Ketika saya kecil dulu, betapa bahagianya ketika saya
mendapatkan uang jajan dari emak dan bapak. Dan kebahagiaan itu akan memuncak
ketika hari lebaran tiba, dimana saku kita penuh dengan uang pemberian dari
orang tua, kakek nenek, kakak, paman dan bibi, serta kenalan-kenalan bapak. Memang
betul apa yang menjadi seloroh teman saya, “Ada dua golongan yang duitnya tidak
berkurang, tapi justru bertambah di hari raya lebaran; anak-anak dan
nenek-nenek.”
Kembali kepada ‘kata’ uang. Kita tidak bisa memungkiri bahwa
kita semua membutuhkan uang dan tergantung pada uang. Pendidikan membutuhkan
uang, menafkahi keluarga juga dengan uang dan bahkan ibadah pun ada yang
memakai uang, sedekah dan ibadah haji contohnya.
Dan kita juga tidak bisa mengelak bahwa memang uang bisa
menjadi standar kekayaan. Orang kaya sudah pasti banyak uangnya, tebal
dompetnya atau penuh depositonya. Sehingga banyak orang yang mengukur
kesuksesan hidupnya dari seberapa banyak uang atau benda yang bisa diuangkan
yang dia miliki.
Akan tetapi, tidak selamanya kita mengukur kesuksesan dan
kebahagiaan dengan uang. Hidup bukan untuk uang, tapi uang untuk hidup.
Nah, berbicara tentang uang saya ingin mencoba berfilosofi. Tak
dinyana, ternyata dari uang kita bisa memetik banyak hikmah dan pelajaran
kehidupan. Tapi filosofi itu akan saya bawakan dalam kisah.
Suatu ketika seorang guru memasuki sebuah kelas. Saat masuk,
ia mendapati murid-murid dengan wajah yang sangat murung. Ia sudah menduga
sebelumnya. Kemarin saat perlombaan Cerdas Cermat, beberapa siswa unggulan
mereka kalah oleh siswa dari sekolah lain.
Karena kekalahan itu, semua siswa di kelas merasa sedih.
Mereka tidak bisa menerima kekalahan itu. Mereka jadi diam dan tidak
bersemangat saat berlangsungnya pelajaran sekolah. Sang guru sempat menanyakan
beberapa pertanyaan tapi tidak ada satu siswa pun yang antusias menjawab. Ia
juga bertanya apakah ada yang mau mengerjakan soal di papan tulis. Tidak ada
yang mengangkat tangan.
Akhirnya guru itu menyerah dan menghentikan pelajaran.
Sebagai gantinya ia mengeluarkan selembar uang kertas senilai seratus ribu
rupiah dan menunjukkannya pada siswa di kelas. “Yang mau uang ini silakan
angkat tangan.
Seluruh siswa mengangkat tangannya.
Sang guru lalu meremas-remas uang tersebut hingga kusut. Ia
bertanya lagi, “Yang masih mau uang ini silakan angkat tangan.”
Seluruh siswa mengangkat tangan.
Sang guru kemudian menjatuhkan uang ke lantai dan
menginjaknya berkali-kali hingga kotor. Lalu ia memungut uang itu dan bertanya,
“Siapa yang masih mau uang ini?”
Seluruh siswa kembali mengangkat tangan.
Sang guru menjelaskan, “Meskipun uang itu sudah diremas dan
injak sampai kotor dan kusut, kalian tetap menginginkannya. Uang itu tetap
bernilai seratus ribu rupiah, tidak berkurang sedikit pun meski sudah menjadi
seperti ini. Kalian juga seharusnya seperti uang ini. Kalian sedih karena kelas
kalian kalah dalam Cerdas Cermat. Tapi kalian tetaplah diri kalian seperti
dulu. Jangan sakiti diri kalian karena kekalahan. Jangan anggap kalian tidak
berguna karena kekalahan itu. Kalian adalah siswa yang pintar dan hebat.
Meskipun kalah kalian tetaplah luar biasa. Ingat itu baik-baik.”
Ada dua pelajaran berharga yang bisa kita peroleh dari kisah
ini.
Pertama, seringkali kita dijatuhkan, diremas-remas dan
diinjak oleh kekalahan atau pun kegagalan dalam hidup ini. Itu bukan berarti
apa-apa. Jangan jatuhkan dan rendahkan nilai diri kita karena hal-hal seperti
itu. Ingatlah uang tidak berkurang nilainya meskipun diremas, dimasukkan ke
dalam air atau diinjak-injak. Nilainya tetap seperti itu tidak peduli apakah
bersih atau kotor, rapi atau kusut. Kita juga sama berharganya dengan uang.
