23 Oct 2018

Cinta Memang Buta


Aku tidak pernah percaya dengan pepatah lama yang mengatakan cinta itu buta. Bagiku cinta itu tidak buta. Karena ketika aku memutuskan untuk mencintai, maka aku sadar bahwa cinta itu layak untuk aku berikan dan layak untuk dia terima. Aku memperjuangkan cinta karena memang ia layak untuk diperjuangkan.

Oh, kau mungkin bertanya-tanya bagaimana awalnya sehingga aku membahas tentang peribahasa ini? Sebenarnya, kemarin aku marah besar kepada mama dan kakak perempuanmu Titania. Mereka bernua terus menerus merongrongku dengan berbagai pertanyaan yang membuatku seakan meledak dengan rasa jengkel.

“Kamu yakin mau menikahi gadis bisu dan tuli itu?” Tanya Titania dengan tatapan yang sangsi. Dia menyandarkan punggung rampingnya di sofa yang terletak hadapanku.

“Kenapa kau selalu memanggilnya dengan menyebutkan kekurangannya, tidakkah kau bisa menyebut langsung namanya?” seruku. Rasa jengkel mulai terbit di hatiku. Meski aku berusaha untuk menahannya.

Mama menghela nafas dan meletakan majalah wanita yang sedari tadi ada di kedua tangannya dan menatapku lekat-lekat. “Ben, kamu tahu kan konsekuensi yang bakalan kamu terima jika kamu tetep ngeyel untuk menikahi Alissa.”

“Ya, aku tahu konsekuensinya. Mama kira apa konsekuensinya?”

“Kamu akan mendapatkan tatapan penuh tanda tanya dari kerabat kita dan orang-orang di sekitarmu. Apakah kamu sanggup menghadapi tatapan aneh mereka.”

“Kenapa harus takut dengan semua itu. Aku menikahi Alissa karena cinta dan tidak merasa terpaksa.”
Titania menegakan punggungnya dan menyorongkan kepalanya beberapa senti. “Padahal kan mama sudah memperkenalkan kamu sama Angel. Anak tunggal relasi bisnis mama. Kurang apa angel di matamu. Sehingga kamu lebih memilih wanita tuli dan bisu dibanding angel yang berpendidikan, supel dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Oh iya, Alissa juga cantik. Tapi tidak secantik Angel.”
“Bisa diam nggak sih?” emosiku langsung tersulut.

Mama menghela nafas dan melanjutkan membaca majalah yang tadi dia simpan di atas meja.

“Ben, pepatah mengatakan cinta itu buta. Oleh karena itu kamu dibutakan oleh cintamu sehingga kamu tidak melihat kebaikan di dalam diri Angel. Adapun semua pesona hanya kamu dapatkan pada Alissa. Kamu buta dari semua kekurangannya.”

“Tahu apa kau tentang Alissa.?”

“Aku_”

“Harusnya pepatah itu kamu tunjukan pada dirimu sendiri. cinta itu buta sehingga kamu tidak bisa mempertahankan keperawananmu. Sehingga kau memutuskan kawin sama si Joni karena perut buntingmu itu.”

“BEN!” Kali ini mama melotot ke arahku.

Aku tidak meduli. Dengan gerakan kasar aku bangkit dari sofa meninggalkan kakak perempuanmu yang terluka. Peduli apa aku tentang perasaannya. Toh dia juga tidak bisa mengerti perasaanku.

***

Aku dan alissa duduk berhadapan di kafe perfecto hampir satu jam lamanya. Berkomunikasi dengan gerakan bibir yang kentara, serta gerakan tangan dan mimik muka. Kadang kami meningkahi percakapan aneh kami dengan tawa kecil yang tertahan.

Alissa mengibaskan tangannya dan menggelengkan kepalanya ke kiri dan kekanan. Kemudian merapatkan tangannya. Biar aku terjemahkan untukmu. Jangan sangsi dengan kemampuan komunikasiku dengan orang tunarungu plus tunawicara seperti Alissa. Sejak kelas satu SMA aku sudah terbiasa berkomunikasi dengan dia. Jadi, aku sudah hapal kode dan gerakan tangan yang biasa dia lakukan ketika berbicara denganku. Oh ya, baru saja dia berkata kepaku, Aku tahu orang tuamu tidak merestui hubungan kita. Sepertinya kita tidak mungkin menikah, Ben.

“Alissa, kenapa kamu jadi pesimis seperti itu. Yang penting orang tuamu merestui pernikahan kita, bukan?”

Alissa mengangguk sekali.

“Lagi pula aku kan lelaki dan seorang lelaki tidak membutuhkan restu orang tua sebagai syarat. Aku tidak membutuhkan papa atau kakak lelakiku sebagai wali. Lelaki bisa menikah kapanpun yang dia mau.”

Alissa kembali menekuk wajahnya. Menggerakan tangannya membentuk bundaran besar dan kecil. Aku tidak sekaya keluargamu. Mungkin keluargamu menganggap aku tidak pantas menjadi istrimu. Lagi pula aku cacat, Ben.

“Alissa, hentikan omong kosong itu. Fixed. Kita akan menikah bulan depan. Lagi pula aku lihat mamaku sudah mulai melunak.”

Kali ini Alissa mengangguk percaya. dia menyesap capucinonya dan tersenyum lebar. Seakan-akan senyumnya berbicara, Ben,aku percaya kita bisa bahagia.

***

Tadi pagi Alissa mengajakku untuk bertemu di tempat yang sama, tempat yang selama ini menjadi saksi kisah antara aku dan Alissa. Kafe perfecto. Dan seperti biasa, dia sudah datang terlebih dahulu. Mendahuluiku beberapa menit lamanya. Duduk manis dengan tangan yang dilipat di atas meja. Aku menangkap ada ketidaksempurnaan dari kehadirannya kali ini. Aku telah kehilangan senyuman yang selama ini selalu dia pamerkan lewat geligi putihnya dan dua bibirnya yang ranum. Kali ini Alissa bermuram durja.

Terburu-buru aku menghampirinya dan duduk di hadapannya. Seorang barista datang dan aku mengangguk dengan mengacungkan jempol. Itu artinya aku dan Alissa memesan kopi yang biasa kami pesan. Aku kopi hitam dan Alissa secangkir cappuccino dengan taburan cokelat berbentuk senyuman.

“Ada apa? Kok kamu cemberut gitu?
”
Alissa menghela nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Alih-alih mengangkat kepalanya, dia mulai terisak di hadapanku. Demi melihatnya menderita dengan tangisan itu, aku mengangkat dagunya, “Bicara padaku Alissa, ada apa?”

Mata berbulu lentik itu mengerjap untuk mengusir beberapa bulir air mata.

“Alissa, ayolah. Bicara padaku.”

Alissa mengangguk lemah dan mulai menggerakan kedua tangannya. Menunjuk dadaku, kemudian setelah itu menunjuk dadanya, dan mengibaskan jemarinya ke kanan dan ke kiri disertai gelengan kepala yang ritmis.

Aku terkesiap! Oh tidak, mungkin aku salah menangkap pesannya. “Kamu bukan mengatakan bahwa kita harus mengakhiri hubungan kita kan?”

Dia menggeleng sekali.

“Jadi, menurutmu kita harus menunda rencana pernikahan kita?”

Sekali lagi dia menggeleng. Kali ini gelengannya lebih keras. Dia kembali menunjuk dadaku, dadanya, dan mengibaskan jemarinya ke kiri dan ke kanan, kemudian menggelengkan kepala dengan gerakan ritmis. Kali ini dia memperjelas pesannya. Merapatkan jari telunjuk dan jari tengah, setelah itu memisahkannya dan menggeleng sekali.

“Maksudmu kita harus mengakhiri hubungan kita dan membatalkan rencana pernikahan kita?” bahkan aku tidak percaya hal itu. Dan aku berharap dia menggeleng sebagai kode pesan yang aku tangkap salah.

