Aku tidak pernah percaya dengan pepatah lama yang mengatakan
cinta itu buta. Bagiku cinta itu tidak buta. Karena ketika aku memutuskan untuk
mencintai, maka aku sadar bahwa cinta itu layak untuk aku berikan dan layak untuk
dia terima. Aku memperjuangkan cinta karena memang ia layak untuk
diperjuangkan.
Oh, kau mungkin bertanya-tanya bagaimana awalnya sehingga aku
membahas tentang peribahasa ini? Sebenarnya, kemarin aku marah besar kepada
mama dan kakak perempuanmu Titania. Mereka bernua terus menerus merongrongku
dengan berbagai pertanyaan yang membuatku seakan meledak dengan rasa jengkel.
“Kamu yakin mau menikahi gadis bisu dan tuli itu?” Tanya
Titania dengan tatapan yang sangsi. Dia menyandarkan punggung rampingnya di
sofa yang terletak hadapanku.
“Kenapa kau selalu memanggilnya dengan menyebutkan
kekurangannya, tidakkah kau bisa menyebut langsung namanya?” seruku. Rasa
jengkel mulai terbit di hatiku. Meski aku berusaha untuk menahannya.
Mama menghela nafas dan meletakan majalah wanita yang sedari
tadi ada di kedua tangannya dan menatapku lekat-lekat. “Ben, kamu tahu kan
konsekuensi yang bakalan kamu terima jika kamu tetep ngeyel untuk menikahi
Alissa.”
“Ya, aku tahu konsekuensinya. Mama kira apa konsekuensinya?”
“Kamu akan mendapatkan tatapan penuh tanda tanya dari kerabat
kita dan orang-orang di sekitarmu. Apakah kamu sanggup menghadapi tatapan aneh
mereka.”
“Kenapa harus takut dengan semua itu. Aku menikahi Alissa
karena cinta dan tidak merasa terpaksa.”
Titania menegakan punggungnya dan menyorongkan kepalanya
beberapa senti. “Padahal kan mama sudah memperkenalkan kamu sama Angel. Anak
tunggal relasi bisnis mama. Kurang apa angel di matamu. Sehingga kamu lebih
memilih wanita tuli dan bisu dibanding angel yang berpendidikan, supel dan
memiliki kehidupan yang lebih baik. Oh iya, Alissa juga cantik. Tapi tidak
secantik Angel.”
“Bisa diam nggak sih?” emosiku langsung tersulut.
Mama menghela nafas dan melanjutkan membaca majalah yang tadi
dia simpan di atas meja.
“Ben, pepatah mengatakan cinta itu buta. Oleh karena itu kamu
dibutakan oleh cintamu sehingga kamu tidak melihat kebaikan di dalam diri
Angel. Adapun semua pesona hanya kamu dapatkan pada Alissa. Kamu buta dari
semua kekurangannya.”
“Tahu apa kau tentang Alissa.?”
“Aku_”
“Harusnya pepatah itu kamu tunjukan pada dirimu sendiri.
cinta itu buta sehingga kamu tidak bisa mempertahankan keperawananmu. Sehingga
kau memutuskan kawin sama si Joni karena perut buntingmu itu.”
“BEN!” Kali ini mama melotot ke arahku.
Aku tidak meduli. Dengan gerakan kasar aku bangkit dari sofa
meninggalkan kakak perempuanmu yang terluka. Peduli apa aku tentang
perasaannya. Toh dia juga tidak bisa mengerti perasaanku.
***
Aku dan alissa duduk berhadapan di kafe perfecto hampir satu
jam lamanya. Berkomunikasi dengan gerakan bibir yang kentara, serta gerakan
tangan dan mimik muka. Kadang kami meningkahi percakapan aneh kami dengan tawa
kecil yang tertahan.
Alissa mengibaskan tangannya dan menggelengkan kepalanya ke
kiri dan kekanan. Kemudian merapatkan tangannya. Biar aku terjemahkan untukmu.
