8 Apr 2019

Gila Sanjungan Haus Pujian


Adalah fitrah manusia untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain dan diakui eksistensinya. Adalah wajar jika seseorang menyukai pujian dan membenci celaan dari sesamanya. Akan tetapi pada taraf tertentu, perasaan yang kuat untuk menginginkan pengakuan bisa menimbulkan efek yang buruk berupa tergila-gila pada sanjungan dan pujian dari orang lain. Sehingga segala cara dia lakukan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan. Dia ketagihan, dan merasa sempurna.

Padahal, pujian yang purna hanya milik Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala berfirman, “Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam semesta.” (Al-Fatihah: 1)

Sanjungan yang diharapkan juga seringkali mencemari keikhlasan. Dia berbuat bukan untuk mendapatkan keridhoan Allah subhanahu wata'ala, melainkan karena ingin mendengarkan namanya disebut diantara manusia.

Adakah yang salah dengan Sanjungan?

Sebenarnya tidak ada salahnya jika kita menerima sanjungan dari orang lain. Kita tidak dilarang untuk menyanjung dan memuji orang lain. Kita juga tidak perlu takut ketika menerima sanjungan. Sanjungan dan pujian yang diberikan orang lain itu bisa jadi karena memang kita memiliki kontribusi dalam kehidupan mereka. Mungkin kita telah memberikan manfaat kepada mereka, terlepas sedikit atau banyak apa yang kita berikan, mereka telah mengapresiasinya.

Pujian tersebut sebagai wujud nikmat yang disegerakan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits riwayat Muslim melalui Abi Dzar. Ia berkata, “Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya oleh seseorang, ‘Bagaimana dengan seseorang yang berbuat amal shalih, lalu ada orang yang memujinya?’ Beliau menjawab, ‘Itu merupakan kegembiraan yang segera diberikan kepada seorang mukmin.”

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika pujian yang datang tak lebih pujian berlebihan yang datang dari lidah seorang penjilat yang memiliki maksud tertentu. Pujian yang jauh dari realita, sanjungan yang sejatinya tak layak untuk disandang. Maka untuk yang satu ini kita harus waspada. Jangan sampai kita menjadi pribadi yang haus sanjungan dan bangga dengan pujian penjilat.

Maka tak heran jika ada pepatah yang cukup unik mengatakan, “Sanjungan ibarat permen karet, boleh dinikmati sesaat, namun jangan ditelan.”

Mari kita simak dongeng fenomenal dari pendongeng Aesop tentang kisah si burung gagak dan seekor rubah.

Dikisahkan, Seekor rubah melihat seekor burung gagak terbang dengan membawa sepotong keju di paruhnya dan hinggap di atas pohon.

Rubah yang berada di sekitar pohon itu melihat ke atas dan mengincar keju tersebut. Dan diapun berjalan mendekati batang pohon itu.

"Selamat siang gagak yang cantik," si rubah memuji, "Betapa cantiknya kamu hari ini, betapa mengkilapnya bulumu, sungguh sangat indah sinar matamu, saya yakin suaramu lebih indah dari burung-burung yang lain. Ijinkan saya mendengar satu lagu darimu, dan saya akan menyapa kamu dengan sebutan si Ratu Burung."

Burung gagak itupun mulai mengangkat kepalanya dan mencoba bernyanyi sebaik mungkin, tetapi ketika ia membuka mulutnya, keju yang ada di mulutnya jatuh ke tanah, dengan seketika si rubah menangkap keju yang jatuh tersebut.

"Haha... itulah yang akan saya lakukan, itulah yang saya inginkan, sebagai pertukaran dengan kejumu," ejek si rubah itu.

Bahaya Gila Sanjungan

Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”
Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan.Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.

Beberapa ayat menerangkan agar kita dapat menjadi orang yang ikhlas dalam ibadah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).

Orang bijak akan menyikapi setiap pujian ibarat api yang menyala dalam sekam, yang kalau tidak disadari bisa menghabiskan amal yang telah dilakukannya.

