Agama adalah
nasihat, dank arena itulah kita dianjurkan untuk nasihat menasihati. Untuk menjadi
penasihat, tidak perlu menjadi seorang yang pintar dengan segudang ilmu di
kepala. Tidak pula harus bertitle ustadz. Bahkan kita tidak perlu menunggu
sempurna untuk memulai. Justru sesuatu tidak akan pernah sempurna jika kita
tidak memulainya.
Hanya saja,
tunjukan nasihatmu itu sebagai pelajaran untuk dirimu sendiri dan orang lain. Dahulu,
ada ulama yang berkata, “Jika kami menganggap nasihat yang kami sampaikan telah
memperbaiki orang lain, sungguh kami takut anggapan ini menjadi sebab kami dibangkitkan
bersama Firaun.”
Ya, karena
hakikatnya yang mengirimkan sinyal keimanan ke dalam hati mereka adalah Allah subhanahu
wata'ala. Kita hanyalah perantara terhantarnya petunjuk tersebut.
Maka,
alangkah elok jika kita bisa memperelok kalimat ketika memberi nasihat. Alih-alih
menggunakan kata engkau, kamu, you dan semacamnya, maka ungkapkanlah KITA.
‘Kamu harus selalu mengingat Allah.’‘Kita harus selalu mengingat Allah.’
Diantara dua
kalimat tersebut, mana yang paling enak di dengar di kedua telinga kita dan
mana yang paling sejuk sehingga begitu mudah menyelusup ke dalam relung hati. Saya
bisa menduga bahwa kamu memilih kalimat yang kedua.
Memang, pada
asalnya tidak ada yang suka dinasihati. Daripada memerintahkan orang lain untuk
menahan marah, lebih baik kita ceritakan ketika kita telah meluapkan marah yang
meledak-ledak dan ternyata hal tersebut berbuah penyesalan. Alih-alih kita
melarang orang untuk berkata kasar di medsos, lebih baik kita ceritakan bahwa
diri kita juga masih belajar untuk memperbaiki ucapan dan tutur kata.
Dengan cara
seperti ini, mereka tidak merasa sedang dinasihati, tapi mereka seakan melihat
kita bercerita dan berbagi. Padahal, tanpa disadari kita telah menyampaikan
sebuah nasihat yang membuat mereka sadar dengan kekeliruannya. Jangan menggurui,
tapi jadilah sosok yang berbagi dengan apa yang telah dialami dan diketahui.
Satu-satunya
sekolah di mana jumlah guru lebih banyak dari jumlah muridnya adalah di
Facebook. Oleh karena itu jangan ditambah lagi dengan dirimu. Jangan menjadi
hakim dadakan yang begitu mudah menghakimi sana sini. Sekarang, siapa pun bisa
menjadi hakim dan menyimpulkan keputusan tanpa pernah berpikir panjang.
Ketika
nasihat itu tertuju kepada diri kita sendiri, bukan karena ingin didengarkan
dan ketenaran, maka kita tak akan gelisah dengan jumlah follower, berapa like
yang kita dapat, atau komentar dari orang lain. Hati-hatilah kecondongan kepada jumlah
follower dengan mudah menghanguskan pahalamu semudah api yang menghanguskan
kayu bakar.
Dikisahkan sekelompok
murid sedang memuji majelis pengajian tertentu dan meremehkan majelis pengajian
yang lain. Lalu guru mereka datang dan menegur perbuatan itu,
"Janganlah
kalian memuji berlebihan majelis yang ramai jamaahnya, dan jangan pula
meremehkan majelis yang sepi jamaahnya! Karena kita tak tahu mana yang lebih
diridhai oleh Allah di antara keduanya."
Nah,
hendaknya kisah ini engkau renungkan, agar dirimu tak merasa risau. Sebab kita
tidak tahu keridhaan Allah ada pada jumlah follower yang banyak atau yang
sedikit.
Nabi Nuh tak
pernah mengeluhkan jumlah umatnya yang ikut ke atas perahu. Nabi Musa juga tak
pernah menghitung-hitung berapa banyak orang yang berjuang bersama dirinya
ketika dikejar bala tentara Fir'aun. Lalu apa yang kita gundahkan?
Terakhir,
hendaknya kita senantiasa lapar akan ilmu. Jangan berhenti belajar. Sebab jika
pengetahuan kita diam di tempat artinya kita sedang berjalan mundur.
Coba
perhatikan saat kita sedang di atas kereta api, kelihatannya pohon-pohon di
pinggir jalan sedang berjalan mundur bukan? Padahal pohon tersebut hanya diam
di tempat, efek seperti itu disebabkan kereta apinya saja yang sedang melaju
cepat. Begitulah jika kita diam, maka jadilah kita seperti pohon itu yang
berjalan mundur, karena orang-orang selain kita justru sedang melaju cepat.
Jadilah selalu muslim pembelajar, jangan diam.
No comments:
Post a Comment