Nilai diri kita tidak berkurang sedikitpun meski gagal, kalah, kecewa dan
terjatuh. Kita tetap diri kita.
Jangan seperti mereka yang ketika kalah langsung mencap
dirinya lemah, yang ketika gagal langsung mencap dirinya bodoh, yang ketika
jatuh langsung mencap dirinya tidak berguna. Mereka merendahkan nilai dirinya
saat mengalami sesuatu yang tidak sesuai harapan.
Kedua, seburuk apa pun kita, kita akan tetap berharga dengan
nilai yang kita miliki. Nilai itu adalah sikap yang baik (akhlak) dan
kepedulian terhadap orang lain. Tidak peduli apakah kita jelek, tidak kaya atau
tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh, tapi kita akan selalu dekat di hati
orang-orang. Kita akan selalu menjadikan orang lain nyaman. Itu bukan
ditentukan oleh rupa kita, tapi ditentukan oleh nilai yang kita miliki. Sebagaimana
uang seratus ribu yang lusuh tidak menjadikan nilainya berkurang.
Ada lagi kisah menarik yang mengajarkan arti ‘nilai.’ Dikisahkan
ada seorang guru yang mengangkat uang seribu dan berkata kepada murid-muridnya,
“Siapakah yang mau uang ini?”
Hanya beberapa anak yang mengangkat tangan, itu pun tak
terlalu antusias. Karena mereka tahu, apalah arti dari uang seribu rupiah.
Kemudian guru tersebut memasukan uang tersebut ke dompet dan
menggantinya dengan uang seratus ribu dan melontarkan pertanyaan yang sama, “Siapa
yang mau uang ini?”
Sontak semua siswa mengangkat tangannya. Bahkan ada yang
langsung berdiri dan maju ke depan untuk mendapatkan uang tersebut. Mereka berlomba-lomba
untuk mendapatkannya.
Kenapa respon itu berbeda? Karena semua itu kembali kepada
nilai. Ada perbedaan yang signifikan antara nilai keduanya. Uang seribu dan
seratus ribu. Nah, pertanyaannya, apakah kita akan mencitrakan diri kita
sebagai uang seribuan atau seratus ribu.
Berbicara tentang uang pecahan seratus ribu dan uang pecahan
seribu, saya akan memungkasnya dengan satu cerita imajinatif tentang dialog Uang Seratus Ribu dan Seribuan.
Konon, uang seribu dan seratus ribu memiliki asal-usul yang
sama tapi mengalami nasib yang berbeda. Keduanya sama-sama dicetak di PERURI (Percetakan
Uang Republik Indonesia) dengan bahan
dan alat-alat yang berkualitas. Pertama kali ke luar dari PERURI, uang seribu
dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum dan menarik.
Namun tiga bulan setelah keluar dari PERURI, uang seribu dan
seratus ribu bertemu kembali di dompet seseorang dalam kondisi yang berbeda.
Uang seratus ribu berkata pada uang seribu, “Ya ampun,
darimana saja sih kamu? Baru tiga bulan kita berpisah, kok tampilanmu lusuh
banget? Kumal, kotor, lecet, bau lagi.”
Si uang seribu hanya tersipu malu mendengarkan celotehan uang
seratus ribu.
“Padahal waktu kitasama-sama keluar dari PERURI, kita
sama-sama keren kan ….. Ada apa denganmu?”
Uang seribu menatap uang seratus ribu yang masih keren dengan
perasaan nelangsa. Sambil mengenang perjalanannya, uang seribu berkata, “ “Ya,
beginilah nasibku, kawan. Sejak kita ke luar dari PERURI, hanya tiga hari saya
berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya sudah pindah ke dompet
tukang sayur yang kumal. Dari dompet tukang sayur, saya beralih ke kantong
plastik tukang ayam. Plastiknya basah, penuh dengan darah dan kotoran ayam.
Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen, dari pengamen sebentar
aku nyaman di laci tukang warteg. Dari laci tukang warteg saya berpindah ke
kantong tukang nasi uduk, dari sana saya hijrah ke berbagai tempat yang
berbeda, dan kondisinya nyaris sama. Bahkan diremas-remas oleh tangan mungil
anak kecil. Itulah alasannya kenapa kondisiku seperti ini.”
Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin. Kemudian dia
berkata, “Wah, sedih sekali
perjalananmu, kawan! Berbeda sekali dengan pengalamanku. Sejak keluar dari
PERURI, aku disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum. Setelah itu aku
berpindah ke dompet wanita cantik. Setelah
dari sana , aku lalu berpindah-pindah, kadang-kadang aku ada di hotel
berbintang 5, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di tempat
arisan Ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Pokoknya aku selalu berada di
tempat yang bagus. Jarang deh aku di tempat yang kamu ceritakan itu.”
