Betapa sering kita merasakan sakit, sedih, gelisah dan
kecewa. Kita juga sering merasakan marah atas setiap ketidak adilan yang kita
terima. Memang, semua itu adalah manusiawi. Manusia mana yang tidak marah
ketika kehormatannya dilanggar, manusia mana yang tidak murka ketika dia
diperlakukan dengan tidak adil oleh pihak lain. Semua respon itu adalah wajar
adanya. Justru tidak wajar ketika kita hanya diam ketika ketidakadilan datang
merajam.
Intinya bukan disitu. Inti pentingnya adalah terkadang setiap
hal yang tidak menyenangkan itu memiliki nilai positif yang bisa memberi berkah
tersendiri. Mungkin dengan semua ketidakadilan itu menuntut kita untuk lebih
pintar, untuk lebih dewasa dan untuk bisa memahami realita.
Marilah kita belajar dari kehidupan ulama legendaris
indonesia bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal
dengan HAMKA.
HAMKA pernah dipenjara oleh rezim Soekarno di pinggiran
Sukabumi. Beliau dipenjara dengan tuduhan makar dari rezim tiran. Tapi tuduhan
itu sama sekali tidak berdasar.
Tentu saja buya HAMKA merasa kecewa dengan semua tuduhan itu,
kita juga bisa menduga beliau marah ketika tuduhan tak berdasar itu dialamatkan
kepada beliau. Tapi justru di dalam penjaralah Buya HAMKA menorehkan karya yang
kelak bisa menerangi umat islam. Bahkan karyanya bisa kita nikmati hingga saat
ini. Ya, Tafsir al-Azhar yang ditulis Buya HAMKA bahkan dipelajari hingga saat
ini.
Ketika beliau di penjara, beliau menghabiskan waktu dua tahun
empat bulan untuk merampungkan menulis tafsir al-quran.
Hingga pada akhirnya, tambuk kekuasaan berganti dari masa
rezim lama menuju rezim baru. Hingga akhirnya buya HAMKA bisa menghirup udara
kebebasan.
Hal ini juga dilakukan oleh ulama besar, Syaikhul islam ibnu
Taimiyah rahimahullah di zamannya. Berbekal lembaran kertas dan pena, beliau
menghasilkan karya fenomenal yang berjilid-jilid jumlahnya. Orang-orang
berdatangan meminta fatwa. Dari balik jeruji besi yang lembab dan dingin itu,
Ibnu Taimiyah menjawab setiap tanya. Jadilah berjilid-jilid Majmu Fatawa.
Baginya, penjara adalah surga. Malam harinya diisi dengan berdiri, rukuk,
sujud. Sungguh, tak ada yang terpenjara di sana. Jiwanya merdeka. Tak ada yang
terkekang di sana. Tangannya lincah menulis pesan penuh makna.
Mungkin jika tidak dipenjara Buya HAMKA tidak akan pernah
menorehkan tinta untuk merenungi ayat-ayat al-quran yang tanpa batas maknanya.
Mungkin jika tidak dipenjara, Ibnu Taimiyah tidak akan menorehkan kitab-kitab
yang menjadi rujukan.
Tidak hanya Buya HAMKA dan Ibnu Taimiyah yang menjadikan
penjara sebagai ajang perenungan dan berkarya. Ternyata masih ada sosok lain
yang patut kita tiru. Masih di dalam penjara. Beliau adalah Sayyid Quthb.
Rezim tiran Mesir di masa itu tidak bisa membungkam
pikirannya. Meskipun Sayid Quthb dipenjara, tapi beliau mampu menorehkan
pikirannya lewat kertas dan pena. Hingga lahirlah karya besar bernama Tafsir
fii Dzlilalil Quran.
Dari Buya HAMKA, Ibnu Taimiyah dan Sayyid Quthb, kita bisa
mengambil pelajaran yang berharga.
Pertama, hendaknya setiap ujian dan bahkan ketidakadilan
tidak membuat kita patah semangat dan memiliki optimisme.
Kedua, hendaknya kita selalu berkarya dan bermanfaat untuk
sesama, dimana pun kita berada.
Ketiga, keterbatasan bukan alasan untuk tidak bertindak.
Bahkan keterbatasan itulah yang menjadi pelecut untuk berbuat lebih banyak.
Semoga tiga tokoh luar biasa tersebut bisa menginspirasi
kita.
No comments:
Post a Comment