Kita semua mencari kepuasan. Kita mencari
kepuasan dari makanan yang kita makan, tempat tinggal yang kita tempati,
pakaian yang kita kenakan, persahabatan yang kita jalin, cinta yang kita miliki
dan kita harapkan, kedamaian yang kita dambakan dan kebahagiaan yang kita tuju.
Kita menghabiskan hari-hari kita dengan mengejar kepuasan tersebut.
Bahkan di era kehidupan yang serba instan
seperti saat ini, kepuasan masih menjadi misteri. Ketika kita ingin mengetahui
sesuatu, maka kita akan menemukannya di mesin pencarian google hanya dalam
beberapa detik. Ketika kita membutuhkan makanan, kita hanya perlu pergi ke
restoran/warung makan atau memasak bahan makanan secara praktis dengan
alat-alat yang canggih. Ketika ingin membeli sesuatu hanya perlu melihat di
layar smartphone, hanya bermodal jempol barang akan segera sampai. Pun ketika
ingin membayar segala tagihan, jempol bisa menjadi modal. Tapi anehnya, dengan
semua kepraktisan seperti ini seakan kepuasan semakin kabur dari pandangan
mata.
Meskipun dunia ada di ujung jari kita,
kepuasan itu tak selalu ada. Pakaian yang baru kita beli akan usang dan
ketinggalan mode. Pernikahan yang kita pikir akan memberikan kebahagiaan
ternyata berujung pada percekcokan. Jumlah uang di rekening kita tak pernah
lagi membuat kita cukup dan selalu merasa kurang karena banyak tagihan.
Kita berpikir bahwa kita akan merasa puas
ketika sesuatu kita miliki. Kemudian sesuatu itu telah kita miliki dan kita
mengharapkan sesuatu yang lain. Kita selalu ingin memiliki banyak hal. kita
selalu berharap untuk mendapatkan semuanya dalam persaingan kehidupan dunia
karena sikap rakus kita terhadap gemerlap dunia. Dan Allah subhanahu wata'ala
sudah memberitahukan kita hakikat ini melalui firmannya,
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. (Al-Quran, 102: 1-2)
Lalu dimanakah kepuasan
Para psikolog menyatakan bahwa manusia akan
merasa puas ketika segalanya berjalan sesuai dengan keinginan. Tetapi kita juga
tahu bahwa segala sesuatu tidak pernah berjalan sesuai dengan harapan.
Kesenangan hanya bersifat sementara dan ketidaknyamanan tidak bisa kita
hindari.
Kepuasan tak akan pernah kita rasakan kecuali
kita menyadari bahwa hakikat dari dunia ini tak akan pernah memuaskan jiwa.
Hanya cahaya ilahi yang bisa memberikan kepuasan di dalam jiwa kita. Cahaya
ilahi itu datang dari keimanan yang kita tanam dengan kuat di hati kita dan
termanifestasikan dalam amal dan ketaatan.
Ketika kita menyadari bahwa hakikat hidup ini
penuh dengan ketidakpuasan, kekecewaan dan kesenangan yang semu, maka disitulah
kita kembali kepada Allah Subhanahu wata'ala. Andai Allah Subhanahu wata'ala
meletakan nilai kepuasan itu pada dunia, maka tidak ada jalan untuk kembali
kepada-Nya. Allah Subhanahu wata'ala sengaja tidak meletakan kepuasan pada
dunia supaya kita mencari-Nya disaat kita hampa. Allah Subhanahu wata'ala cukup
bagi kita. Itu sebabnya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kita doa,
“Hasbiyallah, Allah sudah cukup bagiku.”
Kembalilah kepada Allah dan sandarkan diri kita
padanya, maka semuanya akan tercukupi. Semuanya akan terpuaskan. Carilah
kepuasan pada cahaya-Nya.
Allah Subhanahu wata'ala yang menciptakan hati
kita, sehingga hanya Dia satu-satunya yang bisa memuaskan hati kita. Inilah
makna yang tersirat dari hadits Qudsi yang berbunyi,
“Langit dan bumi tidak akan bisa memuat dzat-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang beriman.”
Kemudian Allah Subhanahu wata'ala berfirman di
dalam quran,
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (Quran 13:28)
Dan pada akhirnya, lewat surat al-Fajr Allah memanggil jiwa yang
puas dengan memasuki Jannah-Nya. Ya, karena tabiat orang-orang pewaris surga
adalah mereka yang selalu mendapatkan kepuasan dari Rabbnya.
Kita semua memiliki kebutuhan, keluarga yang harus kita nafkahi,
bisnis yang harus kita jalani, dan relasi yang harus kita kunjungi. Kita semua
memiliki dunia di tangan kita. tapi jangan pernah kita meletakan semua itu di
hati sehingga kembuat kita lupa pada hakikat diri kita. karena hati hanya
pantas dan layak diisi oleh cahaya Ilahi, bukan dunia yang hanya layak berada
dalam genggaman tangan saja. karena inti kepuasan itu ada di hati yang selalu
melekat pada Rabbnya. Hati kita menginginkan Allah subhanahu wata'ala sehingga
dengan begitu, dimana pun, kapan pun dan dalam kondisi apa pun kita akan
merasakan kepuasan tanpa batas.
No comments:
Post a Comment