9 Dec 2018

Filosofi Telur



Suatu ketika, teman saya melontarkan cerita humor kepada saya. Dia bilang, “Ada ayam yang pernah marah karena ketidakadilan.”

Aku hanya bisa mesem dan aku tahu dia pasti akan bercerita sebuah cerita humor. “Kenapa?” tanya saya.

“Ya mau nggak marah gimana coba. Ayam yang bertelur, tapi ketika sudah digoreng, telurnya dibilang telur mata sapi. Hehe.”

Itu celoteh temanku soal telur. Dan lupakan tentang cerita humor pendek tak bermakna tersebut. Saya mengawali artikel ini dengan mengutip humor hanya karena ingin melepaskan rasa stress yang saat ini melanda saya. Nah lho, kenapa saya jadi curhat disini ya.

Oke, disini saya akan mencoba berfilosofi dari sebutir telur. Saya masih ingat ada satu kata mutiara dari buku ‘Upgrade’ karya Sholihin Abu Izzudin yang selalu saya ingat. Bunyinya seperti ini,
“Jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari luar, maka kehidupan di dalam telur akan berakhir. Tetapi, jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari dalam, maka kehidupan baru telah lahir, dan hal-hal besar selalu dimulai dari dalam.”

Aku suka dengan kalimatnya dan saya pun mencoba menginterpretasikannya. Kita tahu bahwa telur yang akan kita masak harus dihancurkan cangkangnya. Pun telur yang akan menetes juga harus menghancurkan cangkangnya.

Akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan. Telur yang akan dimasak diketuk dari luar, akibatnya cangkang itu hancur dan isinya dikeluarkan. Cangkangnya dibuang dan isinnya kita makan. Sedangkan pada kasus telur yang ditetaskan, cangkang telur diketuk-ketuk dari dalam, kemudian retak dan sebuah kehidupan baru lahir.

Proses pecahnya cangkang telur diibaratkan sebagai sebuah proses perubahan. Ketika telur itu pecah karena tekanan dari luar, maka itu berarti seseorang baru akan mengubah dirinya jika dia mendapatkan tekanan atau paksaan dari luar. Sedangkan telur yang pecah karena akan menetas, dalam artian pecah karena tekanan dari dalam kita artikan seseorang yang berubah karena kesadaran dirinya sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak lain.

Jika kita bandingkan antara keduanya, maka tentu saja seseorang yang berubah karena faktor dari dalam dirinya akan merasakan rasa nyaman karena perubahan itu timbul dari dalam dirinya sendiri. dia akan istiqomah di jalan yang ditempuhnya tanpa ada paksaan dari pihak lain. Efeknya muncul kehidupan yang baru, muncul sosok baru yang lebih baik dari sebelumnya karena dorongan tersebut datang dari dirinya sendiri.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan diri pada seseorang sangat  beragam sekali, tergantung dari masing-masing individu, dan yang paling penting perubahan tersebut tidak dapat dipaksakan. Terkadang kita sering sekali menemukan orang-orang yang diminta untuk berubah, menjadi lebih baik. Semua orang-orang terdekatnya menasehatinya untuk berubah, tapi hasilnya nol. Sedangkan di tempat dan waktu yang lain, mungkin ada juga orang yang tiba-tiba berubah dengan sendirinya tanpa ada yang meminta, tanpa ada yang memaksa.

Nah, itu filosofi pertama dari telur, dan saya masih akan mengupas filosofi kedua dari sebutir telur. Pernahkah kita menyadari bahwa seekor ayam memiliki dua kelahiran. Kelahiran pertama adalah kelahiran dari perut induk ayam berupa telur. Dan kelahiran yang kedua adalah ketika telur itu menetes dan ‘melahirkan’ seekor anak ayam yang menciap.

Sebenarnya, proses dua kelahiran ayam tersebut bisa menjadi pelajaran dalam kehidupan kita. disadari atau tidak, diantara kita pun barangkali banyak yang mengalami dua kelahiran. Maksudnya gimana? Kelahiran pertama, tentu saja ketika kita lahir dari Rahim ibu kita. dan kelahiran yang kedua tak lebih dari kiasan. Kelahiran ini terjadi ketika kita hijrah dari kehidupan yang buruk dan kelam menuju kehidupan yang lebih baik. Ketika kita mengubah masa lalu kita dan mencoba berbenah diri, sejatinya kita sedang terlahir kembali dengan jiwa yang baru.

Kita tentu ingat bahwa seseorang yang bertaubat dan diampuni oleh Alloh subhanahu wata'ala, maka dosa-dosa masa lalunya akan dihapus tanpa bekas. Begitu juga seseorang yang memutuskan diri menjadi seorang muslim setelah sebelumnya bergelimpang kemusyrikan, maka dia seperti dilahirkan kembali tanpa membawa dosa-dosa masa lalunya. Dan inilah yang dimaksud dengan kelahiran yang kedua. Ketika kita berubah dan dosa-dosa kita diampuni karena taubat dan hijrah kita.

Didalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ada seorang pemuda bertanya kepada kakek-kakek yang sudah sepuh, “Kek, usia kakek berapa?”

Kakek tersebut menjawab, “Saya berusia sepuluh tahun.”

Maka si pemuda itu tertawa, “Yang benar saja kek. Saya tidak sedang mengajak kakek bercanda.”

“Saya tidak bercanda anak muda. Saya baru berusia sepuluh tahun dalam kehidupan baru saya. Dan saya tidak sudi menghitung masa lalu saya yang buruk. Jika yang kau maksud adalah seluruh usia saya. Maka saat ini saya berusia 70 tahun. Tapi saya mengenal kebenaran baru sepuluh tahun.”

Nah, itulah dua filosofi telur yang bisa kita renungkan bersama. Dan saya harus mengakhiri artikel ini karena saya lapar dan berniat membuat telur dadar. Eh, tapi sepertinya lebih enak memasak telur mata sapi dan semangkok ramen. Wassalam.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment