Kang Batara mengajak Husni dan Dandi ke bukit
Cilutung untuk mencari kayu bakar. Mereka mencari kayu bakar setiap hari ahad
ke bukit cilutung. Banyak semak belukar pepohonan di bukit tersebut. Selain itu
juga banyak tumbuh liar pohon jambu batu sehingga mereka bisa sekaligus mencari
buah jambu yang sudah masak.
Seperti biasa, Kang Batara selalu membawa
ketapelnya. Ketapel yang terbuat dari kayu bercabang dan karet hitam bekas ban
dalam sepeda motor. Ia biasa menggunakan ketapel itu untuk membidik tupai atau
burung pipit di pohon.
Setelah selesai mengumpulkan kayu bakar dan mengikatnya
dengan seutas tali, mereka bertiga berkumpul sembari menyantap makan siang yang
dibawa dari rumah.
“Mau coba sambal buatan emakku?”tawar Nandi.
Tangannya mengacungkan plastik yang berisi sambal terasi.
“Tentu dong.”jawab Husni. Sementara tangannya
sibuk membuka bungkusan nasi dan lauk berupa sarden dan acar mentimun.
Kang Batara mengeluarkan kerupuk udang dan
memberikannya dengan rata kepada Husni dan Nandi.”Setelah ini kita langsung
mencari jambu batu di atas bukit ya.”
“Hayu!”seru Husni semangat.
Setelah menghabiskan bekal makan siang mereka,
mereka pun segera menaiki jalan setapak menuju puncak bukit. Banyak terdapat
pohon jambu batu di atas sana.
“Hei, lihat itu!”tiba-tiba Dandi berteriak
keras dan menunjuk ke arah pinggir jalan setapak.”Ada sesuatu di sana!”
Kang Batara dan Husni menghentikan langkah
mereka dan menghampiri Dandi yang berjalan paling belakang.
“Ada apa?”tanya Kang Batara. Matanya mengikuti
arah telunjuk Dandi. Dan dia melihat ada sesuatu yang aneh dari gundukan rumpun
ilalang kering yang menggumpal.
“Itu sarang celeng.”jawab Kang Batara.
Husni dan Dandi saling berpandangan.
“Aku paling benci dengan celeng. Binantang itu
suka merusak kebun jagung milik bapakku di bukit kucai.”ujar Nandi dengan nada
penuh amarah.
“Iya, aku juga paling tidak suka dengan
binatang kurang ajar ini. Binatang ini suka merusak dan memakan kebun singkong
di dekat rumah. Ayo kita rusak sarangnya.”
Belum sempat Kang Batara mencegah, Husni dan
Nandi sudah berlari ke arah sarang
celeng tersebut. Sarang celeng tersebut sebesar nampah yang berdiameter dua
meter. Terbuat dari ilalang yang ditumpuk secara acak. Di dalamnya ada tiga
ekor anak celeng berwarna hitam kecoklatan. Bulu-bulu di tubuh bayi celeng itu
belum tumbuh sebagaimana celeng yang sudah dewasa.
Husni memandang sarang itu dengan jijik.
Nandi meggedikkan bahunya. “ aku tidak yakin
bisa merusaknya. Aku merasa kasihan dengan ketiga bayi celeng itu.”
“Nandi, kamu rela kebun jagung milik orang
tuamu dirusak celeng-celeng hutan? Ketiga bayi celeng itu juga tentunya
beberapa bulan ke depan akan menjadi hama di kebun kedua orang tuamu.
Rasa kasihan seperti menguap dari wajah
Nandi.”Ayo kita rusak sarangnya.”
“Apakah kita hanya merusak sarangnya atau
membunuh bayi celengnya juga?” ujar Husni bimbang.
Kang Batara memegang bahu Husni dan
Nandi.”Biarkan saja sarang celeng itu, bagaimana nanti kalau induknya marah dan
mengejar kita?”
“Tidak ada induknya di sini. Induknya sedang mencari
makan.”jawab Nandi.
“Ayo, kita rusak sarangnya.”ujar Husni.
Tangannya meraih satu ranting yang berukuran segenggamann tangan dan mulai
mengobrak-abrik gundukan ilalang.
