26 Mar 2019

Suami Pengekang



Sudah lama aku muak. Muak ketika menyadari bahwa aku tidak berdaya menolak dan melawan semua kehendak suamiku Andri. Andri si suami pengekang yang mengatur semua kehidupanmu. Ini boleh itu tidak boleh, yang ini tidak layak yang itu cocok dan semacamnya. Aku, Mila Sarmila tak lebih seperti seekor burung yang berada di dalam sangkar. Yang tidak bisa bebas terbang kesana kemari menikmati udara bebas dan menghirup aroma kemerdekaan sebagai seorang wanita karir yang sesungguhnya.

Andri seperti seorang penjajah yang membatasi semua aktifitasku. Jiwaku yang berontak dan selalu menyukai petualangan dalam karir memberontak. Selama ini aku melawan kehendak hati nuraniku sendiri demi sebutan istri yang tahu diri. entah sudah berapa kali Andri menyampaikan alibinya dan mencoba melunakan semua protes halusku.

“Aku ingin kerja. Ada iklan lowongan kerja sebagai wartawan di koran lokal.” Ujarku suatu hari kepada Andri.

Sebagaimana biasa dia tidak menanggapi pertanyaanku. Untuk tanya dan pinta yang kedua, dia mendongak. Menatapku. Mengulitiku dengan tatapannya yang penuh makna. “Apakah uang yang aku berikan kurang Sayang? Sehingga kamu merasa perlu bekerja.”

“Ini bukan masalah uang.”

“Lalu apa sayang?”

“Ini masalah hobi. Aku sudah sejak dulu ingin jadi wartawan. Jadi untuk apa aku kuliah jurusan jurnalistik dan komunikasi kalau ujung-ujungnya Cuma mengeram di rumah seperti ini?”

“Kamu kan sudah jadi penulis freelance. Nulis juga bisa dilakukan dari dalam rumah. wifi sudah terpasanga. Computer ada satu ditambah satu buah mac. Nggak ada yang kurang kan sayang.”

“Tapi ini beda.”

“Bedanya apa?”

Aku merutuk dalam hati. Lelaki ini memang banyak sekali alasan. Alibinya terkadang tak bisa aku bantah. Aku hanya bisa mengomel kepadanya.  Tapi Andri tidak menanggapi dan memilih mengabaikanku. Dasar lelaki tak tahu diri.

Di hari yang lain Andri menceramahiku layaknya seorang ustadz di atas mimbar. “Seorang wanita muslim yang baik itu nggak boleh bekerja di luar.”

“Siapa bilang, banyak guru dan dokter muslimah yang bisa tetap bekerja di luar. Kalau nggak ada guru wanita, siapa yang mengajar murid-murid perempuan di madrasah. Kalau nggak ada dokter wanita, siapa yang akan memeriksa pasien perempuan?” Bantahku dengan nada jengkel.

“Aku nggak berbicara tentang guru dan dokter. Aku berbicara tentang jurnalistik. Di kantor koran lokal itu kan campur baur antara laki dan perempuan. belum lagi tugas ke lapangan. Perempuan nggak cocok seperti itu.”

Kau dengar? Dia memang lelaki konservatif yang sangat menyebalkan. Sok alim. Sok suci. Si pengekang yang tidak tahu realitas masa kini karena otaknya yang kolot. Terlalu kolot dan kuno malah. Apa salahnya seorang muslimah menjadi wartawan?
Andri menatapku dengan tatapan yang berharap seakan dia ingin aku mengerti dan memahaminya. “Syariat islam mengatur hal ini, sayang.”

Terserah kaulah. Aku sudah cape. Rutukku di dalam hati dan segera berlalu dari dalam hati. Ingin rasanya aku membanting pintu, tapi aku tidak tega melakukannya. Selamat tinggal lowongan kerja.

***

Kalau Andri bilang bahwa sabar tidak ada batasnya, maka aku berani mengatakan sabar ada batasnya. Dan aku sebagai buktinya. Hari ini aku meminta Andri menceraikanku. Aku sudah berpikir masak-masak dan aku sudah yakin dengan keputusanku sendiri. aku yakin bahwa aku tidak akan menyesal dengan mengambil keputusan ini.

Sudah terbayang di benakku masa-masa kebebasan yang segera akan aku sambut dengan sukacita. Tidak ada lagi yang berani mengekang diriku dengan segala harsatnya yang menggebu. Aku membayangkan bekerja di kantor koran lokal dan menjadi contributor beberapa media. Aku juga membayangkan aku kembali mengakrabi puncak-puncak gunung yang selama ini sempat tertunda. Aku bahkan bermimpi untuk meraih gelar doctoral di singapura. Ah, aku akan segera bebas dari penjara pernikahanku dengan Andri.

Andri tidak bisa berbuat banyak. Yang tak pernah aku duga dia begitu mudah melepaskanku. Dia membiarkanku meninggalkannya.

“Aku tidak bisa memaksamu untuk tetap bersama. Mungkin kita berbeda.” Ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Hai mataku, jangan mengkhianati kegembiraanku. Kau tidak boleh menangis dan terlihat lemah di hadapan lelaki pengekang itu.

“Silakan bawa kunci rumah ini. Maaf jika selama ini aku tidak menyenangkan.” pungkas Andri dan meletakan kunci rumah kami di atas meja. Aku terperangah dan tidak tahu harus berkata apa. “Nggak usah, aku pulang ke rumah mama. Lagian kan rumah ini kamu yang beli.”

Andri menggeleng. “Aku masih bisa membeli atau menyewa rumah yang lain. Mungkin kamu memerlukan rumah ini.”
Aku tidak bisa menolaknya.

***
Tiga bulan genap setelah perceraian, aku sudah merasakan aroma kebebasan yang kentara. Aku sudah menjadi wartawati yang selama ini aku cita-citakan. Bekerja sepanjang waktu untuk surat kabar lokal dan menjadi penyiar radio. Dan pekan depan aku sudah berjanji dengan teman-temanku untuk hiking.

Sementara hari ini ada acara reuni dengan teman-teman SMAku. Aku bertemu teman satu gengku ketika SMA; Anita, Lastri dan Sari. Tak pernah aku duga ternyata tiga temanku sama-sama menjadi seorang janda. Aku menceritakan kepada mereka kenapa aku memilih berpisah dengan suamiku.

“Ya ampun Mil. Kenapa lelaki sebaik Andri kamu buang begitu aja. jelas aku nggak pernah berpikir kamu pisah sama Andri. Selama ini kalian terlihat serasi dan akur.” Seru Sari demi mendengar pengakuanku bahwa aku sudah pisah sejak dua bulang yang lalu.
“Dia terlalu mengekangku.” Bantahku.

Sari mengangkat bahu. “Aku nggak akan ikut campur. Yang penting kamu senang.”

“Nah, kalian sendiri belum cerita kenapa kalian pisah dengan suami-suami kalian.”

“Mari kita buka dengan ceritaku terlebih dahulu.” Seru Anita. “ Aku pisah dengan suamiku karena aku sudah nggak kuat dengan kelakuan suamiku. Sudah tiga kali aku memergoki suamiku selingkuh.” Jelas Anita dengan nada yang penuh dengan kegetiran.
Aku tercenung. Ada rasa kasihan yang menyeruak bercampur dengan satu tanya yang tiba-tiba muncul di hatiku. Pernahkah Andri mencurangi pernikahanku dengannya? Pernahkah dia selingkuh? Aku yakin tipe lelaki seperti Andri tidak akan menodai komitmennya. Aku pun bahkan tidak pernah merasa curiga dengan Andri. Bahkan aku tidak akan pernah percaya andai ada orang yang bilang suamiku –maksudku mantan suamiku itu- selingkuh. Aku percaya kepadanya dan memang lelaki seperti dirinya layak untuk dipercaya.

“Kalau suamiku ringan tangan. Dikit-dikit marah. Masih mending kalau marahnya hanya membentak dengan mulut. Tapi setiap marah dia selalu membawa tangannya. Entah sudah berapa kali dia menampar dan memukulku.” Kali ini Sari membuat pengakuan yang mengagetkan.

Aku tercengang. Rasa kagetku semakin menjadi ketika Sari memperlihatkan bilur-bilur biru kehitaman yang masih membekas di betisnya. Bekas semua kekerasan fisik itu belum hilang mengingat baru pekan kemarin dia resmi bercerai.  Dasar lelaki binatang tak berprikemanusiaan. Dan lagi-lagi satu tanya kembali muncul di hatiku. Pernahkah Andri memukulku? Jangankan memukul, membentak pun dia tidak pernah. Sekalinya jengkel atau marah, dia hanya mendiamkanku. Itu saja. betapa aku beruntung pernah menikah dengannya.

Sekarang tinggal Lastri yang belum bercerita.

“Nah, sekarang, apa alasanmu berpisah dengan suamimu, Las?’ tanyaku penasaran.

“Aku malas punya suami pemalas yang nggak mau kerja. Dia hidup seperti benalu. Oh, lebih tepat jika aku sebut parasit. Aku yang banting tulang bekerja sementara dia hanya tidur di atas sofa. lelaki macam apa dia? Dasar lelaki nggak punya kehortaman, makan hasil dari keringat istrinya sendiri.”

“Kalau belum menemukan pekerjaan ya harus gimana lagi, Las. Kasihanlah suamimu.” Cetus Anita.

Lastri geleng-geleng kepala. “Dia nggak kerja bukan karena belum menemukan pekerjaan. Tapi dia memang nggak mau kerja. Dia nggak pernah nyari pekerjaan dan nggak pernah berusaha.”

Kamu hanya mengangguk bersamaan dan memahaminya. Dan tanya ketiga kembali muncul di hatiku. Bagaimana dengan Andri? Dia seorang suami yang berdedikasi. Dia selalu memberiku uang belanja yang cukup setiap bulannya. Bahkan lebih dari cukup. Aku seakan menjadi istri yang dimanja dengan materi.

Tiba-tiba ada rasa rindu yang menyeruak di dada. Aku merindukan Andri dengan tiba-tiba setelah mendengar cerita ketiga temanku itu. Sesal mulai mengganggu jiwaku. Bagaimana bisa aku membiarkan diriku menjauh dari lelaki yang begitu sempurna hanya karena satu alasan yang aku anggap sebagai kekurangan. Jika dibanding dengan semua cerita temanku, Andri jauh melampui. Dia terlampau sempurna jika dibandingkan dengan tiga suami temanku. Bahkan tidak layak disandingkan dengan mereka. Sosok Andri kini memiliki nilai di hatiku. Dia seperti permata. Dan aku dengan bodohnya telah membuang permata itu dari genggamanku.

Rasa takut kini muncul. Aku takut permata itu  diambil orang lain.

***

Malam itu aku segera memacu avanzaku menuju rumah sewaan Andri. Aku masih memiliki waktu. Masa iddahku belum habis. Masih tersisa tiga pekan waktu yang tersisa. Aku sampai tepat pukul Sembilan malam. Aku mengucap salam. Tapi tak ada jawaban. Tanganku terlulur untuk menekan bel. Kutekan tiga kali dan beberapa menit kemudian suara langkah kaki datang. jantungku berdetak tak karuan. Aku gugup bercampur takut. Rindu bercampur malu.

Daun pintu terbuka dan aku melihat lelaki itu berdiri menjulang di hadapanku. Aku menghambur memeluknya dengan erat dan terisak di pundaknya.

“Ada apa?” dia melontar tanya. Aneh, kedua tangannya masih diam di tempat dan tidak menyambut pelukanku. Dia tidak mengelus punggungku dan membenamkan hidungnya di bahuku. Ada apa?

“Maafkan aku.”

“Ada apa?” ini tanya kedua.

Aku melepaskan pelukan dan menghapus air mataku. “Aku mengaku khilaf. Aku ingin kembali. Mungkin kamu bisa rujuk.”
Dia menggeleng. Detak jantungku seakan berhenti.” Kenapa?”

“Aku sudah melamar seorang gadis kemarin. Andai kau datang sebelum hari kemarin. Andai waktu bisa diputar, Mil. Tapi semua sudah terlanjur. Asal kau tahu, aku masih mencintaimu dan berharap kamu kembali. Tapi aku sudah terlanjur melamar gadis itu.”

Aku menangis terisak-isak dan berlalu dari hadapan permataku yang telah dimiliki orang lain.


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment