Sudah lama aku muak. Muak ketika menyadari bahwa aku tidak
berdaya menolak dan melawan semua kehendak suamiku Andri. Andri si suami
pengekang yang mengatur semua kehidupanmu. Ini boleh itu tidak boleh, yang ini
tidak layak yang itu cocok dan semacamnya. Aku, Mila Sarmila tak lebih seperti
seekor burung yang berada di dalam sangkar. Yang tidak bisa bebas terbang
kesana kemari menikmati udara bebas dan menghirup aroma kemerdekaan sebagai
seorang wanita karir yang sesungguhnya.
Andri seperti seorang penjajah yang membatasi semua
aktifitasku. Jiwaku yang berontak dan selalu menyukai petualangan dalam karir
memberontak. Selama ini aku melawan kehendak hati nuraniku sendiri demi sebutan
istri yang tahu diri. entah sudah berapa kali Andri menyampaikan alibinya dan
mencoba melunakan semua protes halusku.
“Aku ingin kerja. Ada iklan lowongan kerja sebagai wartawan
di koran lokal.” Ujarku suatu hari kepada Andri.
Sebagaimana biasa dia tidak menanggapi pertanyaanku. Untuk tanya
dan pinta yang kedua, dia mendongak. Menatapku. Mengulitiku dengan tatapannya
yang penuh makna. “Apakah uang yang aku berikan kurang Sayang? Sehingga kamu
merasa perlu bekerja.”
“Ini bukan masalah uang.”
“Lalu apa sayang?”
“Ini masalah hobi. Aku sudah sejak dulu ingin jadi wartawan.
Jadi untuk apa aku kuliah jurusan jurnalistik dan komunikasi kalau
ujung-ujungnya Cuma mengeram di rumah seperti ini?”
“Kamu kan sudah jadi penulis freelance. Nulis juga bisa
dilakukan dari dalam rumah. wifi sudah terpasanga. Computer ada satu ditambah
satu buah mac. Nggak ada yang kurang kan sayang.”
“Tapi ini beda.”
“Bedanya apa?”
Aku merutuk dalam hati. Lelaki ini memang banyak sekali
alasan. Alibinya terkadang tak bisa aku bantah. Aku hanya bisa mengomel
kepadanya. Tapi Andri tidak menanggapi
dan memilih mengabaikanku. Dasar lelaki tak tahu diri.
Di hari yang lain Andri menceramahiku layaknya seorang
ustadz di atas mimbar. “Seorang wanita muslim yang baik itu nggak boleh bekerja
di luar.”
“Siapa bilang, banyak guru dan dokter muslimah yang bisa
tetap bekerja di luar. Kalau nggak ada guru wanita, siapa yang mengajar
murid-murid perempuan di madrasah. Kalau nggak ada dokter wanita, siapa yang
akan memeriksa pasien perempuan?” Bantahku dengan nada jengkel.
“Aku nggak berbicara tentang guru dan dokter. Aku berbicara
tentang jurnalistik. Di kantor koran lokal itu kan campur baur antara laki dan
perempuan. belum lagi tugas ke lapangan. Perempuan nggak cocok seperti itu.”
Kau dengar? Dia memang lelaki konservatif yang sangat
menyebalkan. Sok alim. Sok suci. Si pengekang yang tidak tahu realitas masa
kini karena otaknya yang kolot. Terlalu kolot dan kuno malah. Apa salahnya
seorang muslimah menjadi wartawan?
Andri menatapku dengan tatapan yang berharap seakan dia
ingin aku mengerti dan memahaminya. “Syariat islam mengatur hal ini, sayang.”
Terserah kaulah. Aku sudah cape. Rutukku di dalam hati dan
segera berlalu dari dalam hati. Ingin rasanya aku membanting pintu, tapi aku
tidak tega melakukannya. Selamat tinggal lowongan kerja.
***
Kalau Andri bilang bahwa sabar tidak ada batasnya, maka aku
berani mengatakan sabar ada batasnya. Dan aku sebagai buktinya. Hari ini aku
meminta Andri menceraikanku. Aku sudah berpikir masak-masak dan aku sudah yakin
dengan keputusanku sendiri. aku yakin bahwa aku tidak akan menyesal dengan
mengambil keputusan ini.