“TAKUTLAH kalian untuk mencampuri ketaatan kepada Allah dengan rasa senang terhadap sanjungan manusia. Sebab, (pahala) amal kalian akan hilang.” (HR. Dailami).

Terbayang, betapa kita harus menggigit jari kita di hari penghisaban kelak karena pahala amal kita hangus karena sanjungan dan pujian yang telah kita terima di dunia. Karena kita mengharapkannya dan itu telah kita dapatkan.

Setidaknya, orang yang tergila-gila dengan sanjungan seringkali terjerumus ke dalam tiga prilaku buruk berikut.

Pertama,Mudah Bohong

Dia mungkin akan membual tentang prestasi yang telah dia dapatkan dalam hidupnya sehingga orang-orang berdecak kagum kepadanya. Dia berbohong tentang dirinya sendiri supaya orang lain menganggapnya hebat. Bisa jadi mengakui dirinya lulusan universitas anu, muridnya fulan, memiliki ini dan itu dan sebagainya.

Kedua, Boros

Dia akan mengeluarkan biaya yang banyak demi mendapatkan pengakuan dari orang lain, komunitas dan lingkungannya. Dia sangat bernafsu untuk membeli satu produk hanya karena orang lain memakainya. Dia tidak ingin dianggap ketinggalan dari orang lain. Sehingga seringkali semua itu membuat isi dompetnya terkuras habis. Bahkan rela berhutang demi gaya hidupnya.

Ketiga, Hasad pada orang lain

Dia merasa iri dengan apa yang orang lain peroleh. Dia iri ketika status temannya banyak yang like dan komentar. Dia iri ketika melihat akun instagram temannya mendapatkan banyak follower dibanding akun dirinya.

Media Sosial dan Fenomena Haus Sanjungan

Di era milenial ini para pemburu sanjungan dan pujian semakin bertebaran. Mereka sangat berhasrat untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Pengakuan itu bisa beragam bentuknya. Mulai dari subscriber di youtube chanel, like dan komentar di status dan halaman facebook, follower di instagram dan twitter dan semacamnya.

Maka tak heran jika orang-orang semakin ‘kreatif’ untuk menarik perhatian khalayak ramai. Dia tidak berpikir apakah statusnya bermanfaat, apakah vlognya memberi faidah untuk orang lain atau malah merusak dan jadi bahan tertawaan unfaedah? Dia tidak berpikir tentang manfaat. Dia hanya berpikir bagaimana orang-orang merasa terhibur dengan ‘keunikannya.’ Bahkan nyeleneh, hingga melecehkan pihak lain. Naudzubillah…

Kemudian kita beralih ke facebook dan instagram. Kita melihat mereka yang haus akan pujian dengan menampilkan semua sisi keindahan dan harta yang mereka miliki. Media sosial mereka jadikan ajang pamer dan menyombongkan diri. bahkan instagram menjadi ajang untuk berlomba-lomba untuk tampil glamour dan memukau. Maka tak heran jika muncul istilah ‘instalie’. Dimana seseorang berbohong dan memanipulasi foto demi mendapatkan pujian dari orang lain.  Mereka caper (cari perhatian dan membual tentang kehidupan mereka. Mereka mencari sensasi untuk mengundang like dan komentar yang menawan hatinya yang menginginkan sanjungan setinggi langit.
Semoga Allah melindungi kita dari sifat seperti ini.


Saya pernah memiliki seorang teman yang selalu memuji dirinya sendiri di hadapan orang lain. Bukan hanya memuji dirinya dengan menyebutkan prestasi yang pernah dia peroleh, dia juga terkadang terkesan mengada-ada dengan setiap pencapaian yang dia katakana pernah dia gapai. Sehingga banyak orang yang sangsi dengan semua ucapannya. Selain sering membanggakan dirinya sendiri, dia juga seringkali bermulut besar dengan mengetahui hampir setiap topik yang kita bicarakan. Oh saya tahu ini. Oh saya tahu itu dan semacamnya.