Tapi Tuhan! Itu benar. Dia mengangguk kuat disertai dengan deraian air mata yang membanjiri kedua belah pipinya yang merah.

“Tidak! Kau pasti bercanda!”

Lagi-lagi dia menggeleng. Sepertinya dia tak ingin membuang waktu terlalu lama untuk menjelaskan. Alissa mengeluarkan note kecil lengkap dengan sebuah pena. Kemudian menuliskan sesuatu di atas selembar kertas. Menyobeknya dan menyodorkannya ke arahku.

Aku sudah dijodohkan dengan seorang lelaki yang sama seperti diriku. Kamu terlalu sempurna untuk diriku. Dan kita tidak pantas untuk bersanding.

“Lelaki yang sama? Maksudmu lelaki yang dijodohkan denganmu itu seorang tunarungu dan tunawicara?”

Dia mengangguk.

“Bukankah kau bilang orang tuamu merestui hubungan kita? Bukankah kau bilang semuanya akan baik-baik saja, Alissa?”

Merebut kertas itu dan kembali menulis kalimat di atasnya. Beberapa detik dia berkutat dengan pena dan kembali menyerahkannya kepadaku.

Semuanya akan baik-baik saja jika orang keluargamu merestui juga. Aku tidak ingin dibebani oleh perasaan yang tidak menyenangkan selama kehidupan kita nanti.

Kali ini mataku berkaca-kaca.

Seorang barista datang membawa pesanan kapi. Secangkir kopi hitam disimpan di hadapanku, dan secangkir cappucinno dengan senyuman cokelat dihidangkan di hadapan Alissa. Senyuman itu seakan mengejek diriku. Nasibmu sungguh sial Ben. Sudah mencintai seorang wanita tidak sempurna, dicampakan pula.

Aku marah pada keluargaku, dan aku marah pada Alissa yang meremehkan cintaku.

“Kau bilang tadi aku terlalu sempurna untukmu? Kenapa kau berpikir seperti itu? Tidakkah kau mempercayai diriku.? Kau ragu dan berpikir aku akan berubah di kemudian hari? Meninggalkanmu sendirian?”

Dia menggeleng. Menyeka air mata dengan tangan kanannya dengan satu gerakan yang cepat dan kasar. Berdiri dari hadapanku dan berlalu begitu saja.

Aku mengepalkan kedua tanganku dan menghirup udara yang seakan-akan berkonspirasi untuk menyerang saluran pernafasanku. Tiba-tiba saja aku merasa sesak. Rasa marah, kesal, jengkel dan sedih mengaduk-aduk seluruh relung jiwaku.

Senyuman di atas cangkir cappuccino itu masih menatapku dengan tatapannya yang mengejek. Kejar Alissamu dan kau tidak boleh menyerah. Dia pikir dia punya wewenang apa untuk memutuskan hubungan secara tiba-tiba, Ben?

Tapi aku hanya diam di tempat. Kursi kafe itu seakan menyedot seluruh kekuatanku. Tiba-tiba benakku berputar dan berusaha memahami apa yang baru saja telah terjadi. Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Titania tempo hari.

Lagi-lagi senyuman cappuccino itu memberiku imaji. Boleh jadi kakak perempuanmu itu mendatangi Alissa dan memintanya untuk memutuskan hubungan. Jadi setelah percakapan kalian kemarin, dia mendatangi Alissa, dan setelah itu Alissa mendatangimu. Bisa jadi kan?

Gigiku bergemeletuk karena menahan amarah. Ya, ini pasti ulah titania. Biar aku urus dia malam ini. Tanganku mengepal dan bangkit dari kursi. Merogoh kantong celana untuk mencari selemar uang  untuk membayar dua cangkir kopi, setelah itu berlalu pergi.

Benar katamu kak, cinta memang buta. Dan karena cinta aku bisa saja buta untuk membunuhmu.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment