Dikisahkan ada tiga orang pria berbicara tentang Amal Ibadah mereka
dan kesuksesan yang didapatnya.
Pria yang pertama berkata kepada kedua temannya, “Alhamdulillah,
sejak sering Shalat Dhuha rezeki menjadi lancar dan bisnis pun sukses. Sebentar lagi anak saya lulus SMA rencananya
akan sekolah ke luar negeri.
Kemudian pria kedua menimpali, “Masya Allah. Saya pun
merasakan hal yang sama. Sungguh nikmat tak terkira. Sejak rajin Puasa dan
Bersedekah Rezeki bagaikan sungai mengalir tidak ada putus-putusnya. Anak baru
selesai kuliah diluar negeri dan jadi staff khusus menteri.
Kemudian kedua sahabat itu menatap sahabat mereka yang ketiga
dan bertanya, “Bagaimana dengan dirimu?”
Si pria yang ketiga menjawab, “Saya mungkin tidak sehebat
kalian. Jangankan berbicara tentang kesuksesan, bahkan saya tidak tahu ibadah
yang mana yang telah Allah subhanahu wata'ala terima dari ibadah yang saya
kerjakan. Saya hanya tahu bahwa ibadah saya diterima dan saya sukses setelah
saya meninggal nanti. Saya merasa belum bisa menceritakan ibadah yang saya
lalukan dan balasan yang Allah berikan kepada kita.”
Uraian ini tidak bermaksud mengecilkan pengaruh ibadah di
dunia. Kisah ini juga bukan bermaksud menyangkal adanya keutamaan-keutamaan
dari ibadah yang kita lakukan.
Kisah ilustratif ini hanya ingin mengajak kita semua untuk
intropeksi diri, sejauh mana keikhlasan kita dalam beribadah kepada Allah.
Sejauh mana kemurnian niat kita.
Memang, tidak ada yang salah ketika kita berniat ibadah
dengan mengharap surga, karena Allah subhanahu wata'ala sendiri sudah
mengiming-imingi kita dengan surga-Nya. Dan tidak ada salahnya ketika kita
merasa bahagia ketika Allah memberi kita karunia. Memang bisa saja Allah
memberikan beragam kenikmatan karena ibadah-ibadah kita. Bisa saja harta
berlimpah karena sedekah dan shalat duha.
Hanya saja, sungguh tidak elok ketika kita shalat duha karena
ingin kaya, sedekah karena ingin kaya. Sehingga ketika kekayaan itu tidak juga
datang kita merasa kecewa. Kita mengukur kekayaan menurut matematika kita.
Jangan bersandar pada Amal. Sebab, sikap bersandar pada amal
ini bisa melahirkan Kebanggaan sekaligus kekecewaan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagaimana disebutkan di
dalam kitab Shahihain, bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh Amal seseorang tidak akan memasukannya ke dalam Surga."
Mereka bertanya“Tidak pula engkau ya Rasulullah?."
Beliau menjawab: "Tidak pula saya. Hanya saja Allah
Meliputiku dengan Karunia dan Rahmat-Nya. Karenanya Berlakulah Benar ketika
beramal.”
Disebutkan di dalam hadits yang shahih bahwa seseorang tidak
akan Masuk Surga kecuali dengan Rahmat Alloh. Dan di antara Rahmat-Nya adalah
Dia Memberikan Taufiq untuk Beramal dan hidayah untuk selalu taat kepada-Nya.
Karenanya, kita wajib Bersyukur kepada Allah dan Merendahkan
diri kepada-Nya. Tidak layak seorang hamba bersandar kepada Amalnya dan bangga
dengan amal-amalnya.
Akhir kata, semoga menginspirasi.
Wallahu a’lam


No comments:
Post a Comment