Sudah tiga tahun lamanya Andi tenggelam di dunia khayalnya yang aneh dan menakutkan, dan tiga tahun lamanya aku mencoba untuk bertahan di sampingnya. Telingaku sudah kebal dengan gunjingan tetangga dan kerabat terdekat. Telingaku sudah resisten dengan bujuk mereka supaya aku menggugat cerai dan meninggalkan Andi sendirian. Mereka bilang toh aku belum memiliki anak. Itu pun mereka bilang karena suamiku yang impoten.
Aku marah. Jelas aku bukan marah kepada Andi yang
mengidap skizofrenia, atau marah kepada Tuhan yang menggariskan takdir hidupku.
Tapi aku marah kepada mereka yang mencampuri urusan rumah tanggaku. Lebih
prinsip lagi, mereka telah mencampuri urusan cintaku. Seakan-akan mereka yang
paling tahu tentang hidupku dibanding mereka sendiri. Terutama keluarga
besarku. Masa bodoh dengan segala gunjingan mereka. Toh sejak awal pernikahanku
dengan Andi, mereka kurang setuju.
Bagiku, Andi adalah cinta pertama dan cinta terakhirku
yang tidak pernah dan tidak bisa tergantikan. Ia yang telah mengisi hatiku yang
kosong dan membuat hidupku tergenapi. Kami mencicipi kebahagiaan kami berdua
selama dua tahun lamanya. Dihiasi dengan perasaan was-was dan harap-harap cemas
terhadap kehadiran buah hati yang tak pernah menunjukan tanda-tanda kedatangannya
di rahimku yang penuh kasih.
Andi dan aku selalu berikhtiar sebisa yang kami bisa,
tapi semua itu sia-sia belaka. Dan musibah itu datang menghantamku seperti
sebuah truk bermuatan berat menabrak jiwaku dengan tiba-tiba. Andi menampakan
gejala aneh seperti seorang lelaki sakit jiwa. Berbicara sendiri dengan
khayalan yang dia bangun, dan dia seringkali marah tak terkendali.
Tapi alhamdulillah, semarah-marahnya Andi, dia tidak
pernah menyakitiku dan membuatku takut. Dia hanya merusak barang-barang yang
ada di sekitar tubuhnya dan dia tidak pernah berani untuk menyentuh kulitku.
Dia hanya menatap mataku dan mendengus kesal.
Aku tak mengerti. Karena beban yang kurasakan semakin
berat, maka aku curhat kepada temanku, kepada psikiater, kepada dokter ahli
jiwa dan kepada keluarga dekatku terutama mama. Dan ya, yang terakhir ini
adalah kesalahan yang aku sesali. Seharunya aku tidak membicarakan hal ini
kepada mama.
“Suamimu kena guna-guna oleh mantan pacarnya yang dia
campakan.” Itu asumsi Ani, teman kerjaku di perusahaan tekstil milik peranakan
cina.
“Andi pernah mengatakan kepadaku bahwa dia belum
pernah memiliki wanita seistimewa aku.” Bantahku. Aku tidak setuju dengan
asumsi Ani. Aku lebih percaya kepada Andi yang begitu mencintaiku dengan
sangat.
“Tapi itu hanya asumsiku, kan.” Ani menegaskan.
“Suami kamu menderita skizofrenia.” Terang dokter
Yuki, dokter keturunan Jepang yang aku kunjungi.
“Skizofrenia? Penyakit apa itu dok?” tanyaku dengan
raut muka penuh rasa penasaran.
Dokter Yuki menghela nafas, “Skizofrenia adalah
penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan, halusinasi dan rasa berkuasa.
Tapi lebih dominan dari semau itu adalah halusinasi akut.”
Aku jadi merinding mendengarnya. “Apakah dia
berbahaya, dok?”
“Apakah dia pernah menyakitimu ketika dia kambuh?”
“Tidak pernah.” Jawabku pendek. Rasa was-was dan
khawatir masih mencengkeram hatiku.
“Yang saya tahu, seorang penderita skizofrenia umumnya
tidak berbahaya. Yaah..walaupun memang sebagian ada yang berpotensi berbahaya.”
Terang dokter Yuki.
Dan pada akhirnya aku lebih percaya keterangan yang
diberikan dokter Yuki dibanding asumsi Ani. Itu lebih masuk akal, meskipun bisa
saja kemungkinan Ani benar. Tapi demi menenangkan hatiku, aku berusaha percaya
kepada diagnosis dokter Yuki.
Oleh karena itu, pasca konsultasi pertamaku, aku
secara berkala mengunjungi dokter Yuki dengan membawa serta Andi.
Dan yang terakhir, kau bisa menebak bagaimana reaksi
mama ketika aku menceritakan kondisi Andi.
“Mama juga bilang apa, Andi itu tidak akan pernah
membahagiakan dirimu. Alih-alih membahagiakan istrinya, dia justru malah
membuat repot kamu kan? Lagipula dia tidak jujur dengan penyakitnya.”
“Sebelum menikah denganku dia tidak menderita
skizofrenia.”
“Terserahlah. Tapi yang pasti aku bisa menebak jika
kamu menyesal menikah dengannya.”
“Tidak sama sekali. Perasaanku masih sama. Aku
mencintainya.”
“Dasar kau kelas kepala. Saran mama, kau urus gugatan
cerai dan tinggalkan dia. Cari lelaki lain yang lebih mapan dan waras. Setelah
itu aku bisa menimang cucumu. Mau kapan kau membahagiakan mama.”
Aku merapatkan bibir dan berusaha menahan amarahku.
Ini sudah keterlaluan. Ya Tuhan, kenapa aku bisa dilahirkan dari seorang mama
seperti ini? Tapi bagaimana pun juga, aku tidak akan bisa menggugat takdir
tuhan, dan aku juga tidak mungkin membenci mama yang telah melahirkanku. Sejak
saat itu, aku tak pernah membicarakan tentang Andi kepada Mama. Dan asal kau
tahu, aku juga jarang mengunjungi mama. Hatiku masih sakit dengan lidah
tajamnya.
***
Dengan skizofrenia akut yang dideritanya, Andi harus
diberhentikan dari kerja. Dan pada akhirnya, akulah yang harus menjadi tulang
punggung rumah tanggaku. Diam-diam aku bersyukur karena Tuhan belum memberi
kami anak.
Aku melamar kerja di sebuah perusahaan tekstil milik
peranakan cina dengan jam kerja yang lumayan panjang. Dimulai dari jam delapan
pagi hingga jam dua siang jika aku kebagian shift siang, dan dari pukul empat
hingga pukul sepuluh malam jika aku kebagian shift malam.
Di tempat kerja itulah petaka kedua datang, rekan
kerja lelakiku datang dengan sorot mata yang penuh hasrat dan cinta.
“Aku bisa menikahimu jika kau mau.” Ujarnya untuk
pertama kalinya ketika kami makan siang di kantin perusahaan.
“Maaf, tidakkah kau tahu bahwa aku memiliki suami.”
Aku menatapnya dengan tatapan jijik. Seandainya tidak ingat pelajaran tentang
moral, mungkin segelas teh tawar panas yang ada di hadapanku sudah aku siram ke
mukanya yang mesum.
“Kau bisa menceraikan suamimu dan kau bisa menikah
denganku. Memiliki anak dan membangun keluarga kecil. Aku punya rumah dan punya
tabungan yang cukup.”
Ini sudah keterlaluan! Selera makanku tiba-tiba
hilang. Aku berdiri, mengeluarkan uang dan membayar makan siangku. Meninggalkan
Ferdi dengan senyum mesumnya yang memanggil namaku.
Jadi aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan tekstil
itu. Demi cintaku pada Andi, apa pun aku lakukan.
***
Ini entah hari minggu yang keberapa yang telah aku
lewati sejak Andi sakit. Yang jelas tiba-tiba aku berpikir untuk melewatkan
waktu bersamanya. Maka aku dekati Andi yang terduduk di pojok ruangan dengan
kepala menunduk. Aku sentuh pundaknya. Dan tiba-tiba dia berpaling ke arahku
dengan tatapan tajamnya yang seperti belati.
Aku merasa agak ngeri dengan tatapannya.
“Ada apa?” tanyaku dengan perasaan was-was.
Dia menggeleng sebentar dan tanpa pernah aku duga dia
mencium bibirku dengan gerakan cepat dan kuat. Aku kaget. Dia bukan andi yang
aku kenal. Dia begitu kasar, dingin dan berangasan.
“Olivia, sudah lama aku menantimu.”
Aku terkesiap. Olivia? “Andi, ini istrimu, siapa
Olivia.”
“Ah Olivia! Jangan kau bersandiwara. Bukankah kau
telah berjanji untuk datang. Aku juga pernah berjanji untuk menceraikan Shinta
dan aku pasti akan menikahimu.”
Seakan ada ribuan belati yang menusuk hatiku sehingga
menjadi serpihan-serpihan kecil. Air mataku merebak. Benarlah Ani. Bisa jadi
Andi kena guna-guna dari seorang wanita bernama Olivia. Siapa pun wanita itu,
dia pernah menjalin cinta dengan Andi atau paling tidak memiliki perasaan cinta
kepada Andi. Apakah Andi mengkhiatani cintanya setelah pernikahannya? Ataukah
wanita itu hanya cinta monyet masa lalu?
Terkutuklah Andi dengan Skizofrenianya jika itu benar.
Dan aku takut itu sebuah kenyataan. Aku tidak berani membayangkan mama menang
dengan semua argumennya. Tapi aku tidak akan pernah berpisah dari Andi setelah
semuanya jelas. Tapi, oh Tuhan, sampai kapan aku bertahan.
Sementara mulut hitam Andi yang terpapar asap rokok
itu selalu mendaras nama Olivia.
“Olivia..”
“Olivia...”
Aku limbung dalam tangis dan derita.
Cerpen ini pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat
Cerpen ini pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat
No comments:
Post a Comment