Marina menatap sosok lelaki yang berdiri menjulang di hadapannya dengan tatapan penuh tanya; kenapa lelaki itu datang menjenguknya? Lalu kenapa lelaki itu datang dengan membawa sesuatu di tangannya. Oke, sesuatu itu dia asumsikan sebagai kado. Dan memang itu sebuah kado. Kemudian beberapa detik kemudian Marina teringat bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-27.
“Selamat ulang tahun, Marina.” Ujar lelaki itu dengan nada yang pelan tapi begitu jelas terdengar. Bayangkan, lelaki yang selama ini ia benci setengah mati karena semua yang telah mereka lalui bersama kini berada di hadapannya. Lima tahun lamanya dia mencoba melupakan kenangan buruk diantara mereka. Lima tahun pula dia mencoba berbenah dan mencoba menyembuhkan sakit yang bahkan sampai saat ini dia masih merasakan pedihnya. Hanya Reza, anak semata wayangnya yang menjadi obat dari semua rasa sakitnya. Akan tetapi sayangnya, terkadang ketika Marina melihat mata Reza, dia melihat mata lelaki itu. Ketika Reza tersenyum dan memanggilnya ‘Mama’ maka dia mengingat senyum lelaki itu sembari memanggilnya ‘Sayang.’ Tapi itu dulu. Dan sekarang untuk apa dia kembali?
Lelaki itu tersenyum lebar. Senyum yang masih sama dengan senyum lima tahun yang lalu yang pernah Marina ingat. Dengan langkah yakin dan pasti, lelaki itu mendekati ranjang dimana Marina berbaring dengan jarum infus yang terpasang di pergelangan tangan kanannya, mengirimkan nutrisi yang dibutuhkan tubuhnya dari kantong yang tergantung di samping ranjangnya.
“Mama memberitahuku tentang penyakitmu. Maaf aku baru bisa menjengukmu.”
Dan aku tidak membutuhkan perhatianmu. Aku tidak ingin kau menjengukku. Enyahlah dari sini.’ Marina membentak di dalam hati. Dia tidak bisa berkata-kata. Dia hanya menatap lelaki itu dengan tatapan nyalang.
Lelaki itu tampak kikuk dan serba salah. Kemudian tangan kanannya terulur. Meremas jemari kanan Marina dan menghela napas panjang. “Tadi pagi aku teringat bahwa hari ini adalah hari ulang tahunmu. Dan...aku sudah bertahun-tahun tak pernah menyapamu, tak pernah ingin tahu kehidupanmu, bahkan tak pernah memberimu kado dan mengucapkan ulang tahun. Maka tahun ini aku ingin menebus semuanya.”
“Aku tidak membutuhkannya.” Hentak Marina dengan nada pelan tapi tajam. “Kenapa kamu datang? Kamu mau apa?”
Mata lelaki itu berkaca-kaca. Dan marina berani bersumpah dia tidak akan pernah merasa iba dengan air matanya. lelaki itu telah menorehkan rasa sakit di hatinya. Tidak mungkin semua kenangan buruk itu terbeli dengan sekotak kado yang entah berisi apa.
“Jadi kamu yang selama ini menjemput Reza dari sekolah tanpa pernah memberitahu dan meminta izin dariku?” tanya Marina masih dengan nada tajam.
“Ya. Kenapa?”
Marina memalingkan muka dan mendengus.
“Aku ayahnya, Marina. Dan aku berhak melakukan apa pun untuk anak kita. Dan aku berhak menyayangi dan dekat dengan Reza. Dia bukan hanya anakmu, tapi anak kita.”
‘Berhentilah mengatakan Kita. Aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita. Semuanya sudah selesai sejak kau mengkhianati pernikahan kita.’ Gerutu Marina di dalam hati. Kemudian dia menyadari bahwa kata Kita terlalu ‘bersahabat sehingga dia menggerutu kembali di dalam hati, ‘Maksudku, pernikahan aku denganmu.’
“Mungkin kita sudah tidak lagi seperti dulu. Tapi tak ada salahnya jika aku membangun jembatan di atas jurang yang telah memisahkan hubungan kita, Marina. Kau mungkin membencimu, dan itu hakmu karena memang aku yang salah dan menjadi biang keladi semua yang telah terjadi. Tapi...” mata lelaki itu kembali berkaca-kaca, bahkan sekarang dia menyeka tepian matanya yang berair, “aku tahu betapa besar dosaku, dan aku ingin meminta maaf atas semua rasa sakit yang selama ini telah aku torehkan di hatimu.”
