Saat ini
bermunculan berbagai kajian keilmuwan. Dan hal ini juga diimbangi oleh semangat
menuntut ilmu yang menggebu-gebu dari kalangan remaja muslim. Tapi terkadang,
semangat menuntut ilmu ini tidak diimbangi dengan kerendahan hati. Alih-alih
rendah hati, justru semakin banyak mengikuti kajian, rasa tinggi hati semakin
menguasai hatinya. Pada ujungnya, dia menjadi komentator terhadap orang-orang
sekitar yang dia anggap masih bodoh dan awam terhadap syariat.
Misal, ada
perempuan yang berjilbab lebar atau bahkan bercadar yang nyinyir terhadap
perempuan yang masih memakai jilbab pendek atau muslimah yang belum berhijab. Walau saya yakin sangat-sangat
sedikit orang dengan tipe seperti ini.
Orang-orang ini
juga nyinyir terhadap anggota keluarga, kerabat, teman dan orang-orang sekitar
yang dianggap belum mengenal sunnah dan masih bergelimang bid’ah.
Baru belajar tapi
sombongnya minta ampun, merasa diri paling pintar sehingga menganggap remeh
orang lain, hatta orang yang lebih tua dibanding dirinya. Dia meremehkan dan menganggap
bahwa mereka semua salah tanpa pernah berdialog. Dia tidak memiliki kerendahan
hati di tengah semangatnya yang memuncak dalam thalabul ilmi.
Kita telah
kehilangan jalan bernama kerendahan hati dan kita lebih memilih jalan bernama
tinggi hati. Dan ini adalah jalan orang-orang kafir. Karena kesombongan selalu
lekat dengan orang-orang kafir yang menolak kebenaran.
Di dalam hatinya
dia berkata, “Aku lebih tahu dibanding kamu. Aku belajar dari buku ini dan itu,
dan kau hanya belajar dari buku semacam itu. Aku tahu buku semacam itu banyak
syubhatnya.”
Padahal seharusnya,
semakin berilmu kita, maka hendaknya semakin rendah hati terhadap orang lain.
Ilmu tidak menjadi sebab kesombongan datang, karena apalah arti ilmu tersebut
jika kesombongan menodainya. Itu bukan ilmu, tapi kepintaran dan wawasan yang
sia-sia. Sungguh sayang seribu sayang.
Padahal seharusnya,
semakin berilmu kita, maka semakin leghowo ketika melihat orang lain yang
berbeda pandangan. Selama pandangan tersebut memiliki pijakan dalil yang jelas
dan tidak keluar dari keidah kebenaran yang telah disepakati. Semakin paham
terhadap ilmu, maka hendaknya semakin terbuka untuk berdialog dan saling
menerima. Bukan semakin jauh dan semakin gampang menghakimi karena ego dan rasa
iri dengki.
Terkadang, mereka
begitu fanatik terhadap kelompoknya, syaikh, kitab yang dipelajari dan
teman-teman yang satu jamaah dengannya. Mereka tidak akan pernah menimba ilmu
dari ustadz atau syaikh di luar kelompoknya. Hatta, syaikhnya sendiri
mengeluarkan rekomendasi ustadz atau syaikh yang harus diambil ilmunya, dan
mengeluarkan list ustadz-ustadz yang harus dijauhi. Masya Allah! Mereka juga
tidak akan pernah membaca karya-karya ustadz atau ulama di luar kelompoknya
dengan alasan untuk menghindari syubhat yang ada di dalamnya.
Anak-anak muda yang
sedang semangat dalam mengamalkan sunnah itu baru beberapa bulan membaca
terjemahan dari shahih bukhori dan muslim, kemudian mereka dengan mulutnya yang
pedas menghakimi orang-orang yang tidak sepemahaman dengannya dengan sebutan-sebutan
yang tidak layak. “Ini bertentangan dengan sunnah!” tanpa pernah membuka
kesempatan dialog yang sehat.
kemudian ada yang
mengatakan kepadanya, “kamu tidak memahami bahasa arab dan tafsir. Kamu hanya
membacanya secara cepat dari buku-buku terjemahan! Beraninya kamu.”
Kemudian ada
diantaranya yang hobi mencari dalil-dalil dengan berselancar di internet.
Mereka googling satu dalil atau hadits untuk dijadikan senjata untuk menyerang
orang-orang yang tidak sepaham dengan dia. Saya tidak menyalahkan orang-orang
yang mencari pengetahuan agama dari internet atau google. Saya hanya
menyalahkan mereka yang begitu gampang menghakimi orang lain hanya dengan
bermodalkan satu klik di komputer.
Kita tidak bisa
mentolerir perbedaan yang kita temukan antara sesama thalabul ilmi atau lebih
umum antara sesama ahlus sunnah wal jama’ah. Kita tidak merasa siap untuk
menghadapi khilafiyah dan kita berpikir bahwa orang-orang harus sama seperti
kita. Mereka harus berpikir seperti kita dan harus memiliki mazhab yang sama dengan
kita.
Satu catatan
penting yang harus kita camkan, jangan pernah membicarakan atau berbicara
tentang pendapat ulama atau ustadz lain. Jangan meremehkan pendapat atau karya
mereka. Kita berbicara sebatas pandangan kita yang terbatas. Mereka telah
belajar belasan atau mungkin puluhan tahun. Memiliki banyak kontribusi untuk
ummat, sementara kita apa yang telah kita berikan untuk umat? Bahkan diantara
mereka ada yang mati di penjara dan di tiang gantungan karena melawan tirani
kafir. Sementara kita yang baru lahir kemarin sore begitu gampang mereka
orang-orang sesat.
Jika kita mengaku
orang yang berpendidikan dan berilmu, maka doakanlah mereka tersebab kebaikan
yang telah mereka berikan untuk umat islam. Jika kita tidak setuju dengan
pendapat mereka, maka tak perlu mencela mereka secara berlebihan. Seakan-akan
keburukan yang secuil bisa menenggelamkan berjuta kebaikan yang ada pada
mereka.
Kita tidak tahu
bagaimana kedudukan mereka di sisi Allah. Kita tidak tahu semulia apa mereka di
hadapan Allah. Betapa beraninya kita mengibah dan meremehkan mereka. Padahal
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kita untuk rendah hati terhadap sesama
orang beriman. Apa lagi mereka yang sudah mengorbankan nyawa mereka di jalan
islam. Mereka telah mendatangi panggilan Rabb-nya dengan meninggalkan sejarah,
sementara kita mengomentarinya dengan penuh kenyinyiran.
Mungkin suatu saat,
ketika kamu sudah tidak lagi muda menyadari kebodohan dan sikap arogan ini.
Mungkin kamu berpikir, ‘betapa konyolnya masa mudaku dulu.’
Oleh karena itu,
sebelum benar-benar itu terjadi, mulailah untuk bersikap bijak dan tidak
gampang menghakimi orang lain. Teruslah belajar dan teruslah gali khazanah
islam dari al-quran dan sunnah, dari syaikh dan ustadz-ustadz yang mumpuni,
dari kelompok mana pun mereka. Dan berusahalah untuk rendah hati.
Semoga Allah
memberkahi jalan thalabul ilmi yang kita tempuh. Amiin.
No comments:
Post a Comment