Uang seribu terdiam sejenak. Tapi sejurus kemudian dia
tersenyum dan berkata, “Ya. Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di
tempat yang nyaman.Tapi ada satu hal yang selalu membuat saya senang dan bangga
daripada kamu!”
“Apa itu?” uang seratus ribu penasaran.
“Aku sering bertemu teman-temanku di kotak-kotak amal di
mesjid atau di tempat-tempat ibadah lain. Hampir setiap minggu aku mampir
ditempat-tempat itu. Jarang banget tuh aku melihat kamu disana.”
Nah, lagi-lagi kisah ini mengajarkan kita arti nilai dalam
bentuk yang lain. Jika kita telah menganalogikan ‘nilai’ dalam bentuk angka di
kisah yang pertama, maka di kisah yang terakhir ini saya mencoba mengulik nilai
dari segi ‘kebermanfaatan’ dan ‘keberkahan.’
Uang Bukan Segalanya
Tahukah kita, bahwa ternyata uang juga memiliki kekuatan yang
luar biasa. Seringkali kekuatan itu bersifat merusak. Simak saya penuturan si ‘uang’
tentang dirinya.
Namaku Uang, nama panggilanku Duit, nama ukhuwah Fulus, dan
nama tenarku Money. Wajahku biasa saja, dan fisikku juga lemah, namun aku mampu
untuk merombak tatanan dunia.
Aku juga bisa merubah perilaku, bahkan sifat manusia, karena
manusia memang mengidolakan aku. Banyak orang merubah kepribadian, mengkhianati
teman, menjual diri, bahkan meninggalkan keyakinan iman, hanya demi aku.
Aku tidak mengerti perbedaan orang saleh dan bejat, tapi
manusia memakai aku menjadi patokan derajat, menentukan kaya miskin, dan
terhormat atau terhina. Aku bukan iblis, tapi sering orang melakukan kekejian
demi aku. Aku juga bukan orang ketiga, tapi banyak suami istri pisah gara-gara
aku, kakak dan adik beradu dan saling benci karena aku. Bahkan anak dan
orangtua berselisih gara-gara aku.
Sangat jelas juga aku bukan Tuhan, tapi banyak manusia
menyembah aku seperti Tuhan bahkan kerap kali hamba-hamba Tuhan lebih
menghormati aku, padahal Tuhan sudah berfirman janganlah jadi hamba uang.
Seharusnya aku melayani manusia, tapi mengapa banyak manusia mau jadi budakku?
Aku tidak pernah mengorbankan diriku untuk siapa pun, tapi
banyak orang rela mati demi aku. Perlu diingatkan, aku hanya bisa menjadi alat
membayar resep obat, tapi aku tidak mampu memperpanjang hidup manusia. Kalau
suatu hari kamu dipanggil Tuhan, maka aku tidak akan bisa menemanimu, apalagi
menjadi penebus dosa-dosamu. Karena kamu harus menghadap sendiri kepada sang
Pencipta, lalu menerima penghakiman-Nya. Saat itu, Tuhan pasti akan melihat
perbuatanmu. Apakah selama hidup kamu menggunakanku dengan baik, atau
sebaliknya malah menjadikanku sebagai Tuhanmu? Pesanku, jangan terlalu sayang
dan memujaku. Dan jangan lupa mensucikanku dengan bersedekah, agar aku bisa
menjadi berkah di dunia dan akhirat.
Menutup artikel ini, izinkan saya untuk mengutip sebuah
nasihat indah yang saya dapatkan dari broadcast whatsapp -entah siapa yang
mengatakannya- yang jelas nasihat ini bisa menjadi pengingat kita.
Making friends with
rich people not necessarily make you be rich, but making friends with smart and
wise people will make you can get what a smart and wise think too.
Berteman dengan orang kaya tidak akan membuatmu kaya, tetapi berteman
dengan orang cerdas dan bijak pasti membuatmu cerdas dan bijak juga.
Uang adalah angka dan angka tidak ada akhirnya. Jika kita
mengukur kebahagiaan dengan uang, maka pencarian kebahagiaan tidak akan pernah
berakhir. Memang kita butuh uang, tapi jangan jadikan uang sebagai standar
kesuksesan dan kebahagiaan. Jadikan uang sebagai sarana untuk mendapatkan ridho
Tuhan.
No comments:
Post a Comment