Malam itu aku terbangun karena suara aneh dari balik dinding
kamarku. Mataku yang mulai berat kembali terjaga dan bertanya-tanya, ada apakah
ini?
Oh No! ada suara desahan dari arah kamar sebelah dan suara
itu diiringi oleh suara pukulan dan getaran di dinding. Inilah resiko tinggal
di sebuah apartemen dengan dinding yang tipis. Kau bisa mendengarkan semua
suara dari kamar tetangga.
Beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa itu suara orang
yang sedang bercinta. Tiba-tiba aku merasa terjebak dalam kondisi yang begitu
menyebalkan. Mataku kembali terjaga dan aku tahu aku tidak bisa tidur dengan
suara-suara menyebalkan di balik dinding.
Aku beranjak dari tempat tidur dengan muka yang tertekuk menuju meja
belajar. Mengambil textbook tentang sejarah peradaban manusia yang akan aku
pelajari di kampus dan mulai menekurinya. Tapi, Oh Tuhan, suara itu jelas-jelas
menghancurkan konsentrasinya. Suara desah perempuan dan suara baritone seorang
pria yang menggeram, ‘Oh Yeah!”
Aku hampir gila dan membanting textbook dan dengan tergesa
berlari menuju balkon. Berharap suara itu tidak sampai terdengar ke area balkon
sehingga aku bisa terbebas dari kekacauan pikiran. Aku menutup pintu kaca riben
dan duduk di atas kursi plastic dan menghela nafas.
Tapi diam-diam aku tersenyum tipis. Ini menyebalkan
sekaligus menjengkelkan. Hari kemarin, dia merasa risih ketika melihat sepasang
kekasih berciuman di dalam kereta, dan sepekan yang lalu bahkan dia melihat
sepasang pria gay bercumbu di taman. Benar-benar menjijikan dan membuat
perutnya terasa diaduk-aduk hingga dia ingin muntah. Inilah Amerika serikat.
Inilah Negara yang tentu saja berbeda dengan Negara Asalnya. Dia harus bisa
terbiasa dan tentu saja tidak harus ikut-ikutan gila dengan budayanya.
***
Aku sedang bermimpi ibuku. Ya, aku bermimpi ibuku berkunjung
ke amerika demi memasak rendang kesukaanku. Ibuku menasihatiku untuk rajin
belajar layaknya aku anak SD kelas tiga yang belum disiplin. Tapi bayangan ibu
dan nasihatnya mengabur seiring kesadaranku kembali muncul. Tempat tidurku
bergetar. Kuharap New York tidak dilanda gempa. Bukan, itu bukan gempa. Tapi
ini seperti getaran dari arah kamar tetangga. Sayup-sayup kedua telingaku kembali
menangkap suara yang persis sama seperti suara yang kemarin kudengar. Hanya
saja ini agak beda. Suara si perempuannya beda dan itu artinya lelaki itu
–siapa pun itu- telah berganti pasangan.
Masih dengan suara desahan yang khas dan suara baritone
lelaki yang meningkahinya. Aku menatap jam dinding. Jarum jam menunjukan pukul
dua dini hari. Kurang ajar! Mereka membangunkanku dengan aktifitas bercinta
mereka.
‘Si Kantuk’ sudah malas menghinggapi mataku dan aku tahu aku
tidak bisa tidur lagi dengan suara sialan itu. pada akhirnya aku hanya bisa
duduk mencangkung kaki dan mencoba mengabaikan suara dari tetangga sebelah.
Beberapa menit kemudian aku beranjak darisana, menghidupkan mesin pembuat kopi
dan menyeduh kopi yang sudah halus dan menyeruputnya. Pada akhirnya aku kembali
tenggelam dalam diktat kuliahku.
***
Kau bisa menebak apa yang terjadi mala mini? Benar, suara
itu kembali datang, suara yang tidak asing lagi dan ya Tuhan, kali ini aku
sudah tidak tahan lagi. Itu karena benturan di dinding kamar yang membuat
pigura yang membingkai potretku jatuh dari dinding dan tepat mengenai keningku.
Aku menjerit dan reflex terbangun dengan kening yang mengeluarkan darah.
Sialan!
Rasa kantuk hilang berganti amarah yang meluap hingga
ubun-ubun. Aku menyibak selimut dan menghentakan kaki ke lantai. Bahkan aku
tidak sempat memikirkan sandal dan tidak peduli dengan lantai yang dingin.
Aku menerjang pintu, menyusuri koridor dan berdiri tepat di
depan pintu sang tetangga. Amarah itu mampu memprovokasi kedua tanganku untuk
menggedor pintunya sekeras mungkin. Persetan dengan tatakrama, persetan tentang
ajaran ibu untuk menjadi tetangga yang baik. Aku tidak peduli. Karena hak
tidurku telah dirampas oleh suara desahan, erangan dan geraman yang
menyebalkan.
Aku perlu menggedor sebanyak lima kali dengan gedoran yang
cukup keras sehingga aku baru menyadari bahwa tanganku mulai kesakitan.
Aku bisa mendengar suara langkah kaki dari dalam dan
beberapa detik kemudian daun pintu terbuka dari dalam. Dihadapanku menjulang
sosok pria bertelanjang dada dengan selimut putih yang melingkari pinggangnya.
Sorot matanya yang memancarkan rasa heran.
Napasku memburu dan aku mulai menceramahinya, “Dengar! Aku
tidak mau lagi mendengarkan suara sialan kalian, dan aku tidak mau mendengar
benturan di dinding kamarku. Kalian telah merampas kedamaianku selama tiga
malam.”
Pria itu masih terdiam dan terpana.
Pria itu mengusap mukanya. Dia menunduk dan beberapa detik
kemudian mendongak dengan senyum tersipu, “Maafkan aku, kukira kamar
disebelahku tidak berpenghuni sehingga aku tidak memikirkan tentang bagaimana
tetanggaku bisa terganggu.”
“Aku sudah tiga hari di kamar sebelah, dan tiga hari yang
lalu aku berpapasan denganmu di koridor. Jadi berhentilah memberiku alasan
untuk menutupi rasa bersalahmu.” Sergahku dengan jengkel.
Pria itu masih tersenyum. Jujur, aku mengakui dia tampan dan
senyumnya menawan. Jadi tak heran jika selama tiga malam ini dia bisa membawa
tiga perempuan yang berbeda ke kamarnya.
Dan katakan kepada pasangan-pasangan seksmu, berhentilah
mendesah terlalu nyaring dan terlalu panjang. Aku terlalu jijik mendengarnya.
Dan kau, berhentilah menggeram dan memukul. Dan aku pikir kau lebih baik melakukannya
di atas lantai alih-alih bersandar di dinding kamarku.”
“Aku bersandar di dinding kamarku, Nona.” Jawab pria itu.
tampaknya kecanggungan itu sudah lenyap. Terbukti dia bisa mengucapkan
kalimatnya dengan santai.
“Iya, tapi itu juga dinding kamarku, kau tidak boleh egois.”
Aku kembali menyergahnya dan berlalu dengan hati yang masih menyimpan
kejengkelan.
“Hei!” pria itu memanggilku dan aku berbalik badan, masih
menatapnya garang.
“Omong-omong namaku James. Jika kau mau bergabung, pintu
terbuka untukmu.”
Jika aku memakai sandal, mungkin aku sudah melempar mukanya
dengan sandal. Berhubung aku tidak memiliki apa pun untuk dilemparkan dan tidak
mendapatkan apa pun untuk bisa dijadikan pelempar aku hanya mengentakan kakiku
dan mencengkram ujung baju tidurku. Aku membalikan badanku, masuk ke dalam
apartemenku dan membanting pintu.
***
Ini malam keempat dan malam ini aku bisa tidur nyenyak. ‘Si
kantuk’ semakin mesra di mataku dan tidak lagi terganggu dengan suara jeritan,
desahan, erangan, geraman dan pukulan yang bersahutan. Ah, malam yang damai.
Aku tidak perlu khawatir mengantuk saat menghadiri kelas Mr. Brown tentang
sejarah perang dan agama sehingga dia menyindirku habis-habisan.
Pagi ini ketika aku hendak berangkat ke kampus aku bertemu
dengan pria ‘si pembentur dinding’ dan dia tersenyum lebar ke arahku. Jujur,
rasa jengkelku sudah hilang karena dia sudah mematuhi aturanku tentang larangan
bersuara saat bercinta. Ini berarti dia seorang tetangga yang baik dan mengerti
hak dan kewajiban bertetangga. Meski secara harfiah, dia bukan lelaki yang
baik. Bagaimana kau bisa mengatakan dia lelaki yang baik jika dia telah
‘memakai’ tiga wanita berbeda dalam tiga malam. Gila kan?
“Bagaimana tidurmu?” tanyanya masih dengan senyum lebarnya.
Dia tengah duduk di kursi depan apartemennya sembari memegang iphod di tangan
kanan.
“Tidurku? Seperti biasa dan sebagaimana orang normal tidur.
Aku tidur di atas kasur sejak pukul sepuluh malam hingga pukul lima pagi.” Aku
berusaha melontarkan joke hanya untuk menutupi rasa bersalahku karena malam
kemarin aku telah membentaknya habis-habisan. Omong-omong, aku baru sadar bahwa
kemarahanku terkesan berlebihan. Memang benar apa yang Kangjeng Nabi ajarkan.
Marah yang spontan itu akan mendatangkan kerugian dan penyesalan. Maka, jangan
marah.
“Kau lucu juga ya. kukira kau tidak bisa melucu mengingat
malam kemarin kau memarahiku layaknya anjing menatap kucing.” Pria itu membalas
jokeku.
Aku tertawa renyah. “Terimakasih kalian tidak membuat
keributan lagi dengan suara-suara sengau kalian. Kuharap ini akan berlangsung
setiap malam sehingga aku bisa tidur nyenyak.” Kini aku berbicara tentang
tidurku yang damai dari suara sialan ‘Si pembentur dinding.’
Dia kembali tertawa, “Aku tidak percaya bisa melakukannya
tanpa suara. Bahkan aku harus membekap mulut pasanganku. Hanya saja lebih lama
untuk mencapai O.”
“O?”
“Orgasme.”
Aku mulai jengah. Aku bisa merasakan pipiku memerah. Kenapa
orang ini begitu santai membicarakan aktifitasnya di atas ranjang. Dasar otak
mesum!
“Kau bekerja dimana?” tanyanya lebih lanjut. Sepertinya dia
tahu aku merasa jengah sehingga mengalihkan pembicaraan.
“Aku kuliah.”
Dia mengangguk dan dia mengulurkan tangannya, “James.”
“Nadia.” Aku menyambut tangannya yang kukuh dan besar.
Kemudian segera berlalu setelah melambaikan tangan kepada ‘Si pembentur
dinding’ Karena aku tahu dia banyak omong dan aku akan terlambat jika meladeni
omongannya. Dasar ‘Si Pembentur Dinding!’


No comments:
Post a Comment