Sebenarnya saya berat hati mengatakan bahwa karya-karya
fiksi yang memuat adegan tak senonoh sebagai karya sastra. Mengingat
orang-orang sekuler mengatakan sastra itu tak mengenal batas-batas norma, maka
disini saya akan mencoba meluruskannya. Siapa saya? Saya bukan pemerhati
sastra? Saya bukan penulis beken? Hanya penulis amatiran. Tapi terlepas dari
semua itu, saya tegaskan bahwa saya sangat tidak setuju jika fiksi yang memuat
adegan panas disebut karya sastra. Bagi saya, karya tulis semacam itu tak lebih
dari karya sampah yang rendah mutu.
Memang, seks tidak selamanya tabu dan amoral jika berada
dalam rel yang benar. Pun dalam karya sastra, deskripsi seksual tidak dilarang
selama tidak membawa fantasi pembaca kepada dunia erotisme yang penuh gairah. Lebih
tepatnya bisa menulis seksualitas dalam bahasa kiasan yang lebih beradam dan
santun.
Sayangnya, banyak diantara sastrawan kita-semua rerata
sastrawan sekuler- begitu bebas memasukan unsur seksualitas yang sangat erotis
dalam karya-karya mereka. Sebutlah novel Saman (Ayu Utami), Jangan Main-Main
Dengan Kelaminku (Djenar Maesa Ayu), Wajah Sebuah Vagina (Naming Pranoto), Kuda
Ranjang (Binhad Nurrohmat) dll. Melihat dari judulnya saja kita sudah bisa
memastikan bahwa karya itu tak jauh dari urusan selangkangan, kelamin dan
lendir.
Saya berani mengatakan bahwa karya-karya tersebut tercela
dan tabu bagi masyarakat kita mengingat isinya yang binal dan vulgar. tidak
layak untuk dibaca dan lebih layak untuk dibakar. (maaf saya frontal).
Dengan adanya karya-karya sastra sampah seperti itu,
seksualitas tidak lagi menjadi satu hal yang suci dan sakral. Mereka menggiring
benak pembaca untuk berpola pikir bahwa seks adalah kebutuhan manusia sebagai makhluk
hidup yang harus ditunaikan, bagaimana pun caranya.
Saya biasa menemukan ‘sastra lendir’ dalam novel-novel
terjemahan harlequin dan contemporary romance yang biasa diterjemahkan oleh
penerbit Elex Media dan Gramedia. Betapa saya harus menahan nafas ketika
menemukan banyak sekali deskripsi erotis yang begitu ‘menggairahkan.’ Mau tak
mau saya harus skip bagian tersebut walau godaan untuk membacanya sangat besar.
Atau paling tidak saya berhenti membacanya dan mencomot buku lain.
Dan baru-baru ini saya tercengang ketika ada anggota grup
kepenulisan facebook yang berani menulis sastra lendir. Lebih mencengangkan
lagi dia seorang wanita yang berhijab. Mungkin kepalanya saja yang berhijab,
tapi isi otaknya tak lebih dari urusan kelamin dan selangkangan.
Orang ini koar-koar bahwa pembaca yang mengkritik karyanya
memiliki otak mesum sehingga menganggap karya tulisnya ‘jorok.’ Nah, siapa
sebenarnya yang mesum. Tentu saja orang normal akan terangsang dengan membaca
karyanya. Hanya saja yang jadi soal adalah bagaimana dia tidak menggiring
pembaca untuk memikirkan urusan kelamin.
Mari kita analogikan dengan narkoba. Apakah kita akan
menyalahkan konsumen ganja yang membeli ganja sementara membiarkan pengedar
ganja berkeliaran. Jadi, jika berpikir pakai otak. Oh iya, maklum, otaknya
hanya berisi kelamin, selangkangan dan lendir. Jadi tidak bisa berpikir normal.
Ciapus, 290119
Setuju
ReplyDeleteSetuju
ReplyDelete