Jangan sangsi dengan kemampuan komunikasiku dengan orang tunarungu plus
tunawicara seperti Alissa. Sejak kelas satu SMA aku sudah terbiasa
berkomunikasi dengan dia. Jadi, aku sudah hapal kode dan gerakan tangan yang
biasa dia lakukan ketika berbicara denganku. Oh ya, baru saja dia berkata
kepaku, Aku tahu orang tuamu tidak merestui hubungan kita. Sepertinya kita
tidak mungkin menikah, Ben.
“Alissa, kenapa kamu jadi pesimis seperti itu. Yang penting
orang tuamu merestui pernikahan kita, bukan?”
Alissa mengangguk sekali.
“Lagi pula aku kan lelaki dan seorang lelaki tidak
membutuhkan restu orang tua sebagai syarat. Aku tidak membutuhkan papa atau
kakak lelakiku sebagai wali. Lelaki bisa menikah kapanpun yang dia mau.”
Alissa kembali menekuk wajahnya. Menggerakan tangannya
membentuk bundaran besar dan kecil. Aku tidak sekaya keluargamu. Mungkin
keluargamu menganggap aku tidak pantas menjadi istrimu. Lagi pula aku cacat,
Ben.
“Alissa, hentikan omong kosong itu. Fixed. Kita akan menikah
bulan depan. Lagi pula aku lihat mamaku sudah mulai melunak.”
Kali ini Alissa mengangguk percaya. dia menyesap capucinonya
dan tersenyum lebar. Seakan-akan senyumnya berbicara, Ben,aku percaya kita
bisa bahagia.
***
Tadi pagi Alissa mengajakku untuk bertemu di tempat yang sama,
tempat yang selama ini menjadi saksi kisah antara aku dan Alissa. Kafe perfecto.
Dan seperti biasa, dia sudah datang terlebih dahulu. Mendahuluiku beberapa
menit lamanya. Duduk manis dengan tangan yang dilipat di atas meja. Aku menangkap
ada ketidaksempurnaan dari kehadirannya kali ini. Aku telah kehilangan senyuman
yang selama ini selalu dia pamerkan lewat geligi putihnya dan dua bibirnya yang
ranum. Kali ini Alissa bermuram durja.
Terburu-buru aku menghampirinya dan duduk di hadapannya. Seorang
barista datang dan aku mengangguk dengan mengacungkan jempol. Itu artinya aku
dan Alissa memesan kopi yang biasa kami pesan. Aku kopi hitam dan Alissa
secangkir cappuccino dengan taburan cokelat berbentuk senyuman.
“Ada apa? Kok kamu cemberut gitu?
”
Alissa menghela nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Alih-alih
mengangkat kepalanya, dia mulai terisak di hadapanku. Demi melihatnya menderita
dengan tangisan itu, aku mengangkat dagunya, “Bicara padaku Alissa, ada apa?”
Mata berbulu lentik itu mengerjap untuk mengusir beberapa
bulir air mata.
“Alissa, ayolah. Bicara padaku.”
Alissa mengangguk lemah dan mulai menggerakan kedua
tangannya. Menunjuk dadaku, kemudian setelah itu menunjuk dadanya, dan
mengibaskan jemarinya ke kanan dan ke kiri disertai gelengan kepala yang
ritmis.
Aku terkesiap! Oh tidak, mungkin aku salah menangkap
pesannya. “Kamu bukan mengatakan bahwa kita harus mengakhiri hubungan kita kan?”
Dia menggeleng sekali.
“Jadi, menurutmu kita harus menunda rencana pernikahan kita?”
Sekali lagi dia menggeleng. Kali ini gelengannya lebih keras.
Dia kembali menunjuk dadaku, dadanya, dan mengibaskan jemarinya ke kiri dan ke
kanan, kemudian menggelengkan kepala dengan gerakan ritmis. Kali ini dia
memperjelas pesannya. Merapatkan jari telunjuk dan jari tengah, setelah itu
memisahkannya dan menggeleng sekali.
“Maksudmu kita harus mengakhiri hubungan kita dan membatalkan
rencana pernikahan kita?” bahkan aku tidak percaya hal itu. Dan aku berharap
dia menggeleng sebagai kode pesan yang aku tangkap salah.
Tapi Tuhan! Itu benar. Dia mengangguk kuat disertai dengan
deraian air mata yang membanjiri kedua belah pipinya yang merah.
“Tidak! Kau pasti bercanda!”
Lagi-lagi dia menggeleng. Sepertinya dia tak ingin membuang
waktu terlalu lama untuk menjelaskan. Alissa mengeluarkan note kecil lengkap
dengan sebuah pena. Kemudian menuliskan sesuatu di atas selembar kertas. Menyobeknya
dan menyodorkannya ke arahku.
Aku sudah dijodohkan dengan seorang lelaki yang sama seperti
diriku. Kamu terlalu sempurna untuk diriku. Dan kita tidak pantas untuk
bersanding.
“Lelaki yang sama? Maksudmu lelaki yang dijodohkan denganmu
itu seorang tunarungu dan tunawicara?”
Dia mengangguk.
“Bukankah kau bilang orang tuamu merestui hubungan kita?
Bukankah kau bilang semuanya akan baik-baik saja, Alissa?”
Merebut kertas itu dan kembali menulis kalimat di atasnya. Beberapa
detik dia berkutat dengan pena dan kembali menyerahkannya kepadaku.
Semuanya akan baik-baik saja jika orang keluargamu merestui
juga. Aku tidak ingin dibebani oleh perasaan yang tidak menyenangkan selama
kehidupan kita nanti.
Kali ini mataku berkaca-kaca.
Seorang barista datang membawa pesanan kapi. Secangkir kopi
hitam disimpan di hadapanku, dan secangkir cappucinno dengan senyuman cokelat
dihidangkan di hadapan Alissa. Senyuman itu seakan mengejek diriku. Nasibmu
sungguh sial Ben. Sudah mencintai seorang wanita tidak sempurna, dicampakan
pula.
Aku marah pada keluargaku, dan aku marah pada Alissa yang
meremehkan cintaku.
“Kau bilang tadi aku terlalu sempurna untukmu? Kenapa kau
berpikir seperti itu? Tidakkah kau mempercayai diriku.? Kau ragu dan berpikir
aku akan berubah di kemudian hari? Meninggalkanmu sendirian?”
Dia menggeleng. Menyeka air mata dengan tangan kanannya
dengan satu gerakan yang cepat dan kasar. Berdiri dari hadapanku dan berlalu
begitu saja.
Aku mengepalkan kedua tanganku dan menghirup udara yang
seakan-akan berkonspirasi untuk menyerang saluran pernafasanku. Tiba-tiba saja
aku merasa sesak. Rasa marah, kesal, jengkel dan sedih mengaduk-aduk seluruh
relung jiwaku.
Senyuman di atas cangkir cappuccino itu masih menatapku
dengan tatapannya yang mengejek. Kejar Alissamu dan kau tidak boleh
menyerah. Dia pikir dia punya wewenang apa untuk memutuskan hubungan secara
tiba-tiba, Ben?
Tapi aku hanya diam di tempat. Kursi kafe itu seakan menyedot
seluruh kekuatanku. Tiba-tiba benakku berputar dan berusaha memahami apa yang
baru saja telah terjadi. Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Titania
tempo hari.
Lagi-lagi senyuman cappuccino itu memberiku imaji. Boleh jadi
kakak perempuanmu itu mendatangi Alissa dan memintanya untuk memutuskan
hubungan. Jadi setelah percakapan kalian kemarin, dia mendatangi Alissa, dan
setelah itu Alissa mendatangimu. Bisa jadi kan?
Gigiku bergemeletuk karena menahan amarah. Ya, ini pasti ulah
titania. Biar aku urus dia malam ini. Tanganku mengepal dan bangkit dari kursi.
Merogoh kantong celana untuk mencari selemar uang untuk membayar dua cangkir kopi, setelah itu
berlalu pergi.
Benar katamu kak, cinta memang buta. Dan karena cinta aku
bisa saja buta untuk membunuhmu.
No comments:
Post a Comment