‘Kemarin aku pernah melakukan ini dan itu, luar biasa pokoknya.’
‘Aku juga bisa melakukan ini, bahkan aku melakukannya berkali-kali.
‘Aku mendapatkan penghargaan ini dan itu.’
‘Bla..bla..bla..’
‘Saya tahu, kamu harus begini dan begitu. Aku juga pernah sukses dalam hal ini.’

Orang dengan tipe seperti ini adalah orang yang haus pujian dari orang lain. Dia takut jika orang lain tidak mengetahui segala kelebihan yang dia miliki. Dia khawatir orang lain tidak memujinya dengan mengatakan, ‘wah, kamu hebat. Aku ingin seperti kamu.’

Antara Wajar dan Tidak Wajar

Adalah satu kewajaran ketika seseorang merasa senang ketika dipuji oleh orang lain. Sudah menjadi fitrah bahwa manusia senang dipuji dan disanjung oleh orang lain. Bahkan saya sendiri pun tidak bisa membohongi diri saya sendiri. saya menyukai sensasi ketika orang lain memuji saya karena prestasi yang telah berhasil saya capai. Saya merasa bangga dengan diri saya sendiri dan mengucapkan terimakasih terhadap pujian yang mereka berikan secara tulus.

Pujian bisa mendongkrak harga diri seseorang. Semakin banyak orang yang memuji dan mengakui kehebatannya, maka semakin tinggi harga dirinya di mata orang lain. Adalah hal yang biasa dan wajar jika seseorang dipuji karena prestasi dan kontribusi yang telah dia berikan kepada orang lain. Hal yang tidak wajar adalah ketika banyak yang memuji hanya karena atas dasar kepentingan. Istilah lainnya menjilat. Dan lebih tidak wajar jika seseorang membanggakan dirinya sendiri, tapi pada kenyataannya dia memiliki prestasi yang tidak pantas untuk dibanggakan.

Kita juga harus waspada karena terkadang sanjungan dan pujian itu bisa menjerumuskan kita kepada kebinasaan. Karena sering mendapatkan pujian, maka kita menganggap diri kita suci dari segala aib dan kesalahan.

Ketika seseorang sudah begitu terbiasa dengan pujian, maka dia akan memiliki sikap antipati terhadap celaan, nasihat, kritik dan saran dari pihak lain. Dia merasa marah ketika ada pihak lain yang memberitahukan kelemahan, kesalahan dan kekeliruan yang telah dia perbuat. Di dalam benaknya, dia hanya menanamkan pemahaman bahwa dirinya terlalu sempurna untuk dikritik. Lahirlah sikap sombong dan tidak mau menerima nasihat. Dia merasa lebih tinggi dibanding yang lain.

Gila Pujian Itu Menyakitkan

Berbuat baik hanya karena ingin mendapatkan pujian adalah sumber masalah bagi jiwa seseorang. Dipuji ketika berbuat kebaikan adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Karena pujian adalah sebagai bentuk rasa syukur dan apresiasi satu pihak kepada pihak yang lainnya. Pujian juga sebagai bentuk sikap yang mencerminkan keluhuran budi seseorang.

Tapi ketika seseorang mulai membusungkan dada karena pujian, maka disinilah letak kesalahannya. Merasa nyaman ketika dipuji dan merasa kecewa dan marah ketika pujian itu tidak datang kepada dirinya.

‘Bagaimana mungkin mereka tidak memujiku, padahal aku telah berbuat ini dan itu? apakah mereka buta sehingga tidak melihat jasa saya?’

Jiwanya menjadi sakit dan merana ketika orang lain melewatkan pujian kepada dirinya. maka sungguh rugi. Di dunia merana karena selalu berharap sanjungan dan di akhirat merana karena tak lagi menangguk pahala.

Realitanya, tidak semua kebaikan akan berbuah sanjungan dan pujian. Ini artinya, selalu mengharapkan sanjungan manusia sama saja dengan membeli rasa kesal dan kecewa. Karena pujian adalah barang mahal yang sulit untuk didapat. Itu pun ditambah dengan fakta bahwa tidak semua manusia tulus dalam memuji.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment