9 Dec 2018

Museum Jiwa



Kayla sedang merapikan meja makan ketika Mehmet datang dengan wajah tirusnya yang tampak kelelahan. Adik lelaki keduanya yang berumur lima belas tahun itu langsung saja duduk di atas meja makan dan mengambil setangkup panekuk yang masih terhidang di atas meja makan dan segera memakannya dengan lahap.

“Darimana saja kamu Mehmet?” tanya Kayla dengan tatapan menyelidik. Sementara Mehmet tidak mendongakan kepalanya ketika kakak perempuannya itu bertanya. Dia terlalu asyik menyendok panekuknya. “Jangan katakan kau baru saja keluyuran dengan genk nakalmu.”

Mehmet berhenti mengunyah dan mengangkat telunjuknya sebagai isyarat kepada Kayla untuk berhenti mencurigai dirinya. “Pertama, aku remaja baik yang tidak mungkin ikut genk perusuh. Kedua, aku tidak pernah pulang terlalu malam kecuali mala mini. Ketiga, cobalah bertanya alih-alih mencurigaiku.”

“Jadi, darimana saja kamu?”

“Aku berkunjung ke rumah James.” Jelas Mehmet. Tapi sepertinya ia tidak peduli dengan respon Kayla ketika menyebut nama James. Padahal dia tahu ada tanda tanya besar di kedua bola mata hitam Kayla.

“Untuk apa kamu berkunjung kesana?”

Mehmet tidak jadi menyuapkan panekuk yang sudah bertengger di atas sendok dan kembali menatap kakaknya dengan jengkel. “Tidakkah kau biarkan aku menghabiskan makan malamku. Baru setelah itu kamu memberondongku dengan sejuta pertanyaan.”

“Oh, baiklah.” Kayla tersenyum dan kembali membereskan piring-piring dan gelas kotor di atas meja. Kemudian membawanya ke wastafel dan membilasnya disana. selama tangannya membilas dan menuangkan cairan Sunglight di wastafel, tanya itu masih menari-nari di kepalanya; untuk apa Mehmet berkunjung ke rumah James?

Beberapa menit kemudian terdengar denting piring. Dan itu tandanya piring Mehmet sudah kosong dan dia sudah menuntaskan makan malamnya. Tepat saat itu juga Kayla sudah membereskan kegiatan mencuci piringnya. Dia segera berbalik dan duduk di atas meja makan tepat di seberang Mehmet. 

“Jadi?”

“Yang benar saja? kau mengajakku berbicara di ruang makan? mari kita mengobrol di sofa ruang tamu.”  Seru Mehmet sembari beranjak sembari memegangi perutnya yang sepertinya terlalu banyak menampung sisa panekuk di atas piring besar.

Kayla membuntuti adiknya dan mereka berdua duduk di atas sofa.

“Jadi, kenapa kamu berkunjung ke rumah James.”

“Tunggu, pertanyaanmu itu aku tafsirkan sebagai pertanyaan yang menghakimi. Seakan-akan mengunjungi james sebuah dosa besar yang teramat sulit untuk diampuni.”

“Masalahnya ini bukan kebiasaanmu, Mehmet.”

“Tenang saja, apakah kau pikir aku ini seorang gay dan mencoba mencuci otak mantan suamimu itu? Yang benar saja.”

“Sialan, kenapa kau malah berbelit-belit.”

Mehmet terdiam. Dia meraih ranselnya dan mengeluarkan kado dengan ukuran kotak sebesar dua telapak tangan. “Kemarin James menghubungiku bahwa dia punya hadiah ulang tahun untukku. Yah, terlambat dua hari sih. Tapi itu tidak menjadi soal. Sebenarnya dia menyuruhku untuk membukanya ketika aku tiba di rumah. Tapi aku sudah membukanya di trem. Kau tahu apa isinya.

Mata Kayla membesar dan itu artinya, ‘beritahu-aku-apa-isinya.’

“Isinya adalah Iphone keluaran terbaru. Sepertinya mantan suamimu itu peka dengan apa yang diiginkan mantan adik iparnya. Melebihi kepedulian kakakku sendiri.” sindir Mehmet semberi menghindar dari lemparan bantal sofa yang dilemparkan Kayla.

“Sialan kau Mehmet. Dasar adik tak tahu berterimakasih. Bukankah aku sering membantumu mengerjakan makalah. Dan kau juga sering memintaku untuk menyetrika kemejamu ketika kau buru-buru untuk berangkat ke sekolah. sepertinya iphone james sialan itu telah mencuci otakmu ya.”

“Selain itu aku punya kabar buruk.”

Kayla mengerutkan keningnya. “Berita buruk apa?”

“James sakit.”

Kayla menghela nafas. Apakah dia hanya sakit biasa semacam flu? Atau dia sakit parah? Itu adalah dua pertanyaan yang muncul di benaknya. Tapi dia tidak melontarkan dua pertanyaan itu kepada adiknya. Harga dirinya masih terlalu tinggi untuk mengakui bahwa dia masih peduli dengan mantan suaminya. Baginya James tetap seorang bajingan yang lebih mementingkan karir dan pekerjaan dibanding istrinya. James tetap seorang lelaki mata keranjang yang begitu antusias menjadi actor film-film panas dan tidak peduli dengan protes istrinya dengan alasan profesionalisme. Bagi Kayla itu profesionalisme sialan yang tidak bisa ditolerir.

“Dia sakit lumayan parah. Sebenarnya, dia ingin langsung datang kesini untuk mengantarkan hadiah ulang tahun ini hari kemarin. Tapi dia mendadak sakit sehingga tidak bisa datang. bahkan dia tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya.”

“Kau serius?”

“Ya, aku tanya kenapa? Apa yang kau rasakan? Dia bilang, hanya demam biasa.”

Kayla menghela nafas. Dia tahu James sangat mandiri dan lebih dari cukup dalam hal finansial. Tapi dia tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia, dan dia hanya anak tunggal. Dia tidak memiliki kerabat di Amerika Serikat karena kedua orangtuanya imigran asal Polandia.

“Kenapa kau tidak berusaha menghubungi pihak rumah sakit.”

Mehmet mengerling ke arahku. “Hmmm, sepertinya ada nada kepedulian disana.”

Kayla mendengus dan kembali melemparkan bantal sofa yang disambut dengan tangan kanan Mehmet yang lebih cekatan. “Tolong berhentilah mempermainkan bantal. Tingkahmu persis seperti kucing betina milik tetangga.”

Kayla kembali mendengus dan melirik jengkel kea rah Mehmet yang tersenyum jahil.

“Sebenarnya aku sudah bilang bahwa dia sudah seharusnya ke rumah sakit. Tapi dia bilang sekali lagi bahwa dia besok akan kembali seperti sedia kala. Dia bilang, ‘aku hanya perlu istirahat. Mungkin aku terlalu lelah.’ Nah, kuharap kau tidak menghakimiku karena aku tidak peduli terhadap mantan suamimu itu.”

“Berhentilah membuatku jengkel Mehmet.”

“Terserahlah, tapi aku sarankan kau mengjenguknya besok pagi. Kau bisa masuk kerja setengah hari dan sorenya berkunjung ke rumah James. Kupikir dia akan senang mendapat kunjunganmu. Oke, aku sudah lelah dan tidak memiliki selera yang baik untuk melayani pertanyaanmu lagi.” Pungkas Mehmet sembari menguap.  Dan Mehmet beranjak menuju kamarnya, meninggalkan Kayla di ruang tamu.

Kayla menyelonjorkan kakinya di sepanjang sofa dan mencoba memikirkan saran Mehmet. Yang benar saya, bagaimana mungkin dia tiba-tiba muncul di depan pintu James. Untuk apa? Apakah dia akan mengatakan ‘James, aku minta maaf karena telah mengabaikanmu. Seharusnya aku memaafkanmu?’

Kayla menghela nafas. Dia mengakui dengan jujur bahwa dia sebenarnya masih peduli dengan James dan dia sudah seharusnya memaafkan lelaki itu. Kebencian itu harus segera diakhiri saat ini. Sudah satu tahun perceraian itu terjadi dan entah sampai kapan dia harus menyimpan kebencian itu kepada James.

Sebenarnya, sebelum proses perceraian terjadi, James sudah mendatanginya berkali-kali. Dan Kayla tepatnya tidak tahu sudah berapa kali James datang ke rumah orangtuanya dan meminta mereka menyelesaikan permasalahan keluarga mereka dengan baik. Memulai semuanya dari awal dan bisa membuat sebuah kompromi. Dia akan membatasi tawaran bermain film sesuai dengan yang diharapkan Kayla. Tapi Kayla berpikir semua sudah terlanjur. Dia sudah terlanjut dilalap api cemburu ketika melihat gambar lelakinya itu berciuman dengan wanita lain dalam sebuah billboard film romance terbaru.

Kayla menghela napas dan dia pada akhirnya menyerah. Dia harus mengunjungi lelaki itu dan memastikan bahwa dia baik-baik saja. dia berpikir untuk menghubunginya, tapi dia baru sadar bahwa dia sudah menghapus kontak lelaki itu. Pun dengan semua media sosialnya. Kecuali email, mungkin.

Kayla segera meraih laptopnya dan mencoba membuka emailnya dan mencari alamat email James dari jejak surat elektroniknya. Yup, dia menemukannya. Lalu apa yang harus dia tulis kepadanya.

James, Apakah kau baik-baik saja? Mehmet bilang kau sedang sakit. Kau sakit apa? Aku sangat khawatir ketika mendengar bahwa kau tidak bisa bangun dari tempat tidurmu. Aku yakin kamu sakit parah. Makanya aku ingin mengunjungimu besok.

Ah, kalimat itu kurang meyakinkan dan sepertinya tak lebih seperti email seorang perempuan kepada lelaki yang dia cintai. Tapi kenyataannya memang begitu kan? Tidak, Kayla hanya ingin mencoba menghilangkan kebencian itu. Jadi beda substansinya antara memperbaiki hubungan sosial dan merenggang dengan mencintai seorang lelaki. Baiklah, Kayla kembali mengetik pesan barunya.

James, bagaimana kabarmu. Sebenarnya aku mendapatkan kabar dari Mehmet bahwa kau sakit. Kuharap kau cepat sembuh. Dan ya, aku berpikir aku akan menjengukmu besok.

***
Pagi itu Kayla menyibukan dirinya di dapur dengan mengupas banyak buah apel dan membuat adonan tepung. Kali ini Kayla ingin membuat pie apel sebagai buah tangan ketika berkunjung ke rumah James. Tentunya Kayla masih ingat bahwa James sangat menyukai pie apel dan untuk alasan inilah dia berusaha membuat pie apel kesukaan mantan suaminya itu.

Membutuhkan waktu dua jam lamanya hingga kue pie itu benar-benar matang dan Kayla menatanya di atas kotak makanan berukuran sedang. Bibir tipisnya menyunggingkan sebuah senyuman puas dan dia berharap bahwa kue pie itu menjadi kejutan untuk James.

Sebenarnya, Kayla merasa ragu untuk mengjenguk James. Dia sempat berpikir sebaiknya dia menyuruh Mehmet untuk mengantarkannya ke rumah James. Jarak 5 km bukan jarak yang terlalu jauh untuk ditempuh oleh seorang Mehmet yang biasa keluyuran. Tapi dia pikir anak nakal itu harus masuk kelas. Dan dia tidak mau mengganggu urusan pendidikannya demi kebaikan mendadak yang dia berikan kepada James. Lebih daripada itu dia malu untuk meminta tolong kepada James karena hari kemarin anak itu telah menyindir kepeduliannya yang tiba-tiba sehingga membuat pipinya merona merah.

Kayla segera mengemas kotak makanan yang berada di atas meja dan memasukannya ke dalam tas yang berukurang besar. Kemudian dia melangkah menuju ruang tamu dimana ibunya tengah duduk di atas sofa. Apalagi yang dikerjakannya kalau bukan merajut sebuah tas anyam.

“Sepertinya kau hendak pergi, Kayla.” Tanya ibunya. Sementara tatapan matanya tidak lepas dari benang dan jarum yang ada di kedua tangannya.

“Ya Mom, aku harus pergi ke rumah temanku.” Jawab Kayla berbohong. Dia tidak mau mengatakan dengan jujur dia akan berkunjung ke rumah James. Yeah. Walaupun kemungkinan kecil ibunya melarang dia pergi kesana. Tapi dia juga malu untuk mengakui bahwa dia mulai memaafkan pria itu. Ibunya juga ikut-ikutan marah kepada James pasca perceraian mereka berdua.

“Siapa temanmu yang akan kau kunjungi? Apakah dia ulang tahun?”

Sial, Kayla berharap ibunya berhenti bertanya saat itu juga.

