Kayla sedang merapikan meja makan ketika Mehmet datang
dengan wajah tirusnya yang tampak kelelahan. Adik lelaki keduanya yang berumur
lima belas tahun itu langsung saja duduk di atas meja makan dan mengambil
setangkup panekuk yang masih terhidang di atas meja makan dan segera memakannya
dengan lahap.
“Darimana saja kamu Mehmet?” tanya Kayla dengan tatapan
menyelidik. Sementara Mehmet tidak mendongakan kepalanya ketika kakak
perempuannya itu bertanya. Dia terlalu asyik menyendok panekuknya. “Jangan katakan
kau baru saja keluyuran dengan genk nakalmu.”
Mehmet berhenti mengunyah dan mengangkat telunjuknya sebagai
isyarat kepada Kayla untuk berhenti mencurigai dirinya. “Pertama, aku remaja
baik yang tidak mungkin ikut genk perusuh. Kedua, aku tidak pernah pulang
terlalu malam kecuali mala mini. Ketiga, cobalah bertanya alih-alih
mencurigaiku.”
“Jadi, darimana saja kamu?”
“Aku berkunjung ke rumah James.” Jelas Mehmet. Tapi sepertinya
ia tidak peduli dengan respon Kayla ketika menyebut nama James. Padahal dia
tahu ada tanda tanya besar di kedua bola mata hitam Kayla.
“Untuk apa kamu berkunjung kesana?”
Mehmet tidak jadi menyuapkan panekuk yang sudah bertengger
di atas sendok dan kembali menatap kakaknya dengan jengkel. “Tidakkah kau
biarkan aku menghabiskan makan malamku. Baru setelah itu kamu memberondongku
dengan sejuta pertanyaan.”
“Oh, baiklah.” Kayla tersenyum dan kembali membereskan
piring-piring dan gelas kotor di atas meja. Kemudian membawanya ke wastafel dan
membilasnya disana. selama tangannya membilas dan menuangkan cairan Sunglight
di wastafel, tanya itu masih menari-nari di kepalanya; untuk apa Mehmet
berkunjung ke rumah James?
Beberapa menit kemudian terdengar denting piring. Dan itu
tandanya piring Mehmet sudah kosong dan dia sudah menuntaskan makan malamnya. Tepat
saat itu juga Kayla sudah membereskan kegiatan mencuci piringnya. Dia segera
berbalik dan duduk di atas meja makan tepat di seberang Mehmet.
“Jadi?”
“Yang benar saja? kau mengajakku berbicara di ruang makan?
mari kita mengobrol di sofa ruang tamu.” Seru Mehmet sembari beranjak sembari memegangi
perutnya yang sepertinya terlalu banyak menampung sisa panekuk di atas piring
besar.
Kayla membuntuti adiknya dan mereka berdua duduk di atas
sofa.
“Jadi, kenapa kamu berkunjung ke rumah James.”
“Tunggu, pertanyaanmu itu aku tafsirkan sebagai pertanyaan
yang menghakimi. Seakan-akan mengunjungi james sebuah dosa besar yang teramat
sulit untuk diampuni.”
“Masalahnya ini bukan kebiasaanmu, Mehmet.”
“Tenang saja, apakah kau pikir aku ini seorang gay dan
mencoba mencuci otak mantan suamimu itu? Yang benar saja.”
“Sialan, kenapa kau malah berbelit-belit.”
Mehmet terdiam. Dia meraih ranselnya dan mengeluarkan kado
dengan ukuran kotak sebesar dua telapak tangan. “Kemarin James menghubungiku
bahwa dia punya hadiah ulang tahun untukku. Yah, terlambat dua hari sih. Tapi itu
tidak menjadi soal. Sebenarnya dia menyuruhku untuk membukanya ketika aku tiba
di rumah. Tapi aku sudah membukanya di trem. Kau tahu apa isinya.
Mata Kayla membesar dan itu artinya, ‘beritahu-aku-apa-isinya.’
“Isinya adalah Iphone keluaran terbaru. Sepertinya mantan
suamimu itu peka dengan apa yang diiginkan mantan adik iparnya. Melebihi kepedulian
kakakku sendiri.” sindir Mehmet semberi menghindar dari lemparan bantal sofa
yang dilemparkan Kayla.
“Sialan kau Mehmet. Dasar adik tak tahu berterimakasih. Bukankah
aku sering membantumu mengerjakan makalah. Dan kau juga sering memintaku untuk
menyetrika kemejamu ketika kau buru-buru untuk berangkat ke sekolah. sepertinya
iphone james sialan itu telah mencuci otakmu ya.”
