama-nama
sansakerta yang berakar sama dengan bahasa hindi.
Tapi kata teman saya, yang lebih mengagetkan orang hindu
india adalah ketika ada seorang muslim Indonesia bernama Wisnu. Wisnu atau Visnu itu kan nama salahsatu tuhannya
orang hindu.
“Kok bisa nama kamu memakai nama tuhan?”
Nah, kalo sudah gitu, hanya bisa tertawa sekaligus meringis.
Well, Shakespeare bilang, ‘Apalah arti sebuah nama.’ Nama itu
bagi segelintir orang mungkin tidak menjadi soal yang berarti. Tapi bagi
kebanyakan orang nama sangatlah berarti. Sampai-sampai orang-orang Jawa yang
percaya mitos, harus sering mengganti nama anaknya karena sering sakit-sakitan.
Tapi, dengan budaya Indonesia, aku pikir nama-nama yang aku
sebutkan di atas bukan menjadi alasan kamu (yang kebetulan namanya Wisnu) untuk
mengubah nama. Toh, dalam kultur masyarakat kita, itu bukan berarti pengakuan
terhadap budaya hindu, apalagi tuhan Hindu.
No comments:
Post a Comment