Marina hanya diam. Dia masih muak tapi dia tidak ingin mengatakan apa pun kalimat kebencian yang bersemayam di benaknya.
“Ezra kemarin bercerita bahwa dia juara dalam lomba melukis tingkat kecamatan.” Sekarang lelaki itu telah mengganti topik pembicaraannya. “Anak kita memang hebat, Marina.”
Berhentilah mengatakan ‘Kita!
“Maafkan aku jika selama ini membuatmu jengkel karena membawa Reza pulang ke rumahku.”
“Jelas kamu membuat aku dan pamanku jengkel. Paman Rahim datang ke sekolah dan dia tiga jam lamanya menunggu si Reza dan mencarinya kesana kemari. Untungnya ada teman Reza yang mengatakan bahwa Reza dijemput kamu.”
“Maafkan aku. Harusnya aku bilang dulu.”
Ya, kau seperti anak sekolah yang tidak tahu aturan.’ Rutuk Marina di dalam hatinya. Kemudian dengan kasar dia menyentak tangannya yang berada dalam genggaman lelaki itu, “Jangan sentuh aku.”
Mata lelaki itu jelas menyimpan banyak kesedihan. Untuk beberapa saat lamanya dia menatap Marina dengan tatapan menimbang-nimbang. Marina memalingkan muka dan memejamkan mata.
“Berapa lama lagi kamu berada di rumah sakit, Marina.” Tanyanya kemudian. Mudah sekali lelaki ini berganti topik pembicaraan. Pertama tentang ulang tahun, kemudian tentang Reza dan sekarang tentang ranjang rumah sakit. Semudah dia memalingkan hatinya kepada wanita lain.
“Bukan urusanmu!” bentak Marina. Masih dengan nada pelan.
Lelaki itu kembali menghela napas panjang. Kemudian bangkit dari kursi dan untuk yang terakhir kalinya menatap Marina dengan tatapan sendu. “Maafkan aku jika kedatangaku mengganggumu, Marina. Semoga kamu lekas sembuh. Dan...” kemudian dia mengalihkan tatapannya ke arah kado yang dia letakan di atas meja samping ranjang, “jangan lupa dibuka kadonya. Aku punya kejutan untukmu.” Lelaki itu memungkas kata-katanya dengan senyum yang dipaksakan. Kemudian dia berlalu pergi. Menutup pintu dengan pelan setelah sebelumnya kembali menatap Marina yang tidak peduli.
Setelah kepergiannya, tangis Marina pecah dalam sedu sedan yang panjang. Tak berapa lama Paman Rahim datang. Dan mereka melihat ada jejak tangisan di mata Marina yang memerah.
“Kamu kenapa, Marina?” tanya paham Rahim. Dua alis tebalnya tertaut tanda dia keheranan.
“Dia datang kesini.”
“Siapa?”
“Johan.”
“Untuk apa dia kesini?”
Marina menunjuk kado yang tergeletak di meja dengan dagunya. Paman Rahim mengambil kado tersebut dan membukanya. Ada bungkusan kertas berwarna merah yang membungkus kotak di dalamnya. Tangan Paman Karim membuka bungkusan kedua itu dan menemukan tiga novel terbaru dari Jan, seorang penulis terkenal yang Marina sukai. Kemudian satu bungkusan lagi memuat satu album lagi Apo& The Apostle.
“Dia ingin kembali kepadamu.” Simpul Paman Karim tanpa ekspresi. Kemudian menaruh kembali kado tersebut di atas meja.
Marina tidak ingin berkomentar. Dia hanya terdiam dan mencoba menetralkan semua perasaannya yang campur aduk. Dia membenci lelaki itu. Tapi dia diam-diam menyadari bahwa ketika lelaki itu datang dia merasa ada getar di hatinya. Dan ketika lelaki itu menutup pintu kamarnya, ada sesuatu yang tertinggal di hatinya. Lelaki itu telah menguak kembali memori-memori lama yang telah dia pendam sejak lama. Semuanya kembali muncul ke permukaan dan dia selalu mengingat detailnya.
“Selamat ulang tahun, Marina.” Seru Paman Karim dengan senyum lebar. Kemudian dia membuka tasnya dan memberikan kado ke pangkuan Marina.
Marina terbelalak dan tersenyum lebar. “Isinya apa, Paman.”
“Buka saja.” Perintah Paman Karim. Dan Marina membukanya, kemudian dia menemukan syal cokelat dengan renda yang cantik di sepanjang sisinya. “Wah... cantik sekali, Paman.”
Paman karim tersenyum. Setelah itu dia kembali keluar. Dan Marina memekai syal itu, sementara dia meraih satu buku yang dihadiahkan lelaki itu. Membuka halaman pertamanya, dia menemukan kalimat yang dia yakin bahwa Johan telah menulisnya, ‘Untuk Marinaku Sayang. Selamat Ulang Tahun. Semoga Tuhan memberkatimu. Mungkin waktu bisa menjadi jawaban, apakah kamu bisa memaafkanku, tapi aku selalu mengingatmu dan menyesal dengan semua kesalahan masa laluku.
Marina kembali menangis dan menyesal telah memasang tampang paling judes ketika lelaki itu datang tadi.
***
Lelaki itu datang kembali keesokan harinya. Kali ini senyumnya semakin lebar dan dia tidak lagi kikuk seperti hari kemarin. Dan Marina tidak lagi menyambutnya dengan tatapan tajam dan bibir yang mengerucut. Ingin selaki Marina memberinya senyuman lebar, senyum yang sama. Tapi dia hanya memberinya senyuman yang tipis dan sekilas.
“Bagaiman kabarmu, Marina.”
“Baik.”
“Kamu sudah buka kadonya?”
“Sudah.” Jawab Marina, menunjuk kado yang terbuka dengan dagunya. Sementara salahsatu buku dari tiga buku ada di pangkuannya.
Lelaki itu tersenyum lebar. “Kau suka dengan hadiahnya?”
Marina mengangguk pelan. Dan dia merasa aneh. Percakapan mereka seperti percakapan seorang ayah dengan anak perempuannya yang menerima hadiah ulang tahun. Marina mencoba mengangkat tatapannya. Tatapan pertama dia menangkap sorot mata lelaki itu. Sorot mata yang menggambarkan kerinduan. Dan tatapan yang kedua dia menangkap kalung yang melingkari leher kukuhnya. Kalung dengan bandul huruf ‘M’ itu begitu kentara terlihat karena dua kancing atasnya yang terbuka.
“K-kamu masih memakai kalung itu?” tanya Marina dengan suara yang bergetar.
Lelaki itu menunduk, melihat kalungnya dan mengangguk. “Ya, karena kalung ini menyimpan kenangan tentang dirimu. Dan kenangan tak akan pernah hilang jika kamu menyimpan benda yang menghubungkanmu dengan kenangan itu .”
Mata marina berkaca-kaca. “Bahkan kenangan tak pernah hilang meskipun kamu telah menghilangkan benda-benda yang mengingatkanmu pada kenangan.” Marina ingat bagaimana dia membuang kalungnya dengan bandul huruf pertama dari nama lelaki yang kini berada di hadapannya. Kalung dengan bandul ‘J’ dia buang ke selokan depan rumah dengan segenap kebencian. Saat itu dia berharap semua kenangannya terkubur dengan benda yang dia anggap benda paling menyebalkan. Tapi nyatanya dia menyesalinya sekarang.
“Aku menduga kamu sudah menghilangkan kalungmu.”
Marina mengangguk pelan.
Lelaki itu, alih-alih terluka dia tersenyum lebar, “Tak masalah, Marina. Yang penting kamu tidak membuang kenangan di benakmu. Aku bisa membuatkanmu kalung yang sama.”
“Memangnya aku berharap kamu membuatkannya untukku? Memangnya kamu menduga aku suka memakainya?” tanya Marina dengan sarkastis.
“Mungkin.” Jawab lelaki itu masih dengan senyum lebar. “Andai kenangan itu berbentuk benda, mungkin aku akan memberimu kado ulang tahun yang isinya kenangan-kenangan diantara kita berdua.”
Marina kembali menangis untuk yang ketiga kalinya. Dan tiba-tiba dia mendengar langkah kaki kecil di belakang lelaki itu. Beberapa detik kemudian menyembul sesosok bocah berusia 7 tahun ke dalam kamarnya. “Hai Mama.”
“Oh, aku tadi mengajak Reza ke sini. Aku juga menjemputnya dari sekolah. Maaf, aku tidak meminta izin kepadamu.” Ujar lelaki itu.
“Tak masalah.” Jawab Marina. Dia menatap Reza, anaknya dan kemudian menatap lelaki itu dengan tatapan penuh arti. Ya, kenangan memang membuatmu lupa dengan kebencian dan penderitaan yang pernah kau lalui.
Tamat
No comments:
Post a Comment