“Fatima, Mom. Tidak, dia tidak sedang ulang tahun. Hanya saja dia mengajakku untuk brunch* di rumahnya.” Akhirnya satu nama tentang temannya muncul di benaknya. Dan dia juga ingat bahwa dia sering mengadakan acara makan-makan bersama Fatima.

Ibunya mengangguk dan kembali merajut. “Hati-hati di jalan.”

Kayla tersenyum. Menghampiri ibunya dan mencium pipi kanannya sekilas. Kemudian segera berlalu sebelum ibunya kembali bertanya.

Ah, pagi hari yang cerah. Hanya perlu berjalan sepuluh menit untuk mencapai halte bus terdekat dan membutuhkan waktu dua puluh menit untuk tiba di rumah James.

***

Kayla turun dari bus dengan hati yang berbunga-bunga sekaligus dengan jantung yang mulai berbedar tak karuan. Tentu saja ini adalah pertama kalinya dia kembali memasuki komplek perumahan dimana James tinggal. Di belokan pertama dia bertemu dengan Tania, seorang ibu muda dengan dua anak yang selalu menyapanya ketika dia berangkat kerja. Dan sudah setahun dia tidak bertemu dengan wanita periang itu. Wanita itu tampak sedang menyirami tanaman-tanaman anggreknya ketika dia menyadari ada seorang wanita yang sudah tidak asing lagi di matanya.

“Hai Kayla, apakah itu kau?”

“Yeah, tentu saja ini aku, Tania. Kau jangan pura-pura terkejut seperti itu.”

Tania menghentikan kegiatan menyiram tanaman kesayangannya dan segera menghampiri Kayla yang berdiri diluar pagar. Tangan rampingnya membuka pagar dan menghampiri Kayla. Mereka berpelukan dengan akrab.

“Udah lama aku tidak melihatmu. Kupikir semenjak perceraianmu kau tidak lagi sudi menginjakan kakimu disini.”

Kayla hanya tertawa kecil mendengar selorohnya.

“Jika aku boleh tahu, apa yang menyebabkanmu datang kembali kesini. Apakah kau rindu dengan James.”

Kayla kembali tertawa renyah. “Hm, sebenarnya kemarin aku mendengar kabar dari adikku kalau James sakit. Dan aku berinisiatif untuk menjenguknya.”

“Oh, aku juga tidak tahu jika James sakit. Kuharap sakitnya tidak parah.”

“Kuharap juga begitu.”

“Kalau begitu, nanti sore aku juga akan menjenguknya. Sepagi ini aku harus sibuk dengan tanaman anggrekku dan kedua jagoanku menerorku untuk menemani mereka melukis.”

“Ya, aku tahu kau ibu yang baik.”

Dia tertawa dan kembali meraih penyiram bunga. “Sampaikan salamku untuk James dan bilang aku akan mengunjunginya nanti sore.”


“Akan aku sampaikan.” Pungkas Kayla sembari melambai ke arah si ibu muda. Dan tentu saja melambai ke arah dua anak kecil yang melihatnya dari teras rumah mereka.

***
Kayla berusaha menguasai dirinya dan mencoba untuk tidak terlihat gugup. Tapi bagaimana dia bisa menguasai dirinya sementara detak jantungnya membuat kedua tangannya berkeringat. Dia mencoba mencari tombol bel dan dia sadar bahwa tombol bel itu sudah hilang dari tempatnya. Dia maju selangkah dan mencoba mengetuk pintu.

“James! Apakah kau di dalam?”

Tidak ada respon. Baiklah, sepertinya Kayla harus mencoba mengetuk dengan ketukan yang lebih keras. Dia tentu tahu bahwa rumah James lumayan luas sehingga ketukan yang pelan tidak akan terdengar hingga ruangan paling belakang.

“James!”

Yup! Sekarang dia bisa mendengar suara langkah kaki menghampiri pintu. Beberapa detik kemudian detak jantung Kayla semakin terpacu kencang seiring dengan daun pintu yang terbuka dan dia melihat lelaki itu berdiri menjulang di hadapannya.

Tapi James yang dia lihat sungguh mengenaskan. Kedua matanya tampak sayu dengan dua lingkaran hitam di bawah mata, bibir yang kering, rambut yang acak-acakan dan sepertinya sudah seminggu dagunya tidak menyentuh pisau cukur.

“Kayla.” Satu kata itu cukup mewakili ekspresi terkejut di wajah tirusnya yang menyedihkan.

