Sumber dari ketidakbahagiaan adalah selalu membanding-bandingkan
kehidupan kita dengan kehidupan orang lain yang statusnya lebih tinggi dari
kita. Padahal boleh jadi orang yang kita iri kepadanya, juga sama-sama iri
dengan kehidupan kita.
Sebagai analogi, mari kita simak satu kisah tentang pentingnya
mensyukuri apa yang ada pada diri kita.
Dikisahkan ada seorang Petani dengan Istrinya yang sedang
bergandengan tangan menyusuri pinggir jalan sepulang dari sawah sambil diguyur
oleh air hujan.
Tiba - tiba, lewatlah sebuah motor di depan mereka.
Berkatalah Sang Petani itu kepada Istrinya, "Lihatlah Bu, betapa
bahagianya suami-istri yang sedang naik motor itu, meskipun mereka juga
kehujanan, tapi mereka bisa cepat sampai di rumah, tidak seperti nasib kita
yang harus lelah berjalan untuk sampai ke rumah.”
Sementara itu, si Pengendara sepeda motor dengan Istrinya
yang sedang berboncengan di bawah derasnya air hujan, melihat sebuah mobil
pick-up lewat di depan mereka.
Pengendara motor itu bergumam pada Istrinya, ”Lihatlah Bu,
betapa bahagianya orang yang naik mobil itu. Mereka tidak perlu kehujanan
seperti kita.”
Namun, di dalam sebuah mobil pick-up yang dikendarai oleh
sepasang suami-istri tersebut, telah terjadi perbincangan, saat sebuah mobil
sedan Mercy berpapasan dan lewat di hadapan mereka, ”Lihatlah Bu, betapa
bahagianya orang yang naik mobil bagus itu. Mobil itu pastinya nyaman untuk
dikendarai, tidak seperti mobil kita yang sering mogok terus.”
Ketika pria kaya raya yang mengendarai mobil sedan mercy itu
menyetir mobilnya, dia melihat sepasang suami istri yang sedang berjalan
bergandengan tangan di bawah guyuran hujan. Mereka adalah suami istri yang
telah kita sebutkan di awal kisah tadi.
Saat itu juga Pria kaya itu menggerutu dalam hatinya, ”Betapa
bahagianya sepasang suami-istri itu. Mereka dengan mesranya berjalan
bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini. Sementara
saya dan Istri saya, tidak pernah punya waktu untuk berduaan karena kesibukan
kami masing-masing.”
Ada hikmah yang bisa kita ambil dari kisah ilustratif ini.
Intinya, kebahagiaan tidak akan pernah kita miliki jika kita hanya melihat
kebahagiaan milik orang lain. Kebahagiaan tidak akan singgah ketika kita selalu
membandingkan diri sendiri dengan kenikmatan orang lain. Sebagaimana kata
pepatah, rumput tetangga lebih hijauh.
Bahagia itu perkara hati yang seharusnya tidak diukur oleh
materi. Kebahagiaan itu juga tidak bersyarat. Sayangnya, seringkali kita selalu
membuat syarat-syarat tertentu untuk bisa menjadi seorang yang bahagia. Banyak
keluhan yang kita lontarkan sebagai syarat.
“Aku akan bahagia jika aku memiliki rumah sendiri daripada
rumah kontrakan yang kumuh.”
“Aku akan bahagia jika aku memiliki anak yang melengkapi
keluarga kami yang hampa bertahun-tahun lamanya.”
“Aku akan bahagia jika memiliki istri yang cantik dan
keluarga yang lengkap.”
“Aku akan bahagia jika aku memiliki banyak tabungan, uang
yang banyak dan kendaraan yang bagus.”
“Aku akan bahagia jika aku memiliki pekerjaan yang bagus dan
sesuai dengan harapan.”
Dan banyak syarat-syarat lainnya yang kita ungkapkan.
Syarat-syarat itu membuat kita terbelenggu sehingga kita tidak akan pernah
merasakan kebahagiaan jika semua syarat itu belum tercapai.
Jika kita mengeluh karena hanya bisa mengontrak rumah,
pikirkan bahwa banyak orang yang tempat bernaung pun tidak punya selain emperan
toko. Jika kita mengeluh belum dikaruniai anak, pikirkan tentang mereka yang
bertahun-tahun belum menemukan jodohnya. Jika kita mengeluh dengan pekerjaan
dan bos dikantor, pikirkan tentang mereka yang pengangguran..



No comments:
Post a Comment