28 Oct 2018

Belajar Memaafkan dari Buya Hamka



Memaafkan adalah salah satu pintu kebahagiaan yang membuat jiwa kita tenang dan hati kita bening. Memaafkan mereka yang telah menyakiti kita mengindikasikan bahwa hati kita kaya dengan nilai iman dan moral. Karena memaafkan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa besar, berhati sabar dan iman yang tebal.
Marilah kita belajar memaafkan dari sosok Buya Hamka. Sosok ulama legendaris bagi umat islam nusantara.
Pada masanya, Buya HAMKA pernah dipenjara oleh rezim yang memimpin saat itu. Ketika itu partai islam satu-satunya, Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia dibubarkan. Para pimpinannya ditangkap, dijebloskan ke balik jeruji. Termasuk buya HAMKA dimana Masyumi adalah tempat bernaung beliau dalam kancah politik.
Perbedaan pandangan politik Hamka yang dikenal Islamis, dengan Soekarno yang seorang sekularis, kian menajam dengan penangkapan dan pemenjaraan.
Tak ada sumpah serapah yang keluar dari seorang Buya Hamka kepada sang pemimpin kala itu. Saat dijemput paksa untuk langsung dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan, Hamka hanya pasrah, bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
Pun setelah bebas, tak ada dendam di sana. Tak ada rasa ingin membalas, menuntut, atau melakukan tindakan membela diri. Padahal, ketika itu, buku-buku karangan Buya dilarang beredar oleh pemerintah. Tak ada rasa kesal di sana. Tak ada mengeluh, atau umpatan. Semua ia serahkan kepada Allah, sebaik-baik penolong.
Justru, demikian besar keinginan Hamka untuk bersua Soekarno. Mengucap syukur, karena lewat penjaralah, beliau bisa menyelesaikan tafsir Al Azhar-nya. Karenanya, ia bisa begitu dekat dengan Allah. Karenanya, jalan hidupnya begitu indah, walau penuh ragam ujian.
Tapi dimana? Di mana Soekarno sekarang? Ingin sekali Buya HAMKA bertemu dengannya. Pertanyaannya terjawab, namun bukan jawaban biasa. Seorang ajudan datang menemui Hamka dengan membawa secarik kertas. Sebuah pesan terakhir dari Soekarno. Dipandangnya lamat-lamat kertas itu, lalu dibaca pelan-pelan.
Surat dari Soekarno itu berbunyi,
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Kemudian sang ajudan berkata, “Bapak Soekarno telah wafat. Sekarang jenazahnya telah dibawa.”
Dengan jiwa besarnya Buya Hamka menyanggupi permintaan itu. Tidak ada dendam, yang ada adalah rasa rindu yang mendalam.  Beliau kecup sang Proklamator, dengan doa, ia mohonkan ampun atas dosa-dosa sang mantan penguasa, dosa orang yang memasukkannya ke penjara.
Kini, di hadapannya, terbujur jasad Soekarno. Sungguh, kematian itu begitu dekat. Dengan takbir, ia mulai memimpin shalat jenazah. Untuk memenuhi keinginan terakhir Soekarno. Mungkin, ini isyarat permohonan maaf Soekarno pada Hamka. Isak tangis haru, terdengar di sekeliling.
Usai Shalat, selesai berdoa, ada yang bertanya pada sang Buya,”Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian lama di penjara?”
Dengan lembut, sang Buya menjawab,” Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik.”
“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa.”
Sungguh kisah ini kisah yang mengharukan dan membuat gerimis hati kita. Bagaimana mungkin seseorang bisa memaafkan orang yang telah bertindak tidak adil kepadanya? Tapi begitulah, jika hati terlalu luas dengan kasih sayang dan iman, maka yang ada hanyalah memaafkan. Tidak ada tempat untuk mendemdam. Bahkan dendam tidak akan pernah tumbuh di hati yang subur dengan keimanan.
Semoga kita bisa mengambil inspirasi dari kelapangan dada buya HAMKA Rahimahullah.
Semoga bermanfaat.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment