23 Oct 2018

Skizofrenia



Sudah tiga tahun lamanya Andi tenggelam di dunia khayalnya yang aneh dan menakutkan, dan tiga tahun lamanya aku mencoba untuk bertahan di sampingnya. Telingaku sudah kebal dengan gunjingan tetangga dan kerabat terdekat. Telingaku sudah resisten dengan bujuk mereka supaya aku menggugat cerai dan meninggalkan Andi sendirian. Mereka bilang toh aku belum memiliki anak. Itu pun mereka bilang karena suamiku yang impoten.

Aku marah. Jelas aku bukan marah kepada Andi yang mengidap skizofrenia, atau marah kepada Tuhan yang menggariskan takdir hidupku. Tapi aku marah kepada mereka yang mencampuri urusan rumah tanggaku. Lebih prinsip lagi, mereka telah mencampuri urusan cintaku. Seakan-akan mereka yang paling tahu tentang hidupku dibanding mereka sendiri. Terutama keluarga besarku. Masa bodoh dengan segala gunjingan mereka. Toh sejak awal pernikahanku dengan Andi, mereka kurang setuju.

Bagiku, Andi adalah cinta pertama dan cinta terakhirku yang tidak pernah dan tidak bisa tergantikan. Ia yang telah mengisi hatiku yang kosong dan membuat hidupku tergenapi. Kami mencicipi kebahagiaan kami berdua selama dua tahun lamanya. Dihiasi dengan perasaan was-was dan harap-harap cemas terhadap kehadiran buah hati yang tak pernah menunjukan tanda-tanda kedatangannya di rahimku yang penuh kasih.

Andi dan aku selalu berikhtiar sebisa yang kami bisa, tapi semua itu sia-sia belaka. Dan musibah itu datang menghantamku seperti sebuah truk bermuatan berat menabrak jiwaku dengan tiba-tiba. Andi menampakan gejala aneh seperti seorang lelaki sakit jiwa. Berbicara sendiri dengan khayalan yang dia bangun, dan dia seringkali marah tak terkendali.

Tapi alhamdulillah, semarah-marahnya Andi, dia tidak pernah menyakitiku dan membuatku takut. Dia hanya merusak barang-barang yang ada di sekitar tubuhnya dan dia tidak pernah berani untuk menyentuh kulitku. Dia hanya menatap mataku dan mendengus kesal.

Aku tak mengerti. Karena beban yang kurasakan semakin berat, maka aku curhat kepada temanku, kepada psikiater, kepada dokter ahli jiwa dan kepada keluarga dekatku terutama mama. Dan ya, yang terakhir ini adalah kesalahan yang aku sesali. Seharunya aku tidak membicarakan hal ini kepada mama.

“Suamimu kena guna-guna oleh mantan pacarnya yang dia campakan.” Itu asumsi Ani, teman kerjaku di perusahaan tekstil milik peranakan cina.

“Andi pernah mengatakan kepadaku bahwa dia belum pernah memiliki wanita seistimewa aku.” Bantahku. Aku tidak setuju dengan asumsi Ani. Aku lebih percaya kepada Andi yang begitu mencintaiku dengan sangat.

“Tapi itu hanya asumsiku, kan.” Ani menegaskan.

“Suami kamu menderita skizofrenia.” Terang dokter Yuki, dokter keturunan Jepang yang aku kunjungi.

“Skizofrenia? Penyakit apa itu dok?” tanyaku dengan raut muka penuh rasa penasaran.

Dokter Yuki menghela nafas, “Skizofrenia adalah penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan, halusinasi dan rasa berkuasa. Tapi lebih dominan dari semau itu adalah halusinasi akut.”

Aku jadi merinding mendengarnya. “Apakah dia berbahaya, dok?”

“Apakah dia pernah menyakitimu ketika dia kambuh?”

“Tidak pernah.” Jawabku pendek. Rasa was-was dan khawatir masih mencengkeram hatiku.

“Yang saya tahu, seorang penderita skizofrenia umumnya tidak berbahaya. Yaah..walaupun memang sebagian ada yang berpotensi berbahaya.” Terang dokter Yuki.

Dan pada akhirnya aku lebih percaya keterangan yang diberikan dokter Yuki dibanding asumsi Ani. Itu lebih masuk akal, meskipun bisa saja kemungkinan Ani benar. Tapi demi menenangkan hatiku, aku berusaha percaya kepada diagnosis dokter Yuki.

Oleh karena itu, pasca konsultasi pertamaku, aku secara berkala mengunjungi dokter Yuki dengan membawa serta Andi.

Dan yang terakhir, kau bisa menebak bagaimana reaksi mama ketika aku menceritakan kondisi Andi.
“Mama juga bilang apa, Andi itu tidak akan pernah membahagiakan dirimu. Alih-alih membahagiakan istrinya, dia justru malah membuat repot kamu kan? Lagipula dia tidak jujur dengan penyakitnya.”

“Sebelum menikah denganku dia tidak menderita skizofrenia.”

“Terserahlah. Tapi yang pasti aku bisa menebak jika kamu menyesal menikah dengannya.”

“Tidak sama sekali. Perasaanku masih sama. Aku mencintainya.”

“Dasar kau kelas kepala. Saran mama, kau urus gugatan cerai dan tinggalkan dia. Cari lelaki lain yang lebih mapan dan waras. Setelah itu aku bisa menimang cucumu. Mau kapan kau membahagiakan mama.

Aku merapatkan bibir dan berusaha menahan amarahku. Ini sudah keterlaluan. Ya Tuhan, kenapa aku bisa dilahirkan dari seorang mama seperti ini? Tapi bagaimana pun juga, aku tidak akan bisa menggugat takdir tuhan, dan aku juga tidak mungkin membenci mama yang telah melahirkanku. Sejak saat itu, aku tak pernah membicarakan tentang Andi kepada Mama. Dan asal kau tahu, aku juga jarang mengunjungi mama. Hatiku masih sakit dengan lidah tajamnya.

***

Dengan skizofrenia akut yang dideritanya, Andi harus diberhentikan dari kerja. Dan pada akhirnya, akulah yang harus menjadi tulang punggung rumah tanggaku. Diam-diam aku bersyukur karena Tuhan belum memberi kami anak.

Aku melamar kerja di sebuah perusahaan tekstil milik peranakan cina dengan jam kerja yang lumayan panjang. Dimulai dari jam delapan pagi hingga jam dua siang jika aku kebagian shift siang, dan dari pukul empat hingga pukul sepuluh malam jika aku kebagian shift malam.

Di tempat kerja itulah petaka kedua datang, rekan kerja lelakiku datang dengan sorot mata yang penuh hasrat dan cinta.

“Aku bisa menikahimu jika kau mau.” Ujarnya untuk pertama kalinya ketika kami makan siang di kantin perusahaan.

“Maaf, tidakkah kau tahu bahwa aku memiliki suami.” Aku menatapnya dengan tatapan jijik. Seandainya tidak ingat pelajaran tentang moral, mungkin segelas teh tawar panas yang ada di hadapanku sudah aku siram ke mukanya yang mesum.

“Kau bisa menceraikan suamimu dan kau bisa menikah denganku. Memiliki anak dan membangun keluarga kecil. Aku punya rumah dan punya tabungan yang cukup.”

Ini sudah keterlaluan! Selera makanku tiba-tiba hilang. Aku berdiri, mengeluarkan uang dan membayar makan siangku. Meninggalkan Ferdi dengan senyum mesumnya yang memanggil namaku.

Jadi aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan tekstil itu. Demi cintaku pada Andi, apa pun aku lakukan.

***

Ini entah hari minggu yang keberapa yang telah aku lewati sejak Andi sakit. Yang jelas tiba-tiba aku berpikir untuk melewatkan waktu bersamanya. Maka aku dekati Andi yang terduduk di pojok ruangan dengan kepala menunduk. Aku sentuh pundaknya. Dan tiba-tiba dia berpaling ke arahku dengan tatapan tajamnya yang seperti belati.

Aku merasa agak ngeri dengan tatapannya.

“Ada apa?” tanyaku dengan perasaan was-was.

Dia menggeleng sebentar dan tanpa pernah aku duga dia mencium bibirku dengan gerakan cepat dan kuat. Aku kaget. Dia bukan andi yang aku kenal. Dia begitu kasar, dingin dan berangasan.

“Olivia, sudah lama aku menantimu.”

Aku terkesiap. Olivia? “Andi, ini istrimu, siapa Olivia.”

“Ah Olivia! Jangan kau bersandiwara. Bukankah kau telah berjanji untuk datang. Aku juga pernah berjanji untuk menceraikan Shinta dan aku pasti akan menikahimu.”

Seakan ada ribuan belati yang menusuk hatiku sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil. Air mataku merebak. Benarlah Ani. Bisa jadi Andi kena guna-guna dari seorang wanita bernama Olivia. Siapa pun wanita itu, dia pernah menjalin cinta dengan Andi atau paling tidak memiliki perasaan cinta kepada Andi. Apakah Andi mengkhiatani cintanya setelah pernikahannya? Ataukah wanita itu hanya cinta monyet masa lalu?

Terkutuklah Andi dengan Skizofrenianya jika itu benar. Dan aku takut itu sebuah kenyataan. Aku tidak berani membayangkan mama menang dengan semua argumennya. Tapi aku tidak akan pernah berpisah dari Andi setelah semuanya jelas. Tapi, oh Tuhan, sampai kapan aku bertahan.

Sementara mulut hitam Andi yang terpapar asap rokok itu selalu mendaras nama Olivia.

“Olivia..”

“Olivia...”

Aku limbung dalam tangis dan derita.

Cerpen ini pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat 
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment