Suatu ketika, teman saya melontarkan cerita humor kepada
saya. Dia bilang, “Ada ayam yang pernah marah karena ketidakadilan.”
Aku hanya bisa mesem dan aku tahu dia pasti akan bercerita
sebuah cerita humor. “Kenapa?” tanya saya.
“Ya mau nggak marah gimana coba. Ayam yang bertelur, tapi
ketika sudah digoreng, telurnya dibilang telur mata sapi. Hehe.”
Itu celoteh temanku soal telur. Dan lupakan tentang cerita
humor pendek tak bermakna tersebut. Saya mengawali artikel ini dengan mengutip
humor hanya karena ingin melepaskan rasa stress yang saat ini melanda saya. Nah
lho, kenapa saya jadi curhat disini ya.
Oke, disini saya akan mencoba berfilosofi dari sebutir
telur. Saya masih ingat ada satu kata mutiara dari buku ‘Upgrade’ karya
Sholihin Abu Izzudin yang selalu saya ingat. Bunyinya seperti ini,
“Jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari luar, maka
kehidupan di dalam telur akan berakhir. Tetapi, jika sebuah telur dipecahkan
oleh kekuatan dari dalam, maka kehidupan baru telah lahir, dan hal-hal besar
selalu dimulai dari dalam.”
Aku suka dengan kalimatnya dan saya pun mencoba menginterpretasikannya.
Kita tahu bahwa telur yang akan kita masak harus dihancurkan cangkangnya. Pun telur
yang akan menetes juga harus menghancurkan cangkangnya.
Akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan. Telur yang akan
dimasak diketuk dari luar, akibatnya cangkang itu hancur dan isinya
dikeluarkan. Cangkangnya dibuang dan isinnya kita makan. Sedangkan pada kasus
telur yang ditetaskan, cangkang telur diketuk-ketuk dari dalam, kemudian retak
dan sebuah kehidupan baru lahir.
Proses pecahnya cangkang telur diibaratkan sebagai sebuah
proses perubahan. Ketika telur itu pecah karena tekanan dari luar, maka itu
berarti seseorang baru akan mengubah dirinya jika dia mendapatkan tekanan atau
paksaan dari luar. Sedangkan telur yang pecah karena akan menetas, dalam artian
pecah karena tekanan dari dalam kita artikan seseorang yang berubah karena
kesadaran dirinya sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak lain.
Jika kita bandingkan antara keduanya, maka tentu saja
seseorang yang berubah karena faktor dari dalam dirinya akan merasakan rasa
nyaman karena perubahan itu timbul dari dalam dirinya sendiri. dia akan istiqomah
di jalan yang ditempuhnya tanpa ada paksaan dari pihak lain. Efeknya muncul
kehidupan yang baru, muncul sosok baru yang lebih baik dari sebelumnya karena
dorongan tersebut datang dari dirinya sendiri.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan diri pada seseorang
sangat beragam sekali, tergantung dari
masing-masing individu, dan yang paling penting perubahan tersebut tidak dapat
dipaksakan. Terkadang kita sering sekali menemukan orang-orang yang diminta
untuk berubah, menjadi lebih baik. Semua orang-orang terdekatnya menasehatinya
untuk berubah, tapi hasilnya nol. Sedangkan di tempat dan waktu yang lain,
mungkin ada juga orang yang tiba-tiba berubah dengan sendirinya tanpa ada yang
meminta, tanpa ada yang memaksa.
Nah, itu filosofi pertama dari telur, dan saya masih akan
mengupas filosofi kedua dari sebutir telur. Pernahkah kita menyadari bahwa
seekor ayam memiliki dua kelahiran. Kelahiran pertama adalah kelahiran dari
perut induk ayam berupa telur. Dan kelahiran yang kedua adalah ketika telur itu
menetes dan ‘melahirkan’ seekor anak ayam yang menciap.
Sebenarnya, proses dua kelahiran ayam tersebut bisa menjadi pelajaran
dalam kehidupan kita. disadari atau tidak, diantara kita pun barangkali banyak
yang mengalami dua kelahiran. Maksudnya gimana? Kelahiran pertama, tentu saja
ketika kita lahir dari Rahim ibu kita. dan kelahiran yang kedua tak lebih dari
kiasan. Kelahiran ini terjadi ketika kita hijrah dari kehidupan yang buruk dan
kelam menuju kehidupan yang lebih baik. Ketika kita mengubah masa lalu kita dan
mencoba berbenah diri, sejatinya kita sedang terlahir kembali dengan jiwa yang
baru.
Kita tentu ingat bahwa seseorang yang bertaubat dan diampuni
oleh Alloh subhanahu wata'ala, maka dosa-dosa masa lalunya akan dihapus tanpa
bekas. Begitu juga seseorang yang memutuskan diri menjadi seorang muslim
setelah sebelumnya bergelimpang kemusyrikan, maka dia seperti dilahirkan
kembali tanpa membawa dosa-dosa masa lalunya. Dan inilah yang dimaksud dengan
kelahiran yang kedua. Ketika kita berubah dan dosa-dosa kita diampuni karena
taubat dan hijrah kita.
Didalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ada seorang pemuda
bertanya kepada kakek-kakek yang sudah sepuh, “Kek, usia kakek berapa?”
Kakek tersebut menjawab, “Saya berusia sepuluh tahun.”
Maka si pemuda itu tertawa, “Yang benar saja kek. Saya tidak
sedang mengajak kakek bercanda.”
“Saya tidak bercanda anak muda. Saya baru berusia sepuluh
tahun dalam kehidupan baru saya. Dan saya tidak sudi menghitung masa lalu saya
yang buruk. Jika yang kau maksud adalah seluruh usia saya. Maka saat ini saya
berusia 70 tahun. Tapi saya mengenal kebenaran baru sepuluh tahun.”
Nah, itulah dua filosofi telur yang bisa kita renungkan
bersama. Dan saya harus mengakhiri artikel ini karena saya lapar dan berniat
membuat telur dadar. Eh, tapi sepertinya lebih enak memasak telur mata sapi dan
semangkok ramen. Wassalam.
No comments:
Post a Comment