Sudah terbayang di benakku masa-masa kebebasan yang segera
akan aku sambut dengan sukacita. Tidak ada lagi yang berani mengekang diriku
dengan segala harsatnya yang menggebu. Aku membayangkan bekerja di kantor koran
lokal dan menjadi contributor beberapa media. Aku juga membayangkan aku kembali
mengakrabi puncak-puncak gunung yang selama ini sempat tertunda. Aku bahkan
bermimpi untuk meraih gelar doctoral di singapura. Ah, aku akan segera bebas
dari penjara pernikahanku dengan Andri.
Andri tidak bisa berbuat banyak. Yang tak pernah aku duga
dia begitu mudah melepaskanku. Dia membiarkanku meninggalkannya.
“Aku tidak bisa memaksamu untuk tetap bersama. Mungkin kita
berbeda.” Ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Hai mataku, jangan
mengkhianati kegembiraanku. Kau tidak boleh menangis dan terlihat lemah di
hadapan lelaki pengekang itu.
“Silakan bawa kunci rumah ini. Maaf jika selama ini aku
tidak menyenangkan.” pungkas Andri dan meletakan kunci rumah kami di atas meja.
Aku terperangah dan tidak tahu harus berkata apa. “Nggak usah, aku pulang ke
rumah mama. Lagian kan rumah ini kamu yang beli.”
Andri menggeleng. “Aku masih bisa membeli atau menyewa rumah
yang lain. Mungkin kamu memerlukan rumah ini.”
Aku tidak bisa menolaknya.
***
Tiga bulan genap setelah perceraian, aku sudah merasakan
aroma kebebasan yang kentara. Aku sudah menjadi wartawati yang selama ini aku
cita-citakan. Bekerja sepanjang waktu untuk surat kabar lokal dan menjadi
penyiar radio. Dan pekan depan aku sudah berjanji dengan teman-temanku untuk
hiking.
Sementara hari ini ada acara reuni dengan teman-teman SMAku.
Aku bertemu teman satu gengku ketika SMA; Anita, Lastri dan Sari. Tak pernah
aku duga ternyata tiga temanku sama-sama menjadi seorang janda. Aku menceritakan
kepada mereka kenapa aku memilih berpisah dengan suamiku.
“Ya ampun Mil. Kenapa lelaki sebaik Andri kamu buang begitu
aja. jelas aku nggak pernah berpikir kamu pisah sama Andri. Selama ini kalian
terlihat serasi dan akur.” Seru Sari demi mendengar pengakuanku bahwa aku sudah
pisah sejak dua bulang yang lalu.
“Dia terlalu mengekangku.” Bantahku.
Sari mengangkat bahu. “Aku nggak akan ikut campur. Yang penting
kamu senang.”
“Nah, kalian sendiri belum cerita kenapa kalian pisah dengan
suami-suami kalian.”
“Mari kita buka dengan ceritaku terlebih dahulu.” Seru Anita.
“ Aku pisah dengan suamiku karena aku sudah nggak kuat dengan kelakuan suamiku.
Sudah tiga kali aku memergoki suamiku selingkuh.” Jelas Anita dengan nada yang
penuh dengan kegetiran.
Aku tercenung. Ada rasa kasihan yang menyeruak bercampur
dengan satu tanya yang tiba-tiba muncul di hatiku. Pernahkah Andri mencurangi
pernikahanku dengannya? Pernahkah dia selingkuh? Aku yakin tipe lelaki seperti
Andri tidak akan menodai komitmennya. Aku pun bahkan tidak pernah merasa curiga
dengan Andri. Bahkan aku tidak akan pernah percaya andai ada orang yang bilang
suamiku –maksudku mantan suamiku itu- selingkuh. Aku percaya kepadanya dan
memang lelaki seperti dirinya layak untuk dipercaya.
“Kalau suamiku ringan tangan. Dikit-dikit marah. Masih mending
kalau marahnya hanya membentak dengan mulut. Tapi setiap marah dia selalu
membawa tangannya. Entah sudah berapa kali dia menampar dan memukulku.” Kali ini
Sari membuat pengakuan yang mengagetkan.
Aku tercengang. Rasa kagetku semakin menjadi ketika Sari
memperlihatkan bilur-bilur biru kehitaman yang masih membekas di betisnya. Bekas
semua kekerasan fisik itu belum hilang mengingat baru pekan kemarin dia resmi
bercerai. Dasar lelaki binatang tak
berprikemanusiaan. Dan lagi-lagi satu tanya kembali muncul di hatiku. Pernahkah
Andri memukulku? Jangankan memukul, membentak pun dia tidak pernah. Sekalinya jengkel
atau marah, dia hanya mendiamkanku. Itu saja. betapa aku beruntung pernah menikah
dengannya.
Sekarang tinggal Lastri yang belum bercerita.
“Nah, sekarang, apa alasanmu berpisah dengan suamimu, Las?’
tanyaku penasaran.
“Aku malas punya suami pemalas yang nggak mau kerja. Dia hidup
seperti benalu. Oh, lebih tepat jika aku sebut parasit. Aku yang banting tulang
bekerja sementara dia hanya tidur di atas sofa. lelaki macam apa dia? Dasar lelaki
nggak punya kehortaman, makan hasil dari keringat istrinya sendiri.”
“Kalau belum menemukan pekerjaan ya harus gimana lagi, Las. Kasihanlah
suamimu.” Cetus Anita.
Lastri geleng-geleng kepala. “Dia nggak kerja bukan karena
belum menemukan pekerjaan. Tapi dia memang nggak mau kerja. Dia nggak pernah
nyari pekerjaan dan nggak pernah berusaha.”
Kamu hanya mengangguk bersamaan dan memahaminya. Dan tanya
ketiga kembali muncul di hatiku. Bagaimana dengan Andri? Dia seorang suami yang
berdedikasi. Dia selalu memberiku uang belanja yang cukup setiap bulannya. Bahkan
lebih dari cukup. Aku seakan menjadi istri yang dimanja dengan materi.
Tiba-tiba ada rasa rindu yang menyeruak di dada. Aku merindukan
Andri dengan tiba-tiba setelah mendengar cerita ketiga temanku itu. Sesal mulai
mengganggu jiwaku. Bagaimana bisa aku membiarkan diriku menjauh dari lelaki
yang begitu sempurna hanya karena satu alasan yang aku anggap sebagai
kekurangan. Jika dibanding dengan semua cerita temanku, Andri jauh melampui. Dia
terlampau sempurna jika dibandingkan dengan tiga suami temanku. Bahkan tidak
layak disandingkan dengan mereka. Sosok Andri kini memiliki nilai di hatiku. Dia
seperti permata. Dan aku dengan bodohnya telah membuang permata itu dari
genggamanku.
Rasa takut kini muncul. Aku takut permata itu diambil orang lain.
***
Malam itu aku segera memacu avanzaku menuju rumah sewaan
Andri. Aku masih memiliki waktu. Masa iddahku belum habis. Masih tersisa tiga
pekan waktu yang tersisa. Aku sampai tepat pukul Sembilan malam. Aku mengucap
salam. Tapi tak ada jawaban. Tanganku terlulur untuk menekan bel. Kutekan tiga
kali dan beberapa menit kemudian suara langkah kaki datang. jantungku berdetak
tak karuan. Aku gugup bercampur takut. Rindu bercampur malu.
Daun pintu terbuka dan aku melihat lelaki itu berdiri
menjulang di hadapanku. Aku menghambur memeluknya dengan erat dan terisak di
pundaknya.
“Ada apa?” dia melontar tanya. Aneh, kedua tangannya masih
diam di tempat dan tidak menyambut pelukanku. Dia tidak mengelus punggungku dan
membenamkan hidungnya di bahuku. Ada apa?
“Maafkan aku.”
“Ada apa?” ini tanya kedua.
Aku melepaskan pelukan dan menghapus air mataku. “Aku
mengaku khilaf. Aku ingin kembali. Mungkin kamu bisa rujuk.”
Dia menggeleng. Detak jantungku seakan berhenti.” Kenapa?”
“Aku sudah melamar seorang gadis kemarin. Andai kau datang
sebelum hari kemarin. Andai waktu bisa diputar, Mil. Tapi semua sudah
terlanjur. Asal kau tahu, aku masih mencintaimu dan berharap kamu kembali. Tapi
aku sudah terlanjur melamar gadis itu.”
Aku menangis terisak-isak dan berlalu dari hadapan permataku
yang telah dimiliki orang lain.
No comments:
Post a Comment