Adalah fitrah manusia untuk mendapatkan pengakuan dari orang
lain dan diakui eksistensinya. Adalah wajar jika seseorang menyukai pujian dan
membenci celaan dari sesamanya. Akan tetapi pada taraf tertentu, perasaan yang
kuat untuk menginginkan pengakuan bisa menimbulkan efek yang buruk berupa
tergila-gila pada sanjungan dan pujian dari orang lain. Sehingga segala cara
dia lakukan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan. Dia ketagihan, dan merasa
sempurna.
Padahal, pujian yang purna hanya milik Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala berfirman, “Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam semesta.” (Al-Fatihah: 1)
Sanjungan yang diharapkan juga seringkali mencemari
keikhlasan. Dia berbuat bukan untuk mendapatkan keridhoan Allah subhanahu
wata'ala, melainkan karena ingin mendengarkan namanya disebut diantara manusia.
Adakah yang salah dengan Sanjungan?
Sebenarnya tidak ada salahnya jika kita menerima sanjungan
dari orang lain. Kita tidak dilarang untuk menyanjung dan memuji orang lain. Kita
juga tidak perlu takut ketika menerima sanjungan. Sanjungan dan pujian yang
diberikan orang lain itu bisa jadi karena memang kita memiliki kontribusi dalam
kehidupan mereka. Mungkin kita telah memberikan manfaat kepada mereka, terlepas
sedikit atau banyak apa yang kita berikan, mereka telah mengapresiasinya.
Pujian tersebut sebagai wujud nikmat yang disegerakan,
sebagaimana yang diterangkan dalam hadits riwayat Muslim melalui Abi Dzar. Ia
berkata, “Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya oleh
seseorang, ‘Bagaimana dengan seseorang yang berbuat amal shalih, lalu ada orang
yang memujinya?’ Beliau menjawab, ‘Itu merupakan kegembiraan yang segera
diberikan kepada seorang mukmin.”
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika pujian yang datang
tak lebih pujian berlebihan yang datang dari lidah seorang penjilat yang
memiliki maksud tertentu. Pujian yang jauh dari realita, sanjungan yang
sejatinya tak layak untuk disandang. Maka untuk yang satu ini kita harus
waspada. Jangan sampai kita menjadi pribadi yang haus sanjungan dan bangga
dengan pujian penjilat.
Maka tak heran jika ada pepatah yang cukup unik mengatakan, “Sanjungan
ibarat permen karet, boleh dinikmati sesaat, namun jangan ditelan.”
Mari kita simak dongeng fenomenal dari pendongeng Aesop
tentang kisah si burung gagak dan seekor rubah.
Dikisahkan, Seekor rubah melihat seekor burung gagak terbang
dengan membawa sepotong keju di paruhnya dan hinggap di atas pohon.
Rubah yang berada di sekitar pohon itu melihat ke atas dan
mengincar keju tersebut. Dan diapun berjalan mendekati batang pohon itu.
"Selamat siang gagak yang cantik," si rubah memuji,
"Betapa cantiknya kamu hari ini, betapa mengkilapnya bulumu, sungguh
sangat indah sinar matamu, saya yakin suaramu lebih indah dari burung-burung
yang lain. Ijinkan saya mendengar satu lagu darimu, dan saya akan menyapa kamu
dengan sebutan si Ratu Burung."
Burung gagak itupun mulai mengangkat kepalanya dan mencoba
bernyanyi sebaik mungkin, tetapi ketika ia membuka mulutnya, keju yang ada di
mulutnya jatuh ke tanah, dengan seketika si rubah menangkap keju yang jatuh
tersebut.
"Haha... itulah yang akan saya lakukan, itulah yang saya
inginkan, sebagai pertukaran dengan kejumu," ejek si rubah itu.
Bahaya Gila Sanjungan
Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam
hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada
sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”
Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling
bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan.Demikianlah ikhlas dan
pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam
amalan pertanda tidak ikhlas.
Beberapa ayat menerangkan agar kita dapat menjadi orang yang
ikhlas dalam ibadah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).
Orang bijak akan menyikapi setiap pujian ibarat api yang menyala
dalam sekam, yang kalau tidak disadari bisa menghabiskan amal yang telah
dilakukannya.
“TAKUTLAH kalian untuk mencampuri ketaatan kepada Allah dengan rasa senang terhadap sanjungan manusia. Sebab, (pahala) amal kalian akan hilang.” (HR. Dailami).
Terbayang, betapa kita harus menggigit jari kita di hari
penghisaban kelak karena pahala amal kita hangus karena sanjungan dan pujian
yang telah kita terima di dunia. Karena kita mengharapkannya dan itu telah kita
dapatkan.
Setidaknya, orang yang tergila-gila dengan sanjungan
seringkali terjerumus ke dalam tiga prilaku buruk berikut.
Pertama,Mudah Bohong
Dia mungkin akan membual tentang prestasi yang telah dia
dapatkan dalam hidupnya sehingga orang-orang berdecak kagum kepadanya. Dia berbohong
tentang dirinya sendiri supaya orang lain menganggapnya hebat. Bisa jadi
mengakui dirinya lulusan universitas anu, muridnya fulan, memiliki ini dan itu
dan sebagainya.
Kedua, Boros
Dia akan mengeluarkan biaya yang banyak demi mendapatkan
pengakuan dari orang lain, komunitas dan lingkungannya. Dia sangat bernafsu
untuk membeli satu produk hanya karena orang lain memakainya. Dia tidak ingin
dianggap ketinggalan dari orang lain. Sehingga seringkali semua itu membuat isi
dompetnya terkuras habis. Bahkan rela berhutang demi gaya hidupnya.
Ketiga, Hasad pada orang lain
Dia merasa iri dengan apa yang orang lain peroleh. Dia iri
ketika status temannya banyak yang like dan komentar. Dia iri ketika melihat
akun instagram temannya mendapatkan banyak follower dibanding akun dirinya.
Media Sosial dan Fenomena Haus Sanjungan
Di era milenial ini para pemburu sanjungan dan pujian semakin
bertebaran. Mereka sangat berhasrat untuk mendapatkan pengakuan dari orang
lain. Pengakuan itu bisa beragam bentuknya. Mulai dari subscriber di youtube
chanel, like dan komentar di status dan halaman facebook, follower di instagram
dan twitter dan semacamnya.
Maka tak heran jika orang-orang semakin ‘kreatif’ untuk
menarik perhatian khalayak ramai. Dia tidak berpikir apakah statusnya
bermanfaat, apakah vlognya memberi faidah untuk orang lain atau malah merusak
dan jadi bahan tertawaan unfaedah? Dia tidak berpikir tentang manfaat. Dia hanya
berpikir bagaimana orang-orang merasa terhibur dengan ‘keunikannya.’ Bahkan nyeleneh,
hingga melecehkan pihak lain. Naudzubillah…
Kemudian kita beralih ke facebook dan instagram. Kita melihat
mereka yang haus akan pujian dengan menampilkan semua sisi keindahan dan harta
yang mereka miliki. Media sosial mereka jadikan ajang pamer dan menyombongkan
diri. bahkan instagram menjadi ajang untuk berlomba-lomba untuk tampil glamour
dan memukau. Maka tak heran jika muncul istilah ‘instalie’. Dimana seseorang
berbohong dan memanipulasi foto demi mendapatkan pujian dari orang lain. Mereka caper (cari perhatian dan membual
tentang kehidupan mereka. Mereka mencari sensasi untuk mengundang like dan komentar
yang menawan hatinya yang menginginkan sanjungan setinggi langit.
Semoga Allah melindungi kita dari sifat seperti ini.
Saya pernah memiliki seorang teman yang selalu memuji dirinya
sendiri di hadapan orang lain. Bukan hanya memuji dirinya dengan menyebutkan
prestasi yang pernah dia peroleh, dia juga terkadang terkesan mengada-ada
dengan setiap pencapaian yang dia katakana pernah dia gapai. Sehingga banyak
orang yang sangsi dengan semua ucapannya. Selain sering membanggakan dirinya
sendiri, dia juga seringkali bermulut besar dengan mengetahui hampir setiap
topik yang kita bicarakan. Oh saya tahu ini. Oh saya tahu itu dan semacamnya.
‘Kemarin aku pernah melakukan ini dan itu, luar biasa pokoknya.’
‘Aku juga bisa melakukan ini, bahkan aku melakukannya
berkali-kali.
‘Aku mendapatkan penghargaan ini dan itu.’
‘Bla..bla..bla..’
‘Saya tahu, kamu harus begini dan begitu. Aku juga pernah
sukses dalam hal ini.’
Orang dengan tipe seperti ini adalah orang yang haus pujian
dari orang lain. Dia takut jika orang lain tidak mengetahui segala kelebihan
yang dia miliki. Dia khawatir orang lain tidak memujinya dengan mengatakan, ‘wah,
kamu hebat. Aku ingin seperti kamu.’
Antara Wajar dan Tidak Wajar
Adalah satu kewajaran ketika seseorang merasa senang ketika
dipuji oleh orang lain. Sudah menjadi fitrah bahwa manusia senang dipuji dan
disanjung oleh orang lain. Bahkan saya sendiri pun tidak bisa membohongi diri
saya sendiri. saya menyukai sensasi ketika orang lain memuji saya karena
prestasi yang telah berhasil saya capai. Saya merasa bangga dengan diri saya
sendiri dan mengucapkan terimakasih terhadap pujian yang mereka berikan secara
tulus.
Pujian bisa mendongkrak harga diri seseorang. Semakin banyak
orang yang memuji dan mengakui kehebatannya, maka semakin tinggi harga dirinya
di mata orang lain. Adalah hal yang biasa dan wajar jika seseorang dipuji
karena prestasi dan kontribusi yang telah dia berikan kepada orang lain. Hal yang
tidak wajar adalah ketika banyak yang memuji hanya karena atas dasar
kepentingan. Istilah lainnya menjilat. Dan lebih tidak wajar jika seseorang
membanggakan dirinya sendiri, tapi pada kenyataannya dia memiliki prestasi yang
tidak pantas untuk dibanggakan.
Kita juga harus waspada karena terkadang sanjungan dan pujian
itu bisa menjerumuskan kita kepada kebinasaan. Karena sering mendapatkan
pujian, maka kita menganggap diri kita suci dari segala aib dan kesalahan.
Ketika seseorang sudah begitu terbiasa dengan pujian, maka
dia akan memiliki sikap antipati terhadap celaan, nasihat, kritik dan saran
dari pihak lain. Dia merasa marah ketika ada pihak lain yang memberitahukan
kelemahan, kesalahan dan kekeliruan yang telah dia perbuat. Di dalam benaknya,
dia hanya menanamkan pemahaman bahwa dirinya terlalu sempurna untuk dikritik. Lahirlah
sikap sombong dan tidak mau menerima nasihat. Dia merasa lebih tinggi dibanding
yang lain.
Gila Pujian Itu Menyakitkan
Berbuat baik hanya karena ingin mendapatkan pujian adalah
sumber masalah bagi jiwa seseorang. Dipuji ketika berbuat kebaikan adalah
realitas yang tidak bisa dihindari. Karena pujian adalah sebagai bentuk rasa
syukur dan apresiasi satu pihak kepada pihak yang lainnya. Pujian juga sebagai
bentuk sikap yang mencerminkan keluhuran budi seseorang.
Tapi ketika seseorang mulai membusungkan dada karena pujian,
maka disinilah letak kesalahannya. Merasa nyaman ketika dipuji dan merasa
kecewa dan marah ketika pujian itu tidak datang kepada dirinya.
‘Bagaimana mungkin mereka tidak memujiku, padahal aku telah
berbuat ini dan itu? apakah mereka buta sehingga tidak melihat jasa saya?’
Jiwanya menjadi sakit dan merana ketika orang lain melewatkan
pujian kepada dirinya. maka sungguh rugi. Di dunia merana karena selalu
berharap sanjungan dan di akhirat merana karena tak lagi menangguk pahala.
Realitanya, tidak semua kebaikan akan berbuah sanjungan dan
pujian. Ini artinya, selalu mengharapkan sanjungan manusia sama saja dengan
membeli rasa kesal dan kecewa. Karena pujian adalah barang mahal yang sulit
untuk didapat. Itu pun ditambah dengan fakta bahwa tidak semua manusia tulus
dalam memuji.
No comments:
Post a Comment