“Selain itu aku punya kabar buruk.”
Kayla mengerutkan keningnya. “Berita buruk apa?”
“James sakit.”
Kayla menghela nafas. Apakah dia hanya sakit biasa semacam
flu? Atau dia sakit parah? Itu adalah dua pertanyaan yang muncul di benaknya. Tapi
dia tidak melontarkan dua pertanyaan itu kepada adiknya. Harga dirinya masih
terlalu tinggi untuk mengakui bahwa dia masih peduli dengan mantan suaminya. Baginya
James tetap seorang bajingan yang lebih mementingkan karir dan pekerjaan
dibanding istrinya. James tetap seorang lelaki mata keranjang yang begitu
antusias menjadi actor film-film panas dan tidak peduli dengan protes istrinya
dengan alasan profesionalisme. Bagi Kayla itu profesionalisme sialan yang tidak
bisa ditolerir.
“Dia sakit lumayan parah. Sebenarnya, dia ingin langsung
datang kesini untuk mengantarkan hadiah ulang tahun ini hari kemarin. Tapi dia
mendadak sakit sehingga tidak bisa datang. bahkan dia tidak bisa bangkit dari
tempat tidurnya.”
“Kau serius?”
“Ya, aku tanya kenapa? Apa yang kau rasakan? Dia bilang,
hanya demam biasa.”
Kayla menghela nafas. Dia tahu James sangat mandiri dan
lebih dari cukup dalam hal finansial. Tapi dia tidak memiliki siapa-siapa lagi
di dunia ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia, dan dia hanya anak
tunggal. Dia tidak memiliki kerabat di Amerika Serikat karena kedua orangtuanya
imigran asal Polandia.
“Kenapa kau tidak berusaha menghubungi pihak rumah sakit.”
Mehmet mengerling ke arahku. “Hmmm, sepertinya ada nada
kepedulian disana.”
Kayla mendengus dan kembali melemparkan bantal sofa yang
disambut dengan tangan kanan Mehmet yang lebih cekatan. “Tolong berhentilah
mempermainkan bantal. Tingkahmu persis seperti kucing betina milik tetangga.”
Kayla kembali mendengus dan melirik jengkel kea rah Mehmet
yang tersenyum jahil.
“Sebenarnya aku sudah bilang bahwa dia sudah seharusnya ke
rumah sakit. Tapi dia bilang sekali lagi bahwa dia besok akan kembali seperti
sedia kala. Dia bilang, ‘aku hanya perlu istirahat. Mungkin aku terlalu lelah.’
Nah, kuharap kau tidak menghakimiku karena aku tidak peduli terhadap mantan
suamimu itu.”
“Berhentilah membuatku jengkel Mehmet.”
“Terserahlah, tapi aku sarankan kau mengjenguknya besok
pagi. Kau bisa masuk kerja setengah hari dan sorenya berkunjung ke rumah James.
Kupikir dia akan senang mendapat kunjunganmu. Oke, aku sudah lelah dan tidak
memiliki selera yang baik untuk melayani pertanyaanmu lagi.” Pungkas Mehmet
sembari menguap. Dan Mehmet beranjak menuju
kamarnya, meninggalkan Kayla di ruang tamu.
Kayla menyelonjorkan kakinya di sepanjang sofa dan mencoba
memikirkan saran Mehmet. Yang benar saya, bagaimana mungkin dia tiba-tiba
muncul di depan pintu James. Untuk apa? Apakah dia akan mengatakan ‘James, aku
minta maaf karena telah mengabaikanmu. Seharusnya aku memaafkanmu?’
Kayla menghela nafas. Dia mengakui dengan jujur bahwa dia
sebenarnya masih peduli dengan James dan dia sudah seharusnya memaafkan lelaki
itu. Kebencian itu harus segera diakhiri saat ini. Sudah satu tahun perceraian
itu terjadi dan entah sampai kapan dia harus menyimpan kebencian itu kepada
James.
Sebenarnya, sebelum proses perceraian terjadi, James sudah
mendatanginya berkali-kali. Dan Kayla tepatnya tidak tahu sudah berapa kali
James datang ke rumah orangtuanya dan meminta mereka menyelesaikan permasalahan
keluarga mereka dengan baik. Memulai semuanya dari awal dan bisa membuat sebuah
kompromi. Dia akan membatasi tawaran bermain film sesuai dengan yang diharapkan
Kayla. Tapi Kayla berpikir semua sudah terlanjur. Dia sudah terlanjut dilalap
api cemburu ketika melihat gambar lelakinya itu berciuman dengan wanita lain
dalam sebuah billboard film romance terbaru.
Kayla menghela napas dan dia pada akhirnya menyerah. Dia harus
mengunjungi lelaki itu dan memastikan bahwa dia baik-baik saja. dia berpikir
untuk menghubunginya, tapi dia baru sadar bahwa dia sudah menghapus kontak
lelaki itu. Pun dengan semua media sosialnya. Kecuali email, mungkin.
Kayla segera meraih laptopnya dan mencoba membuka emailnya
dan mencari alamat email James dari jejak surat elektroniknya. Yup, dia
menemukannya. Lalu apa yang harus dia tulis kepadanya.
James, Apakah kau baik-baik saja? Mehmet bilang kau sedang
sakit. Kau sakit apa? Aku sangat khawatir ketika mendengar bahwa kau tidak bisa
bangun dari tempat tidurmu. Aku yakin kamu sakit parah. Makanya aku ingin
mengunjungimu besok.
Ah, kalimat itu kurang meyakinkan dan sepertinya tak lebih
seperti email seorang perempuan kepada lelaki yang dia cintai. Tapi kenyataannya
memang begitu kan? Tidak, Kayla hanya ingin mencoba menghilangkan kebencian
itu. Jadi beda substansinya antara memperbaiki hubungan sosial dan merenggang
dengan mencintai seorang lelaki. Baiklah, Kayla kembali mengetik pesan barunya.
James, bagaimana kabarmu. Sebenarnya aku mendapatkan kabar
dari Mehmet bahwa kau sakit. Kuharap kau cepat sembuh. Dan ya, aku berpikir aku
akan menjengukmu besok.
***
Pagi itu Kayla menyibukan dirinya di dapur dengan mengupas
banyak buah apel dan membuat adonan tepung. Kali ini Kayla ingin membuat pie
apel sebagai buah tangan ketika berkunjung ke rumah James. Tentunya Kayla masih
ingat bahwa James sangat menyukai pie apel dan untuk alasan inilah dia berusaha
membuat pie apel kesukaan mantan suaminya itu.
Membutuhkan waktu dua jam lamanya hingga kue pie itu
benar-benar matang dan Kayla menatanya di atas kotak makanan berukuran sedang. Bibir
tipisnya menyunggingkan sebuah senyuman puas dan dia berharap bahwa kue pie itu
menjadi kejutan untuk James.
Sebenarnya, Kayla merasa ragu untuk mengjenguk James. Dia sempat
berpikir sebaiknya dia menyuruh Mehmet untuk mengantarkannya ke rumah James. Jarak
5 km bukan jarak yang terlalu jauh untuk ditempuh oleh seorang Mehmet yang
biasa keluyuran. Tapi dia pikir anak nakal itu harus masuk kelas. Dan dia tidak
mau mengganggu urusan pendidikannya demi kebaikan mendadak yang dia berikan
kepada James. Lebih daripada itu dia malu untuk meminta tolong kepada James
karena hari kemarin anak itu telah menyindir kepeduliannya yang tiba-tiba
sehingga membuat pipinya merona merah.
Kayla segera mengemas kotak makanan yang berada di atas meja
dan memasukannya ke dalam tas yang berukurang besar. Kemudian dia melangkah
menuju ruang tamu dimana ibunya tengah duduk di atas sofa. Apalagi yang
dikerjakannya kalau bukan merajut sebuah tas anyam.
“Sepertinya kau hendak pergi, Kayla.” Tanya ibunya. Sementara
tatapan matanya tidak lepas dari benang dan jarum yang ada di kedua tangannya.
“Ya Mom, aku harus pergi ke rumah temanku.” Jawab Kayla
berbohong. Dia tidak mau mengatakan dengan jujur dia akan berkunjung ke rumah
James. Yeah. Walaupun kemungkinan kecil ibunya melarang dia pergi kesana. Tapi dia
juga malu untuk mengakui bahwa dia mulai memaafkan pria itu. Ibunya juga
ikut-ikutan marah kepada James pasca perceraian mereka berdua.
“Siapa temanmu yang akan kau kunjungi? Apakah dia ulang
tahun?”
Sial, Kayla berharap ibunya berhenti bertanya saat itu juga.
“Fatima, Mom. Tidak, dia tidak sedang ulang tahun. Hanya saja
dia mengajakku untuk brunch* di rumahnya.” Akhirnya satu nama tentang temannya
muncul di benaknya. Dan dia juga ingat bahwa dia sering mengadakan acara
makan-makan bersama Fatima.
Ibunya mengangguk dan kembali merajut. “Hati-hati di jalan.”
Kayla tersenyum. Menghampiri ibunya dan mencium pipi
kanannya sekilas. Kemudian segera berlalu sebelum ibunya kembali bertanya.
Ah, pagi hari yang cerah. Hanya perlu berjalan sepuluh menit
untuk mencapai halte bus terdekat dan membutuhkan waktu dua puluh menit untuk
tiba di rumah James.
***
Kayla turun dari bus dengan hati yang berbunga-bunga
sekaligus dengan jantung yang mulai berbedar tak karuan. Tentu saja ini adalah
pertama kalinya dia kembali memasuki komplek perumahan dimana James tinggal. Di
belokan pertama dia bertemu dengan Tania, seorang ibu muda dengan dua anak yang
selalu menyapanya ketika dia berangkat kerja. Dan sudah setahun dia tidak
bertemu dengan wanita periang itu. Wanita itu tampak sedang menyirami
tanaman-tanaman anggreknya ketika dia menyadari ada seorang wanita yang sudah
tidak asing lagi di matanya.
“Hai Kayla, apakah itu kau?”
“Yeah, tentu saja ini aku, Tania. Kau jangan pura-pura
terkejut seperti itu.”
Tania menghentikan kegiatan menyiram tanaman kesayangannya
dan segera menghampiri Kayla yang berdiri diluar pagar. Tangan rampingnya
membuka pagar dan menghampiri Kayla. Mereka berpelukan dengan akrab.
“Udah lama aku tidak melihatmu. Kupikir semenjak
perceraianmu kau tidak lagi sudi menginjakan kakimu disini.”
Kayla hanya tertawa kecil mendengar selorohnya.
“Jika aku boleh tahu, apa yang menyebabkanmu datang kembali
kesini. Apakah kau rindu dengan James.”
Kayla kembali tertawa renyah. “Hm, sebenarnya kemarin aku
mendengar kabar dari adikku kalau James sakit. Dan aku berinisiatif untuk
menjenguknya.”
“Oh, aku juga tidak tahu jika James sakit. Kuharap sakitnya
tidak parah.”
“Kuharap juga begitu.”
“Kalau begitu, nanti sore aku juga akan menjenguknya. Sepagi
ini aku harus sibuk dengan tanaman anggrekku dan kedua jagoanku menerorku untuk
menemani mereka melukis.”
“Ya, aku tahu kau ibu yang baik.”
Dia tertawa dan kembali meraih penyiram bunga. “Sampaikan
salamku untuk James dan bilang aku akan mengunjunginya nanti sore.”
“Akan aku sampaikan.” Pungkas Kayla sembari melambai ke arah si ibu muda.
Dan tentu saja melambai ke arah dua anak kecil yang melihatnya dari teras rumah
mereka.
***
***
Kayla berusaha menguasai dirinya dan mencoba untuk tidak
terlihat gugup. Tapi bagaimana dia bisa menguasai dirinya sementara detak
jantungnya membuat kedua tangannya berkeringat. Dia mencoba mencari tombol bel
dan dia sadar bahwa tombol bel itu sudah hilang dari tempatnya. Dia maju
selangkah dan mencoba mengetuk pintu.
“James! Apakah kau di dalam?”
Tidak ada respon. Baiklah, sepertinya Kayla harus mencoba
mengetuk dengan ketukan yang lebih keras. Dia tentu tahu bahwa rumah James
lumayan luas sehingga ketukan yang pelan tidak akan terdengar hingga ruangan
paling belakang.
“James!”
Yup! Sekarang dia bisa mendengar suara langkah kaki
menghampiri pintu. Beberapa detik kemudian detak jantung Kayla semakin terpacu
kencang seiring dengan daun pintu yang terbuka dan dia melihat lelaki itu
berdiri menjulang di hadapannya.
Tapi James yang dia lihat sungguh mengenaskan. Kedua matanya
tampak sayu dengan dua lingkaran hitam di bawah mata, bibir yang kering, rambut
yang acak-acakan dan sepertinya sudah seminggu dagunya tidak menyentuh pisau
cukur.
“Kayla.” Satu kata itu cukup mewakili ekspresi terkejut di wajah
tirusnya yang menyedihkan.
“Hai, James.” Itu adalah sapaan pertama Kayla ditengah detak
jantungnya yang masih belum stabil. “Apa kau baik-baik saja?”
James tampak canggung dan mencoba melirik ke dalam rumahnya.
“Yeah. A..aku baik-baik saja. kupikir kau tak akan pernah lagi berkunjung
kesini.”
“Mehmet kemarin datang kesini, kan?”
Lelaki itu mengangguk.
“Dia bilang kamu sakit.”
“Yeah, hanya sakit flu biasa.” Jawabnya tanpa ekspresi. Dia kemudian
segera membuka daun pintu lebar-lebar dan melangkah masuk. Kayla hanya mematung
di depan pintu.
Lelaki itu berbalik dan berkata, “Masuklah. Bukankah kau
pernah menjadi bagian dari rumah ini?”
Kayla tersenyum dan melangkahkan kakinya. Ya tuhan, lantai
kayu itu seakan kembali menyedotnya ke masa setahun yang lalu. Setiap sudut di
setiap ruangan rumah itu kembali menyedotnya ke dalam kepingan
kenangan-kenangan yang menendap di benaknya. Dan dengan kedatangannya ke rumah
ini, kenangan-kenangan itu kembali muncul di dalam jiwanya.
Dia melihat foto kedua orang tua James yang berfigura
cokelat di dinding. Mereka tampak tersenyum dan seakan-akan berkata kepadanya, ‘Selamat
datang Kayla. Kami sangat merindukanmu. Sudah lama kau tidak membersihkan kami
berdua dari debu-debu sialan ini.’
Kayla melihat sofa berwarna hijau muda yang menempel di
dinding dan disanalah dia melihat bagaimana dirinya sedang menikmati
buku-bukunya ditemani James yang menyandarkan kepalanya di pangkuannya. Tangan kanannya mengusap sofa itu dan
merasakan setiap teksturnya. Kemudian dia menyimpan kotak makanan yang berisi
kue pie disana ketika secara tidak sengaja kedua matanya melihat rak bukunya di
sebelah kanan dari sofa itu berada. Kayla baru menyadari bahwa buku-buku yang
dia tinggalkan masih berada di sana. Bukan hanya bertengger disana, tapi juga
tampak rapid an terawat. Ketika berpisah dengan James, dia memutuskan untuk
tidak membawa semua buku-bukunya, terutama buku-buku fiksi koleksi lama yang
sudah tidak dia butuhkan. Ditambah dengan beberapa koleksi majalah yang sudah
usang.
“Kau masih menyimpan buku-bukuku,
James?” tanya Kayla sembari menoleh kea rah James yang berada di belakang
membuntutinya.
James mengangkat bahu, “Aku pikir kau
akan mengambilnya di lain waktu sehingga aku tidak memindahkannya ke gudang
atau menjualnya.”
Kayla mengangguk dan dalam hatinya
dia menghargai kebaikan James. Lihatlah, bahkan pria itu menata semua barang
miliknya di rak tersebut, mulai dari buku, boneka dan beberapa piala yang juga
tidak dia perlukan atau setidaknya dia tidak lagi menganggapnya penting
mengingat sudah banyak piala yang sudah dia dapatkan dari lomba desain baju
muslimah dan beberapa kali lomba menulis.
Dan mata Kayla beralih ke lemari
berwarna cokelat yang diletakan di tengah-tengah ruangan untuk menjadi sekat
antara ruang depan dengan ruang tengah dimana James menyimpan semua alat
elektronik tempat dimana mereka dulu selalu menghabiskan waktu bersama disana. Lebih
tepatnya ruangan tersebut berfungsi sebagai ruang keluarga dimana mereka bisa
menonton CD film bersama atau mengobrol satu sama lain.
Disinilah semua jejak kenangan itu
semakin kentara seakan-akan mendesak setiap inci dari sel neuron di otak Kayla.
Bagaimana dia menghabiskan waktunya untuk melakukan yoga dan mencoba belajar
merajut dari buku panduan yang diberikan mamanya seminggu setelah dia menikah
dengan James. Dia melihat bayangan di sudut lain, seorang James melakukan
workout harian di pojok ruangan dengan music Vertical Horizon mengalun dari
sound system yang saat ini masih terpasang anggun di pojok paling kiri di atas
sebuah meja kecil berwarna unggu.
Tapi semua itu tidak ada apa-apanya
dibanding beberapa foto pernikahan mereka berdua dan beberapa foto ketika
mereka mengabadikan moment paling indah yang pernah mereka lalui. James
mengatur semua foto-foto itu dalam pigura keemasan di dalam lemari berwarna
cokelat itu.
Disaat seperti ini Kayla tidak bisa
menahan dirinya dan tiba-tiba dia ingin menangis. Kedua bola matanya memanas
dan dia tahu bahwa dia tidak akan bisa menahan air matanya. Tangan kanannya
segera mengusap air mata yang lolos dari kedua kelopak matanya dengan gerakan
cepat dan kasar.
“Kenapa kau masih menyimpan foto-foto
kita, James?” tanya Kayla. Itu tak lebih sebuah pertanyaan yang mendesak. Seakan-akan
menyimpan foto-foto itu setelah perceraian mereka adalah kesalahan besar.
“Apakah aku salah jika menyimpan
semua kenangan itu, Kayla?” James malah kembali dengan pertanyaan yang membuat
Kayla tidak tahu harus menjawabnya dengan apa. Dia tidak tahu apakah itu sebuah
kesalahan atau bisa dibenarkan. Tapi siapa yang melarang seorang lelaki masih
menyimpan kenangan pernikahan dengan mantan istrinya.
“Jika kau tidak suka, aku akan
menurunkannya. Lagipula kau tidak pernah datang kesini selain hari ini.” James
kembali berkata ditengah keheningan yang melingkupi mereka berdua.
“Tidak, kau tidak perlu
menurunkannya. Aku tidak menyalahkanmu, James.” Kata Kayla. Dia mengambil satu
kursi dan duduk di depan lemari cokelat itu dan matanya menelusuri semua
foto-foto itu. Kembali setiap sel neuron di otaknya seperti kembali diaktifkan
dan dia bisa membaui setiap aroma kenangan dari setiap foto yang dipajang
disana. Seperti museum jiwa yang kembali dipanggil dari masa-masa lalu yang
telah terkubur di dalam jiwanya.
James menghela napas panjang dan
duduk di kursi yang berada di samping Kayla. “Jujur, aku pernah mengatakan pada
diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah melenyapkan semua foto ini. Aku akan
memajangnya disini selama tidak ada lelaki lain yang melamarmu dan menikahimu
setelah perceraian.”
Kayla tersentak. Dia menoleh kea rah James
dengan tatapan penuh arti. Matanya kembali berkaca-kaca dan dia tidak mampu
berkata-kata. Dia disergap oleh kejutan sekaligus rasa haru, rasa bersalah dan
rasa sedih yang merasuki setiap inci dari hatinya. Mulutnya bergetar karena
menahan setiap gejolak perasaan yang meremas-remas jiwanya.
“Maafkan aku jika kau tidak berkenan.”
James menundukan kepalanya dan wajah pucatnya tampak semakin pucat.
Kayla menggeleng dan mencoba untuk
berusaha menetralkan semua perasaannya yang campur aduk. “Tidak, kau tidak
salah. Kau berhak untuk melakukan apa pun yang kau mau. Aku tidak memiliki hak
untuk menyalahkanmu.”
James kembali menghela napas. Tapi helaan
napasnya kali ini tak lebih dari perasaan lega karena Kayla tidak
menyalahkannya.
“Tapi kau tetap salah.”
James mengerutkan kening dan menatap
Kayla. “Pertama kau tidak menyalahkanku dan sekarang kau menyalahkanku.”
Kayla menggeleng sementara matanya
masih rabun oleh air mata, “Kau salah karena kau tidak bisa menyadarkan aku
bahwa kau masih mengharapkan kita tetap bersama. Kau salah karena membiarkanku
tidak memaafkanmu dan menjauh dari kehidupanmu. Kau salah karena membiarkan hal
ini terjadi.”
James kembali menghela napas dan
entah untuk keberapa kalinya dia menghela napas, “Kau tidak ingat aku sudah
beberapa kali datang kembali ke rumah orang tuamu untuk meyakinkan bahwa kita
bisa memulainya dari awal. Tapi sepertinya kau sudah tidak lagi percaya
kepadaku setelah film sialan itu rilis untuk pertama kalinya.”
Kayla mengangguk dan dia tidak bisa
menahan dirinya untuk terisak.
“Kali pertama aku datang ke rumahmu
kau langsung menutup pintu di depan hidungku dan tidak pernah berinisiatif
untuk membuka kembali pintu. Padahal aku berdiri di situ selama sepuluh menit
setelah kau menutup pintu dan berharap kau berubah pikiran dan membukakan pintu
untukku. Aku tahu kau mengintip dari jendela lantai dua.
Kedua kalinya aku datang dan adikmu
Mehmet mengatakan kamu tidak ada dan aku percaya bahwa kau tidak ada di rumah
sehingga aku kembali pulang. Dan hari-hari berikutnya tak lebih seperti itu.”
Kayla terisak, “Aku tidak akan pernah
memaafkan diriku karena semua ini.”
James diam. Kayla berdiri dan
berusaha menekan semua perasaan yang campur aduk di hatinya. Dia membersihkan
air mata dan ingus dari hidungnya. dia melihat gorden di ruangan tersebut masih
tertutup sehingga ruangan terasa pengap. Tangan kanannya meraih sakelar dan
mematikan lampu dan setelah itu dia beranjak menuju jendela untuk membuka
gorden sehingga sinar matahari bisa masuk ke dalam ruangan tersebut. Kedua tangannya
menyibak gorden dan matanya memicing karena sinar matahari yang masuk. Kemudian
dengan satu gerakan dia membuka kedua bingkau jendela sehingga udara bisa masuk
menggantikan udara sumpek yang entah sudah berapa lama terperangkap di ruangan
tersebut. Oh, pantas saja James sakit. Bisa jadi udara pengap inilah
penyebabnya. Tiba-tiba Kayla kembali diingatkan tentang kebiasaanya disetiap
pagi hari. Membereskan tempat tidur mereka dan membuka setiap daun jendela. Setelah
itu menemani James jogging selama tiga puluh menit hingga ujung jalan komplek.
Kayla membalikan badannya dan dengan
senyum merekah dia berkata kepada James, “Kau tidak keberatan kan jika aku
membuka jendela ini?”
James mengangkat kedua bahunya, “Yeah,
lakukan apa yang kau suka. Tapi kukira aku harus kembali ke ranjangku. Sakit kepalaku
kambuh lagi.” Dia berkata begitu sembari memegang kepala di bagian kanan.”
“Ada yang bisa kubantu?”
James menggeleng, “Oke, aku harus
beristirahat.” Pungkasnya. Dia beranjak menuju koridor di bagian tengah dan
menuju kamarnya. Saat itulah Kayla
tersadar bahwa pie apel yang dia bawa berada di sofa ruangan depan. Dia segera
beranjak ke sana untuk mengambilnya. Dia tak sabar untuk meminta James
mencicipi pie apel tersebut. Dan dia sempat khawatir James tidak akan bisa
menikmatinya mengingat sakit yang dia derita.
Kayla segera membawa kue pie itu dan
dengan ragu dia melangkah kea rah kamar James. Tapi dia tidak berani masuk dan
hanya berdiri di ambang pintu kamarnya.
“James, aku membawa kue pie apel. Aku
menyimpannya di atas meja.”
Tak berapa lama suara langkah kaki
terdengar dan James keluar dari kamarnya masih dengan wajahnya yang pucat. “Kau
membuatkanku kue pie?”
Kayla mengangguk dan dia beranjak
dari ambang pintu hanya untuk menutupi kecanggungannya. Setiap kali dirinya berhadapan
dengan James, rasa canggung itu seakan-akan meremas mukanya sehingga dia harus
melakukan segala cara untuk menutupi kecanggungan itu.
Kayla meletakan kotak makanan itu di
atas meja makan dan membukanya. Kemudian mengambil piring putih pipih yang
berada satu meter dari meja makan. Mengeluarkan kue-kue pie tersebut dan
menatanya di atas piring putih dengan hati-hati. Ia tahu James tidak berhenti
menatapnya tapi dia berusaha untuk tidak peduli dan lebih memilih untuk
menekuri kue-kue itu walau ekor matanya berusaha untuk melirik James.
Hingga pada akhirnya dia mendongak
dan senyum mengembang di kedua bibir tipisnya. “Kau harus mencobanya.” Kedua tangannya
terulur dan menyodorkan piring itu ke hadapan James.
“Tentu Kayla, aku selalu merindukan
kue pie ini. Aku tak akan melupakan rasanya. Kau memang kokiku yang handal.” Puji
James dan tanpa menunggu lama dia mulai mencomot satu potong kue Pie dari
pinggirnya. Dan mengunyahnya dengan mimic penasaran.
Ada rona merah di kedua pipi Kayla
karena pujian itu. Inilah yang kembali melemparkannya pada kenangan itu. Betapa
James selalu memuji hasil kreatifitas tangannya di dapur. James selalu memuji
masakannya dan tak pernah mencelanya. Dia selalu puas dengan apa yang telah dia
hidangkan di atas meja makan. Dan itu masih berlaku hingga sekarang. Hatinya kembali
terenyuh.
James dengan lahap memakan sepotong
demi sepotong kue pie tersebut. Seakan-akan sudah seminggu lamanya dia tidak
makan. Bahkan Kayla merasa tersanjung karena itu berarti dia tidak sia-sia
berkutat selama dua jam untuk membuat sekotak pie tersebut.
“Apakah pagi ini kau sudah sarapan?”
tanya Kayla curiga.
“Kebetulan belum.”
Kayla memutar bola matanya. Dia beranjak
dari kursi dan berniat untuk mencari apa pun yang bisa dia olah dari isi lemari
es. James hendak mengatakan sesuatu ketika dia tahu Kayla akan memeriksa isi
lemari es, tapi lelaki itu mengurungkannya. Dan beberapa menit kemudian Kayla
kembali dengan kening berkerut. “Ya Tuhan, aku tidak menemukan apa pun yang
bisa aku ambil dari lemari es. Sudah berapa lama lemari es itu kosong, James.”
James tersenyum lebar dan menggeleng,
“Kayla, tiba-tiba aku merasa ibuku kembali hadir disini. Melihatmu menanyakan
tentang lemari es yang kosong dan menyajikan kue pie mengigatkanku pada Mom.”
“Ayolah, sudah berapa lama kau tidak
belanja? Ya tuhan, apakah kau jatuh miskin dan bangkrut sehingga tidak memiliki
uang untuk belanja atau kau terlalu sibuk?”
“Sudah aku katakana aku sakit, Kayla.
Aku tidak bisa belanja. Aku hanya mengandalkan layanan antar Pizza dan
McDonald.”
“Ya Tuhan…” Kayla menggeleng lemah. “Oke,
sepertinya aku akan terjebak di rumahku. Kali ini aku harus belanja untuk
memenuhi lemari esmu yang memprihatinkan itu. Sepertinya aku tidak membawa
kartu kreditku dan aku membutuhkan uangmu.”
James tersenyum. “Kau bisa membeli
apa pun yang ingin kau beli. Ambil saja kartu debitku di atas nakas.”
Tanpa menunggu lama Kayla segera
beranjak menuju kamar James. Membiarkan James yang masih bernafsu untuk memakan
semua kue pie bikinannya.
Kayla sudah tidak asing lagi dengan
ruangan kamar itu. Karena disanalah dia dan Jamer berbagi tempat tidur dan
saling bercumbu satu sama lain. Seakan semua itu terjadi baru kemarin. Kembali setiap
sel neuron di otaknya mengaktifkan setiap memorinya yang sudah mengendap sekian
lama.
Dia melihat tempat tidur yang kumal
dan dia bersumpah bahwa James sudah beberapa minggu tidak mengganti sprei
putihnya. Dia juga berani bersumpah bahwa lelaki itu banyak tidur di dalam
kamarnya mengingat semua kesemrawutan yang bisa dia lihat. Dia melihat
keranjang baju kotor yang diletakan di pojok ruangan sudah penuh dengan cucian
yang menggunung; berisi kaos dan baju polo, baju dalam dan jeans belel khas
yang biasa dipakai James sehari-hari.
Lagi-lagi dia menemukan potret
dirinya yang berdiri anggun di atas nakas. Air mata kembali membuat kedua bola
matanya memanas dan mau tidak mau dia harus kembali menekuri setiap sudut kamar
yang sudah tidak asing lagi baginya.
Dia meraih potret dirinya yang tengah
tersenyum. Untuk apa James menyimpan potret dirinya di atas nakas? Apakah lelaki
itu selalu menekuri potret itu? Apakah James selalu merindukannya.
Saat itulah James kembali ke dalam
kamar dan melihat Kayla. Kayla menggeleng dan ia kembali menyimpan potret di
atas nakas. Tangannya segera meraih kartu debit yang tergeletak di atas nakas. Menegakan punggungnya, mengusap air mata
dengan punggung tangan kanannya dan berkata, “Aku harus segera belanja, James.”
James mengangguk. Dia merasa kikuk
karena Kayla telah mengetahui bahwa dia menyimpan potret tersebut. Seakan-akan
tatapan Kayla menelanjanginya dan mengatakan;
kau-telah-mengkhayalkanku-setiap-malam.
Kayla beranjak melewati James yang
masih berdiri dengan kecanggungannya.
***
Bersambung


No comments:
Post a Comment