17 Dec 2018

Tetanggaku yang Aneh



Malam itu aku terbangun karena suara aneh dari balik dinding kamarku. Mataku yang mulai berat kembali terjaga dan bertanya-tanya, ada apakah ini?
Oh No! ada suara desahan dari arah kamar sebelah dan suara itu diiringi oleh suara pukulan dan getaran di dinding. Inilah resiko tinggal di sebuah apartemen dengan dinding yang tipis. Kau bisa mendengarkan semua suara dari kamar tetangga.
Beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa itu suara orang yang sedang bercinta. Tiba-tiba aku merasa terjebak dalam kondisi yang begitu menyebalkan. Mataku kembali terjaga dan aku tahu aku tidak bisa tidur dengan suara-suara menyebalkan di balik dinding.  Aku beranjak dari tempat tidur dengan muka yang tertekuk menuju meja belajar. Mengambil textbook tentang sejarah peradaban manusia yang akan aku pelajari di kampus dan mulai menekurinya. Tapi, Oh Tuhan, suara itu jelas-jelas menghancurkan konsentrasinya. Suara desah perempuan dan suara baritone seorang pria yang menggeram, ‘Oh Yeah!”
Aku hampir gila dan membanting textbook dan dengan tergesa berlari menuju balkon. Berharap suara itu tidak sampai terdengar ke area balkon sehingga aku bisa terbebas dari kekacauan pikiran. Aku menutup pintu kaca riben dan duduk di atas kursi plastic dan menghela nafas.
Tapi diam-diam aku tersenyum tipis. Ini menyebalkan sekaligus menjengkelkan. Hari kemarin, dia merasa risih ketika melihat sepasang kekasih berciuman di dalam kereta, dan sepekan yang lalu bahkan dia melihat sepasang pria gay bercumbu di taman. Benar-benar menjijikan dan membuat perutnya terasa diaduk-aduk hingga dia ingin muntah. Inilah Amerika serikat. Inilah Negara yang tentu saja berbeda dengan Negara Asalnya. Dia harus bisa terbiasa dan tentu saja tidak harus ikut-ikutan gila dengan budayanya.
***
Aku sedang bermimpi ibuku. Ya, aku bermimpi ibuku berkunjung ke amerika demi memasak rendang kesukaanku. Ibuku menasihatiku untuk rajin belajar layaknya aku anak SD kelas tiga yang belum disiplin. Tapi bayangan ibu dan nasihatnya mengabur seiring kesadaranku kembali muncul. Tempat tidurku bergetar. Kuharap New York tidak dilanda gempa. Bukan, itu bukan gempa. Tapi ini seperti getaran dari arah kamar tetangga. Sayup-sayup kedua telingaku kembali menangkap suara yang persis sama seperti suara yang kemarin kudengar. Hanya saja ini agak beda. Suara si perempuannya beda dan itu artinya lelaki itu –siapa pun itu- telah berganti pasangan.
Masih dengan suara desahan yang khas dan suara baritone lelaki yang meningkahinya. Aku menatap jam dinding. Jarum jam menunjukan pukul dua dini hari. Kurang ajar! Mereka membangunkanku dengan aktifitas bercinta mereka.
‘Si Kantuk’ sudah malas menghinggapi mataku dan aku tahu aku tidak bisa tidur lagi dengan suara sialan itu. pada akhirnya aku hanya bisa duduk mencangkung kaki dan mencoba mengabaikan suara dari tetangga sebelah. Beberapa menit kemudian aku beranjak darisana, menghidupkan mesin pembuat kopi dan menyeduh kopi yang sudah halus dan menyeruputnya. Pada akhirnya aku kembali tenggelam dalam diktat kuliahku.
***
Kau bisa menebak apa yang terjadi mala mini? Benar, suara itu kembali datang, suara yang tidak asing lagi dan ya Tuhan, kali ini aku sudah tidak tahan lagi. Itu karena benturan di dinding kamar yang membuat pigura yang membingkai potretku jatuh dari dinding dan tepat mengenai keningku. Aku menjerit dan reflex terbangun dengan kening yang mengeluarkan darah. Sialan!
Rasa kantuk hilang berganti amarah yang meluap hingga ubun-ubun. Aku menyibak selimut dan menghentakan kaki ke lantai. Bahkan aku tidak sempat memikirkan sandal dan tidak peduli dengan lantai yang dingin.
Aku menerjang pintu, menyusuri koridor dan berdiri tepat di depan pintu sang tetangga. Amarah itu mampu memprovokasi kedua tanganku untuk menggedor pintunya sekeras mungkin. Persetan dengan tatakrama, persetan tentang ajaran ibu untuk menjadi tetangga yang baik. Aku tidak peduli. Karena hak tidurku telah dirampas oleh suara desahan, erangan dan geraman yang menyebalkan.
Aku perlu menggedor sebanyak lima kali dengan gedoran yang cukup keras sehingga aku baru menyadari bahwa tanganku mulai kesakitan.
Aku bisa mendengar suara langkah kaki dari dalam dan beberapa detik kemudian daun pintu terbuka dari dalam. Dihadapanku menjulang sosok pria bertelanjang dada dengan selimut putih yang melingkari pinggangnya. Sorot matanya yang memancarkan rasa heran.
Napasku memburu dan aku mulai menceramahinya, “Dengar! Aku tidak mau lagi mendengarkan suara sialan kalian, dan aku tidak mau mendengar benturan di dinding kamarku. Kalian telah merampas kedamaianku selama tiga malam.”
Pria itu masih terdiam dan terpana.
 “Hei, apa kau mendengar apa yang aku katakan?” tanyaku dan menatap pria bermata biru itu garang.
Pria itu mengusap mukanya. Dia menunduk dan beberapa detik kemudian mendongak dengan senyum tersipu, “Maafkan aku, kukira kamar disebelahku tidak berpenghuni sehingga aku tidak memikirkan tentang bagaimana tetanggaku bisa terganggu.”
“Aku sudah tiga hari di kamar sebelah, dan tiga hari yang lalu aku berpapasan denganmu di koridor. Jadi berhentilah memberiku alasan untuk menutupi rasa bersalahmu.” Sergahku dengan jengkel.
Pria itu masih tersenyum. Jujur, aku mengakui dia tampan dan senyumnya menawan. Jadi tak heran jika selama tiga malam ini dia bisa membawa tiga perempuan yang berbeda ke kamarnya.
Dan katakan kepada pasangan-pasangan seksmu, berhentilah mendesah terlalu nyaring dan terlalu panjang. Aku terlalu jijik mendengarnya. Dan kau, berhentilah menggeram dan memukul. Dan aku pikir kau lebih baik melakukannya di atas lantai alih-alih bersandar di dinding kamarku.”
“Aku bersandar di dinding kamarku, Nona.” Jawab pria itu. tampaknya kecanggungan itu sudah lenyap. Terbukti dia bisa mengucapkan kalimatnya dengan santai.
“Iya, tapi itu juga dinding kamarku, kau tidak boleh egois.” Aku kembali menyergahnya dan berlalu dengan hati yang masih menyimpan kejengkelan.
“Hei!” pria itu memanggilku dan aku berbalik badan, masih menatapnya garang.
“Omong-omong namaku James. Jika kau mau bergabung, pintu terbuka untukmu.”
Jika aku memakai sandal, mungkin aku sudah melempar mukanya dengan sandal. Berhubung aku tidak memiliki apa pun untuk dilemparkan dan tidak mendapatkan apa pun untuk bisa dijadikan pelempar aku hanya mengentakan kakiku dan mencengkram ujung baju tidurku. Aku membalikan badanku, masuk ke dalam apartemenku dan membanting pintu.
***
Ini malam keempat dan malam ini aku bisa tidur nyenyak. ‘Si kantuk’ semakin mesra di mataku dan tidak lagi terganggu dengan suara jeritan, desahan, erangan, geraman dan pukulan yang bersahutan. Ah, malam yang damai. Aku tidak perlu khawatir mengantuk saat menghadiri kelas Mr. Brown tentang sejarah perang dan agama sehingga dia menyindirku habis-habisan.
Pagi ini ketika aku hendak berangkat ke kampus aku bertemu dengan pria ‘si pembentur dinding’ dan dia tersenyum lebar ke arahku. Jujur, rasa jengkelku sudah hilang karena dia sudah mematuhi aturanku tentang larangan bersuara saat bercinta. Ini berarti dia seorang tetangga yang baik dan mengerti hak dan kewajiban bertetangga. Meski secara harfiah, dia bukan lelaki yang baik. Bagaimana kau bisa mengatakan dia lelaki yang baik jika dia telah ‘memakai’ tiga wanita berbeda dalam tiga malam. Gila kan?
“Bagaimana tidurmu?” tanyanya masih dengan senyum lebarnya. Dia tengah duduk di kursi depan apartemennya sembari memegang iphod di tangan kanan.
“Tidurku? Seperti biasa dan sebagaimana orang normal tidur. Aku tidur di atas kasur sejak pukul sepuluh malam hingga pukul lima pagi.” Aku berusaha melontarkan joke hanya untuk menutupi rasa bersalahku karena malam kemarin aku telah membentaknya habis-habisan. Omong-omong, aku baru sadar bahwa kemarahanku terkesan berlebihan. Memang benar apa yang Kangjeng Nabi ajarkan. Marah yang spontan itu akan mendatangkan kerugian dan penyesalan. Maka, jangan marah.
“Kau lucu juga ya. kukira kau tidak bisa melucu mengingat malam kemarin kau memarahiku layaknya anjing menatap kucing.” Pria itu membalas jokeku.
Aku tertawa renyah. “Terimakasih kalian tidak membuat keributan lagi dengan suara-suara sengau kalian. Kuharap ini akan berlangsung setiap malam sehingga aku bisa tidur nyenyak.” Kini aku berbicara tentang tidurku yang damai dari suara sialan ‘Si pembentur dinding.’
Dia kembali tertawa, “Aku tidak percaya bisa melakukannya tanpa suara. Bahkan aku harus membekap mulut pasanganku. Hanya saja lebih lama untuk mencapai O.”
“O?”
“Orgasme.”
Aku mulai jengah. Aku bisa merasakan pipiku memerah. Kenapa orang ini begitu santai membicarakan aktifitasnya di atas ranjang. Dasar otak mesum!
“Kau bekerja dimana?” tanyanya lebih lanjut. Sepertinya dia tahu aku merasa jengah sehingga mengalihkan pembicaraan.
“Aku kuliah.”
Dia mengangguk dan dia mengulurkan tangannya, “James.”
“Nadia.” Aku menyambut tangannya yang kukuh dan besar. Kemudian segera berlalu setelah melambaikan tangan kepada ‘Si pembentur dinding’ Karena aku tahu dia banyak omong dan aku akan terlambat jika meladeni omongannya. Dasar ‘Si Pembentur Dinding!’
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment