Memaafkan adalah salah satu pintu kebahagiaan yang membuat
jiwa kita tenang dan hati kita bening. Memaafkan mereka yang telah menyakiti
kita mengindikasikan bahwa hati kita kaya dengan nilai iman dan moral. Karena
memaafkan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa besar, berhati
sabar dan iman yang tebal.
Marilah kita belajar memaafkan dari sosok Buya Hamka. Sosok
ulama legendaris bagi umat islam nusantara.
Pada masanya, Buya HAMKA pernah dipenjara oleh rezim yang
memimpin saat itu. Ketika itu partai islam satu-satunya, Masyumi atau Majelis
Syuro Muslimin Indonesia dibubarkan. Para pimpinannya ditangkap, dijebloskan ke
balik jeruji. Termasuk buya HAMKA dimana Masyumi adalah tempat bernaung beliau
dalam kancah politik.
Perbedaan pandangan politik Hamka yang dikenal Islamis,
dengan Soekarno yang seorang sekularis, kian menajam dengan penangkapan dan
pemenjaraan.
Tak ada sumpah serapah yang keluar dari seorang Buya Hamka
kepada sang pemimpin kala itu. Saat dijemput paksa untuk langsung dijebloskan
ke penjara tanpa proses pengadilan, Hamka hanya pasrah, bertawakkal kepada
Allah Azza wa Jalla.
Pun setelah bebas, tak ada dendam di sana. Tak ada rasa ingin
membalas, menuntut, atau melakukan tindakan membela diri. Padahal, ketika itu,
buku-buku karangan Buya dilarang beredar oleh pemerintah. Tak ada rasa kesal di
sana. Tak ada mengeluh, atau umpatan. Semua ia serahkan kepada Allah,
sebaik-baik penolong.
Justru, demikian besar keinginan Hamka untuk bersua Soekarno.
Mengucap syukur, karena lewat penjaralah, beliau bisa menyelesaikan tafsir Al
Azhar-nya. Karenanya, ia bisa begitu dekat dengan Allah. Karenanya, jalan
hidupnya begitu indah, walau penuh ragam ujian.
Tapi dimana? Di mana Soekarno sekarang? Ingin sekali Buya
HAMKA bertemu dengannya. Pertanyaannya terjawab, namun bukan jawaban biasa. Seorang
ajudan datang menemui Hamka dengan membawa secarik kertas. Sebuah pesan terakhir
dari Soekarno. Dipandangnya lamat-lamat kertas itu, lalu dibaca pelan-pelan.
Surat dari Soekarno itu berbunyi,
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi
imam shalat jenazahku.”
Kemudian sang ajudan berkata, “Bapak Soekarno telah wafat.
Sekarang jenazahnya telah dibawa.”
Dengan jiwa besarnya Buya Hamka menyanggupi permintaan itu.
Tidak ada dendam, yang ada adalah rasa rindu yang mendalam. Beliau kecup sang Proklamator, dengan doa, ia
mohonkan ampun atas dosa-dosa sang mantan penguasa, dosa orang yang memasukkannya
ke penjara.
Kini, di hadapannya, terbujur jasad Soekarno. Sungguh,
kematian itu begitu dekat. Dengan takbir, ia mulai memimpin shalat jenazah.
Untuk memenuhi keinginan terakhir Soekarno. Mungkin, ini isyarat permohonan
maaf Soekarno pada Hamka. Isak tangis haru, terdengar di sekeliling.
Usai Shalat, selesai berdoa, ada yang bertanya pada sang
Buya,”Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian lama
di penjara?”
Dengan lembut, sang Buya menjawab,” Hanya Allah yang mengetahui
seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang
muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik.”
“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti
saya. Dendam itu termasuk dosa.”
Sungguh kisah ini kisah yang mengharukan dan membuat gerimis
hati kita. Bagaimana mungkin seseorang bisa memaafkan orang yang telah
bertindak tidak adil kepadanya? Tapi begitulah, jika hati terlalu luas dengan
kasih sayang dan iman, maka yang ada hanyalah memaafkan. Tidak ada tempat untuk
mendemdam. Bahkan dendam tidak akan pernah tumbuh di hati yang subur dengan
keimanan.
Semoga kita bisa mengambil inspirasi dari kelapangan dada
buya HAMKA Rahimahullah.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment