APA yang pertama kali kamu pikirkan ketika kamu mendengar
kata ‘diet’? mungkin benakmu akan langsung mengasosiasikan dengan program
penurunan badan atau pembentukan tubuh yang ideal dan proporsional. Yup, selama
ini kita hanya mengenal istilah diet dalam makanan.
Memang pada umumnya diet itu berhubungan dengan berat badan.
Misalkan, kamu merasa kelebihan berat badan, lalu kamu pun memutuskan untuk
diet karbohidrat. Atau tubuh kamu terindikasi diabetes, maka kamu memutuskan
untuk diet gula.
Nah, pernah mendengar tentang diet membaca? Atau baru
mendengar atau membacanya di artikel ini?
Lalu bagaimana diet membaca itu?
Mari kita simak sebuah kisah menarik yang saya sadur dari
buku ‘Positive Parenting’ karya ustadz Muhammad Faudzil Adzim.’
Namanya Jennifer. Lahir pada September 1984 dari rahim
seorang ibu bernama Marcia Thomas. Ketika para ibu umumnya menyambut bayinya
dengan penug rasa bahagia dan suka cita (kecuali yang hamil "secara tidak
sengaja"), Marcia Thomas justru sebaliknya. Ada kecemasan ketika
memandangi anaknya. Jennifer tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan yang wajar
seperti lazimnya para bayi. Responsponnya lambat dan ekspresinya tampak lain.
Kelak kekhawatiran Marcia Thomas terjawab. Berdasarkan hasil
pemeriksaan para ahli, Jennifer dinyatakan positif menderita
down-syndrome--suatu jenis keterbelakangan mental yang ditandai oleh rendahnya
IQ sehingga tidak memungkinkan seseorang hidup secara wajar. Tidak itu saya,
pada usia dua bulan Jennifer hampir-hampir mengalami kebutaan, tuli dan
keterbelakangan mental yang parah. Di usia yanga masih sangat belia pula,
Jennifer harus menjalani bedah korektif karena mengalami gangguan jantung.
Sebuah musibah yang lengkap!
Tetapi apa yang dilakukan oleh Marcia Thomas? Terapi. Marcia
memberikan terapi kepada anaknya agar otaknya memperoleh rangsangan yang sangat
kaya, sehingga kecerdasan meningkat dan fungsi-fungsi indranya bekerja lebih
aktif. Marcia berusaha menjalankan proses terapi itu dengan sungguh-sungguh
agar anaknya tidak mengalami keterbelakangan mental.
Caranya? DIET MEMBACA! Marcia membacakan sebelas buku setiap
hari kepada buah hatinya yang masih bayi. Hasilnya? IQ Jennifer melonjak tajam
ketika dites pada usia 4 tahun. IQ nya seratus sebelas. Ya, 111! Salah satu penjelasan
mengapa mengajarkan membaca pada bayi dapat melejitkan IQ adalah karena membaca
merupakan kegiatan yang memberi rangsangan paling kompleks bagi otak
dibandingkan beberapa kegiatan lainnya, melihat televisi misalnya.
Ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca, begitu
Paul C. Burn, Betty D. Roe& Elinor P. Ross menulis dalam Teacing Reading in
Today's Elemantary Schools. Kedelapan aspek itu meliputi sensori, persepsi,
sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, dan
afeksi. Semuanya bekerja secara berbarengan saat kita membaca. Apabila ini
terjadi pada bayi, otaknya akan berkembang secara lebih pesat karena memperoleh
rangsangan yang kaya. Maka, sangat beralasan jika Amerika menjadikan
pembelajaran membaca sejak dini sebagai strategi membangun sumber daya insani
berkualitas tinggi sejak bayi. Ketika mencanangkan kebijakan "No Child
Left Behind" (Tak Ada Satu Anak Pun yang Tertinggal Prestasinya di
Belakang). Pemerintah Amerika menyodorkan pembelajaran membaca sejak bayi
sebagai program utama!
Kisah Jennifer ini menunjukkan bahwa membaca, tepatnya
membacakan buku (reading aloud) kepada bayi, tidak saja dapat menumbuhkan minat
baca yang tinggi. Lebih dari itu, membacakan buku bisa meningkatkan kecerdasan
anak dan bahkan dapat dipakai sebagai terapi untuk balita bermasalah.
Alhasil kalau ingin anak kita lebih cerdas, berilah rangsang
komunikasi yang aktif sejak dini, khususnya dengan memberi "diet
membaca" sebagaimana dilakukan oleh Marcia Thomas kepada Jennifer, anaknya
yang menderita Down Syndrome saat lahir. "Diet membaca" juga bisa
Anda berikan sebagai rangsangan agar anak memiliki keterampilan berpikir,
kemampuan komunikasi, serta kecakapan mental yang baik.
No comments:
Post a Comment