Nandi tak mau ketinggalan. Dia menyingkirkan
ketiga bayi celeng itu dengan sebatang ranting berukuran sama ke pinggir sarang
tersebut. Ketiga bayi celeng itu menguik-nguik lemah.Bagaimana pun juga dia
tidak tega membunuhnya.
Tibat-tiba mereka mendengar sebuah suara.
Seperti suara dengkuran dari arah belakang. Kang Batara yang pertama kali
membalikkan badannya merasa terkejut dan berteriak.”INDUK CELENG DATANG!”
Husni dan Nandi terperanjat. Mereka berdua
menghentikan aksi mereka. Lutut mereka gemetaran. Mereka tahu, celeng adalah
binatang ganas yang mematikan.
Mereka melihat induk celeng itu seperti mengambil ancang-ancang untuk menyerang
mereka bertiga yang berani mengusik sarangnya dan mengganggu ketiga bayinya.
Taringnya yang menyembul dari bibir bawahnya
membuat nyali mereka bertiga ciut.
“LARI!” Seru Kang Batara sembari membalikan
tubuhnya dan berlari menyusuri jalan setapak disusul Husni dan Nandi.
Nandi menoleh ke belakang dan dia melihat
induk celeng itu mengejar mereka.
“Celeng itu mengejar kita. Larinya cepat
sekali!”Seru Husni yang ikut menoleh ke belakang.
“Di depan kita berbelok ke arah kanan.celeng
tidak bisa berbelok sekaligus.”seru Kang batara dengan nafas yang
ngos-ngosan.”Kita harus sering berbelok supaya memperlambat larinya.”
Beberapa meter kemudian Kang batara diikuti
Nandi dan Husni berbelok dari jalan setapak. Benar saja, induk celeng itu tetap
lurus walau tahu ketiga manusia yang dikejarnya berbelok.
Mereka bertiga segera berlari secepat yang
mereka bisa sebelum celeng itu segera berbalik dan kembali mengejar.
Celeng itu kembali mengejar dan tertinggal
belasan meter di belakang mereka.
“Kita tidak akan kuat kejar-kejaran terlalu
lama. Energiku habis.”Seru Nandi.
“Oke, kalau begitu kita mencari perlindungan
dengan memanjat pohon. Tapi setelah kita mengecoh babi itu lagi.” Saran Kang
Batara.
Husni dan Nandi mengangguk setuju. Bebetapa
meter kemudian mereka kembali berbelok arah sehingga induk celeng tersebut
kehilangan kesempatan untuk yang kedua kalinya. Berlari lurus beberapa meter
sebelum berbalik mengejar Kang Batara, Husni dan Nandi yang berbelok secara
mendadak.
“Di depan ada pohon cengkeh yang lumayan
tinggi. Kalian bisa memanjat kan?”
Husni dan Nandi menganguk.
Dengan terburu-buru mereka segera memanjat
pohon cengkeh. Husni yang memanjat pertama kali.
“Hati-hati, jangan sampai terpeleset.”Kang
Batara memperingatkan.
Nandi kemudian menyusul memanjat dan duduk di
dahan yang kedua dari tempat Husni berada. Dann terakhir Kang Batara mulai
memanjat tepat ketika induk Celeng itu sampai di pohon cengkeh dimana mereka
berada.
Induk celeng itu menggerung dan menguik-nguik
marah. Dia berputar-putar di bawah pohon cengkeh.
Mereka bertiga menghela nafas lega. Kemudian
terdiam beberapa lama untuk mengatur nafas. Dada mereka terasa sesak karena
lari dan rasa gugup dan takut yang bercampur menjadi satu.
“Semoga celeng itu bosan berputar-putar terus
dibawah. Tidak mungkin dia menunggui
kita di bawah.”ujar Husni.
“Kita lihat saja.”timpal Nandi.
***
Sudah hampir tiga puluh menit mereka menunggu,
tapi induk celeng itu belum juga pergi. Husni dan Nandi sudah mulai tanpak
gelisah. Sementara Kang Batara mulai bosan dan menatap celeng itu dengan sebal.
“Bisa-bisa celeng itu terus menunggui kita
sampai malam.”ujar Dandi.
“Coba kita pikirkan bagaimana caranya supaya
celeng itu pergi.”kata Kang Batara.
Tiba-tiba Husni mendapaatkan ide.Husni merapa
saku celananya. Kalau tidak salah, dia menyimpan belasan kelereng di saku
celananya. Dia lupa menyimpannya di rumah ketika hendak mencari kayu bakar
tadi.
Hup! Dia menemukan kedua sakunya berat. Ya,
kelereng-kelereng itu masih ada di dalam saku.”Aku punya ide!”Serunya dengan
girang.
“Apa?” tanya Kang batara dan Nandi hampir
bersamaan. Seakan tak sabar untuk memecahkan rasa bosan.
“Kang Batara bawa ketapel kan?” tanya Husni.
Kang Batara mengangguk dan meraba lehernya. Ketapel
itu masih melingkat di lehernya.”Kau mau mennyuruhku membidik celeng itu pakai
buah cengkeh? Mustahil!”
Husni mengangkat alisnya.”Aku tidak bodoh
kang.”ujar Husni sembari memasukan tangan kanananya ke dalam saku celananya dan
mengeluarkan beberapa biji kelereng.”Ini!”
“Waah! Ide yang sangat bagus!”Seru Nandi
girang.
“Ayo bidik kang. Kang Batara kan pintar
membidik. Jangan biarkan satu kelereng pun mubazir. Jangan sampai melesat.”
Kang Batara tersenyum senang mendapat pujian
Nandi. Husni menyodorkan biji kelereng dari dahan atas. Kang Batara menerimanya
dan menyimpan satu biji kelereng di bagian pelontar. Tangan kirinya memegang
pelontar yang sudah terdapat satu biji kelereng di sana dan menariknya hingga
karet ketapel menegang. Sementara tangan kanannya tertekuk dan memegang gagang
ketapel. Mata kanannya memicing. Mengambil sudut bidikan yang pas.
“Bidik bagian kepalanya kang!”Saran Husni.
Kang Batara tidak menyahut. Tangannya semakin
merenggang. Dan beberapa saat kemudian,
Wush!!
Biji kelereng terlepas dari pelontar diiringi
dengan suara nguikan celeng yang kesakitan. Nandi dan Husni bersorak gembira.
Celeng itu berputar-putar tidak beraturan.
Tanpaknya dia merasa pusing dengan tembakan kelereng tepat di atas matanya.
Husni kembali merogoh celananya dan
menyerahkan biji kelereng yang kedua.
Kang batara kembali membidik dengan ketelitian yang diperhitungkan.
Suara kelereng yang menumbuk tulang kepala
celeng itu terdengar begitu jelas. Disertai nguikan dan gerungan yang semakin
keras.
Tanpa menunggu lama, Husni kembali merogoh
saku celananya. Kali ini menyerahkan semua biji kelereng yang tersisa.
Kang batara sudah bersiap-siap membidik yang
ketiga kalinya sebelum mereka menyadari celeng itu berhenti menguik dan berlari
meninggalkan mereka.
Nandi dan Husni kembali bersorak. Kang Batara
menghela nafas lega.
“Ayo kita segera turun.”ujar Nandi. Tangannya
sudah memegang dahan yang kedua dari bawahnya dan kakinya berpijak pada pokok
pohon.
“Tunggu sampai celeng itu benar-benar jauh
dari kita. Aku khawatir dia kembali lagi.” Saran Kang batara.
Mereka menunggu kurang lebih sepuluh menit
lamanya. Kang batara turun dari pohon cengkeh diikuti Husni dan Nandi.
“Kita harus mengambil jalan memutar. Aku tidak
berani melewati sarang celeng itu lagi.”kata Kang Batara. Kemudian dia menatap
Husni.”Terimakasih atas idenya. Biji kelerengmu luar biasa.
“Kang Batara yang luar biasa. Tanpa ketapel
dan bidikan sang ahli ketapel, mustahil celeng itu pergi.” Jawab Husni.
“Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang
telah menyelamatkan kita dari celeng itu.”timpal Dandi dengan senyum penuh
arti.
“Tuh dengerin apa kata Nandi.”kata Kang
Batara.
Husni tersenyum simpul.”Alhamdulillah...”
Mereka bertiga berjalan beriringan.
Melanjutkan rencana mereka untuk mencari jambu, setelah itu kembali pulang.
No comments:
Post a Comment