“Hai, James.” Itu adalah sapaan pertama Kayla ditengah detak jantungnya yang masih belum stabil. “Apa kau baik-baik saja?”

James tampak canggung dan mencoba melirik ke dalam rumahnya. “Yeah. A..aku baik-baik saja. kupikir kau tak akan pernah lagi berkunjung kesini.”

“Mehmet kemarin datang kesini, kan?”

Lelaki itu mengangguk.

“Dia bilang kamu sakit.”

“Yeah, hanya sakit flu biasa.” Jawabnya tanpa ekspresi. Dia kemudian segera membuka daun pintu lebar-lebar dan melangkah masuk. Kayla hanya mematung di depan pintu.

Lelaki itu berbalik dan berkata, “Masuklah. Bukankah kau pernah menjadi bagian dari rumah ini?”

Kayla tersenyum dan melangkahkan kakinya. Ya tuhan, lantai kayu itu seakan kembali menyedotnya ke masa setahun yang lalu. Setiap sudut di setiap ruangan rumah itu kembali menyedotnya ke dalam kepingan kenangan-kenangan yang menendap di benaknya. Dan dengan kedatangannya ke rumah ini, kenangan-kenangan itu kembali muncul di dalam jiwanya.

Dia melihat foto kedua orang tua James yang berfigura cokelat di dinding. Mereka tampak tersenyum dan seakan-akan berkata kepadanya, ‘Selamat datang Kayla. Kami sangat merindukanmu. Sudah lama kau tidak membersihkan kami berdua dari debu-debu sialan ini.’


Kayla melihat sofa berwarna hijau muda yang menempel di dinding dan disanalah dia melihat bagaimana dirinya sedang menikmati buku-bukunya ditemani James yang menyandarkan kepalanya di pangkuannya. Tangan kanannya mengusap sofa itu dan merasakan setiap teksturnya. Kemudian dia menyimpan kotak makanan yang berisi kue pie disana ketika secara tidak sengaja kedua matanya melihat rak bukunya di sebelah kanan dari sofa itu berada. Kayla baru menyadari bahwa buku-buku yang dia tinggalkan masih berada di sana. Bukan hanya bertengger disana, tapi juga tampak rapid an terawat. Ketika berpisah dengan James, dia memutuskan untuk tidak membawa semua buku-bukunya, terutama buku-buku fiksi koleksi lama yang sudah tidak dia butuhkan. Ditambah dengan beberapa koleksi majalah yang sudah usang.

“Kau masih menyimpan buku-bukuku, James?” tanya Kayla sembari menoleh kea rah James yang berada di belakang membuntutinya.

James mengangkat bahu, “Aku pikir kau akan mengambilnya di lain waktu sehingga aku tidak memindahkannya ke gudang atau menjualnya.”

Kayla mengangguk dan dalam hatinya dia menghargai kebaikan James. Lihatlah, bahkan pria itu menata semua barang miliknya di rak tersebut, mulai dari buku, boneka dan beberapa piala yang juga tidak dia perlukan atau setidaknya dia tidak lagi menganggapnya penting mengingat sudah banyak piala yang sudah dia dapatkan dari lomba desain baju muslimah dan beberapa kali lomba menulis.

Dan mata Kayla beralih ke lemari berwarna cokelat yang diletakan di tengah-tengah ruangan untuk menjadi sekat antara ruang depan dengan ruang tengah dimana James menyimpan semua alat elektronik tempat dimana mereka dulu selalu menghabiskan waktu bersama disana. Lebih tepatnya ruangan tersebut berfungsi sebagai ruang keluarga dimana mereka bisa menonton CD film bersama atau mengobrol satu sama lain.

Disinilah semua jejak kenangan itu semakin kentara seakan-akan mendesak setiap inci dari sel neuron di otak Kayla. Bagaimana dia menghabiskan waktunya untuk melakukan yoga dan mencoba belajar merajut dari buku panduan yang diberikan mamanya seminggu setelah dia menikah dengan James. Dia melihat bayangan di sudut lain, seorang James melakukan workout harian di pojok ruangan dengan music Vertical Horizon mengalun dari sound system yang saat ini masih terpasang anggun di pojok paling kiri di atas sebuah meja kecil berwarna unggu.

Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibanding beberapa foto pernikahan mereka berdua dan beberapa foto ketika mereka mengabadikan moment paling indah yang pernah mereka lalui. James mengatur semua foto-foto itu dalam pigura keemasan di dalam lemari berwarna cokelat itu.
Disaat seperti ini Kayla tidak bisa menahan dirinya dan tiba-tiba dia ingin menangis. Kedua bola matanya memanas dan dia tahu bahwa dia tidak akan bisa menahan air matanya. Tangan kanannya segera mengusap air mata yang lolos dari kedua kelopak matanya dengan gerakan cepat dan kasar.
“Kenapa kau masih menyimpan foto-foto kita, James?” tanya Kayla. Itu tak lebih sebuah pertanyaan yang mendesak. Seakan-akan menyimpan foto-foto itu setelah perceraian mereka adalah kesalahan besar.
“Apakah aku salah jika menyimpan semua kenangan itu, Kayla?” James malah kembali dengan pertanyaan yang membuat Kayla tidak tahu harus menjawabnya dengan apa. Dia tidak tahu apakah itu sebuah kesalahan atau bisa dibenarkan. Tapi siapa yang melarang seorang lelaki masih menyimpan kenangan pernikahan dengan mantan istrinya.

“Jika kau tidak suka, aku akan menurunkannya. Lagipula kau tidak pernah datang kesini selain hari ini.” James kembali berkata ditengah keheningan yang melingkupi mereka berdua.

“Tidak, kau tidak perlu menurunkannya. Aku tidak menyalahkanmu, James.” Kata Kayla. Dia mengambil satu kursi dan duduk di depan lemari cokelat itu dan matanya menelusuri semua foto-foto itu. Kembali setiap sel neuron di otaknya seperti kembali diaktifkan dan dia bisa membaui setiap aroma kenangan dari setiap foto yang dipajang disana. Seperti museum jiwa yang kembali dipanggil dari masa-masa lalu yang telah terkubur di dalam jiwanya.

James menghela napas panjang dan duduk di kursi yang berada di samping Kayla. “Jujur, aku pernah mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah melenyapkan semua foto ini. Aku akan memajangnya disini selama tidak ada lelaki lain yang melamarmu dan menikahimu setelah perceraian.”

Kayla tersentak. Dia menoleh kea rah James dengan tatapan penuh arti. Matanya kembali berkaca-kaca dan dia tidak mampu berkata-kata. Dia disergap oleh kejutan sekaligus rasa haru, rasa bersalah dan rasa sedih yang merasuki setiap inci dari hatinya. Mulutnya bergetar karena menahan setiap gejolak perasaan yang meremas-remas jiwanya.

“Maafkan aku jika kau tidak berkenan.” James menundukan kepalanya dan wajah pucatnya tampak semakin pucat.

Kayla menggeleng dan mencoba untuk berusaha menetralkan semua perasaannya yang campur aduk. “Tidak, kau tidak salah. Kau berhak untuk melakukan apa pun yang kau mau. Aku tidak memiliki hak untuk menyalahkanmu.”

James kembali menghela napas. Tapi helaan napasnya kali ini tak lebih dari perasaan lega karena Kayla tidak menyalahkannya.

“Tapi kau tetap salah.”

James mengerutkan kening dan menatap Kayla. “Pertama kau tidak menyalahkanku dan sekarang kau menyalahkanku.”

Kayla menggeleng sementara matanya masih rabun oleh air mata, “Kau salah karena kau tidak bisa menyadarkan aku bahwa kau masih mengharapkan kita tetap bersama. Kau salah karena membiarkanku tidak memaafkanmu dan menjauh dari kehidupanmu. Kau salah karena membiarkan hal ini terjadi.”

James kembali menghela napas dan entah untuk keberapa kalinya dia menghela napas, “Kau tidak ingat aku sudah beberapa kali datang kembali ke rumah orang tuamu untuk meyakinkan bahwa kita bisa memulainya dari awal. Tapi sepertinya kau sudah tidak lagi percaya kepadaku setelah film sialan itu rilis untuk pertama kalinya.”

Kayla mengangguk dan dia tidak bisa menahan dirinya untuk terisak.

“Kali pertama aku datang ke rumahmu kau langsung menutup pintu di depan hidungku dan tidak pernah berinisiatif untuk membuka kembali pintu. Padahal aku berdiri di situ selama sepuluh menit setelah kau menutup pintu dan berharap kau berubah pikiran dan membukakan pintu untukku. Aku tahu kau mengintip dari jendela lantai dua.

Kedua kalinya aku datang dan adikmu Mehmet mengatakan kamu tidak ada dan aku percaya bahwa kau tidak ada di rumah sehingga aku kembali pulang. Dan hari-hari berikutnya tak lebih seperti itu.”
Kayla terisak, “Aku tidak akan pernah memaafkan diriku karena semua ini.”

James diam. Kayla berdiri dan berusaha menekan semua perasaan yang campur aduk di hatinya. Dia membersihkan air mata dan ingus dari hidungnya. dia melihat gorden di ruangan tersebut masih tertutup sehingga ruangan terasa pengap. Tangan kanannya meraih sakelar dan mematikan lampu dan setelah itu dia beranjak menuju jendela untuk membuka gorden sehingga sinar matahari bisa masuk ke dalam ruangan tersebut. Kedua tangannya menyibak gorden dan matanya memicing karena sinar matahari yang masuk. Kemudian dengan satu gerakan dia membuka kedua bingkau jendela sehingga udara bisa masuk menggantikan udara sumpek yang entah sudah berapa lama terperangkap di ruangan tersebut. Oh, pantas saja James sakit. Bisa jadi udara pengap inilah penyebabnya. Tiba-tiba Kayla kembali diingatkan tentang kebiasaanya disetiap pagi hari. Membereskan tempat tidur mereka dan membuka setiap daun jendela. Setelah itu menemani James jogging selama tiga puluh menit hingga ujung jalan komplek.

Kayla membalikan badannya dan dengan senyum merekah dia berkata kepada James, “Kau tidak keberatan kan jika aku membuka jendela ini?”

James mengangkat kedua bahunya, “Yeah, lakukan apa yang kau suka. Tapi kukira aku harus kembali ke ranjangku. Sakit kepalaku kambuh lagi.” Dia berkata begitu sembari memegang kepala di bagian kanan.”

“Ada yang bisa kubantu?”

James menggeleng, “Oke, aku harus beristirahat.” Pungkasnya. Dia beranjak menuju koridor di bagian tengah dan menuju kamarnya.  Saat itulah Kayla tersadar bahwa pie apel yang dia bawa berada di sofa ruangan depan. Dia segera beranjak ke sana untuk mengambilnya. Dia tak sabar untuk meminta James mencicipi pie apel tersebut. Dan dia sempat khawatir James tidak akan bisa menikmatinya mengingat sakit yang dia derita.

Kayla segera membawa kue pie itu dan dengan ragu dia melangkah kea rah kamar James. Tapi dia tidak berani masuk dan hanya berdiri di ambang pintu kamarnya.

“James, aku membawa kue pie apel. Aku menyimpannya di atas meja.”

Tak berapa lama suara langkah kaki terdengar dan James keluar dari kamarnya masih dengan wajahnya yang pucat. “Kau membuatkanku kue pie?”

Kayla mengangguk dan dia beranjak dari ambang pintu hanya untuk menutupi kecanggungannya. Setiap kali dirinya berhadapan dengan James, rasa canggung itu seakan-akan meremas mukanya sehingga dia harus melakukan segala cara untuk menutupi kecanggungan itu.

Kayla meletakan kotak makanan itu di atas meja makan dan membukanya. Kemudian mengambil piring putih pipih yang berada satu meter dari meja makan. Mengeluarkan kue-kue pie tersebut dan menatanya di atas piring putih dengan hati-hati. Ia tahu James tidak berhenti menatapnya tapi dia berusaha untuk tidak peduli dan lebih memilih untuk menekuri kue-kue itu walau ekor matanya berusaha untuk melirik James.

Hingga pada akhirnya dia mendongak dan senyum mengembang di kedua bibir tipisnya. “Kau harus mencobanya.” Kedua tangannya terulur dan menyodorkan piring itu ke hadapan James.

“Tentu Kayla, aku selalu merindukan kue pie ini. Aku tak akan melupakan rasanya. Kau memang kokiku yang handal.” Puji James dan tanpa menunggu lama dia mulai mencomot satu potong kue Pie dari pinggirnya. Dan mengunyahnya dengan mimic penasaran.

Ada rona merah di kedua pipi Kayla karena pujian itu. Inilah yang kembali melemparkannya pada kenangan itu. Betapa James selalu memuji hasil kreatifitas tangannya di dapur. James selalu memuji masakannya dan tak pernah mencelanya. Dia selalu puas dengan apa yang telah dia hidangkan di atas meja makan. Dan itu masih berlaku hingga sekarang. Hatinya kembali terenyuh.

James dengan lahap memakan sepotong demi sepotong kue pie tersebut. Seakan-akan sudah seminggu lamanya dia tidak makan. Bahkan Kayla merasa tersanjung karena itu berarti dia tidak sia-sia berkutat selama dua jam untuk membuat sekotak pie tersebut.

“Apakah pagi ini kau sudah sarapan?” tanya Kayla curiga.

“Kebetulan belum.”

Kayla memutar bola matanya. Dia beranjak dari kursi dan berniat untuk mencari apa pun yang bisa dia olah dari isi lemari es. James hendak mengatakan sesuatu ketika dia tahu Kayla akan memeriksa isi lemari es, tapi lelaki itu mengurungkannya. Dan beberapa menit kemudian Kayla kembali dengan kening berkerut. “Ya Tuhan, aku tidak menemukan apa pun yang bisa aku ambil dari lemari es. Sudah berapa lama lemari es itu kosong, James.”

James tersenyum lebar dan menggeleng, “Kayla, tiba-tiba aku merasa ibuku kembali hadir disini. Melihatmu menanyakan tentang lemari es yang kosong dan menyajikan kue pie mengigatkanku pada Mom.”

“Ayolah, sudah berapa lama kau tidak belanja? Ya tuhan, apakah kau jatuh miskin dan bangkrut sehingga tidak memiliki uang untuk belanja atau kau terlalu sibuk?”

“Sudah aku katakana aku sakit, Kayla. Aku tidak bisa belanja. Aku hanya mengandalkan layanan antar Pizza dan McDonald.”

“Ya Tuhan…” Kayla menggeleng lemah. “Oke, sepertinya aku akan terjebak di rumahku. Kali ini aku harus belanja untuk memenuhi lemari esmu yang memprihatinkan itu. Sepertinya aku tidak membawa kartu kreditku dan aku membutuhkan uangmu.”

James tersenyum. “Kau bisa membeli apa pun yang ingin kau beli. Ambil saja kartu debitku di atas nakas.”

Tanpa menunggu lama Kayla segera beranjak menuju kamar James. Membiarkan James yang masih bernafsu untuk memakan semua kue pie bikinannya.

Kayla sudah tidak asing lagi dengan ruangan kamar itu. Karena disanalah dia dan Jamer berbagi tempat tidur dan saling bercumbu satu sama lain. Seakan semua itu terjadi baru kemarin. Kembali setiap sel neuron di otaknya mengaktifkan setiap memorinya yang sudah mengendap sekian lama.

Dia melihat tempat tidur yang kumal dan dia bersumpah bahwa James sudah beberapa minggu tidak mengganti sprei putihnya. Dia juga berani bersumpah bahwa lelaki itu banyak tidur di dalam kamarnya mengingat semua kesemrawutan yang bisa dia lihat. Dia melihat keranjang baju kotor yang diletakan di pojok ruangan sudah penuh dengan cucian yang menggunung; berisi kaos dan baju polo, baju dalam dan jeans belel khas yang biasa dipakai James sehari-hari.

Lagi-lagi dia menemukan potret dirinya yang berdiri anggun di atas nakas. Air mata kembali membuat kedua bola matanya memanas dan mau tidak mau dia harus kembali menekuri setiap sudut kamar yang sudah tidak asing lagi baginya.

Dia meraih potret dirinya yang tengah tersenyum. Untuk apa James menyimpan potret dirinya di atas nakas? Apakah lelaki itu selalu menekuri potret itu? Apakah James selalu merindukannya.

Saat itulah James kembali ke dalam kamar dan melihat Kayla. Kayla menggeleng dan ia kembali menyimpan potret di atas nakas. Tangannya segera meraih kartu debit yang tergeletak di atas nakas.  Menegakan punggungnya, mengusap air mata dengan punggung tangan kanannya dan berkata, “Aku harus segera belanja, James.”

James mengangguk. Dia merasa kikuk karena Kayla telah mengetahui bahwa dia menyimpan potret tersebut. Seakan-akan tatapan Kayla menelanjanginya dan mengatakan; kau-telah-mengkhayalkanku-setiap-malam.

Kayla beranjak melewati James yang masih berdiri dengan kecanggungannya.
***

Bersambung
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment