Pertama kali aku mengenal majalah mangle
adalah saat duduk di kelas 4 SD. Saat itu saya sering menemukan dongeng atau
cerpen anak bahasa sunda di pelajaran muatan lokal [mulok] bahasa sunda. Dan cerita
atau dongeng tersebut disadur dari majalah mangle. Majalah mangle biasanya
menyisipkan ‘Mangle Alit’ yakni rubrik khusus untuk anak-anak.
Ketika aku merantau ke kota tasikmalaya, saya
baru bisa mengenal majalah Mange benar-benar dalam bentuknya yang sesungguhnya.
Selain rutin berlangganan dari si tukang koran, aku juga rajin mengoleksi
majalah mangle edisi lama dengan membelinya dari kios penjual majalah dan buku
loak.
Majalah mangle terbit sejak tahun 50-an dan
tetap bertahan sampai sekarang dalam versi cetak.
Belakangan mangle juga
merilis majalah mangle-online. Hanya saja ketika aku cek akhir-akhir ini, tidak
menemukanya sama sekali. Tanpaknya mangle-online sudah tidak ada. Tidak tahu
bagaimana nasibnya dengan versi cetak. Karena sudah dua tahun lamanya tidak
berlangganan semenjak aku pindah ke bogor.
Mangle adalah majalah berbahasa sunda yang
pertama kali terbit di bogor. Kemudian kantornya pindah ke bandung.
Mangle sendiri
artinya adalah bunga yang harum. Dalam perkembangannya Mangle diartikan sebagai
hiasan sanggul wanita pada saat upacara pernikahan.
Mangle hadir
tak lepas dari kepedulian para pendirinya terhadap kebudayaan dan bahasa sunda
yang telah mulai pudar. Sementara
misinya adalah menjaga, memelihara basa, sastra dan filosofi Sunda.
Majalah
Mangle pada awalnya hanya terbit bulanan dengan isi berjumlah 20 halaman dan
tiras 500 eksemplar. Edisi mangle di awal-awal
tampak tidak bermutu. Ilustrasi foto tidak ada kaitannya dengan berita
karena hanya foto-foto yang ada dipercetakan yang dimuat. Selain itu, naskahnya
pun, naskah seadanya. Namun seiring berjalannya waktu, majalah Mangle terus
berbenah.
Majalah
mangle pernah mencapai titik kejayaan di era tahun 1960-an, yang mana pernah
mencapai tiras sebanyak 90 ribu, kini mungkin hanya tinggal kenangan. Setelah
Indonesia dihantam krisis moneter, tiras Mangle perlahan tapi pasti mengalami
terjun bebas. Oplah Mangle kini tinggal 4000 ribu eksemplar saja.
Sebetulnya,
Mangle tidaklah sendirian dalam mengusung pelestarian budaya Sunda khususnya
bahasa Sunsa. Mediamassa lain yang bergerak di ranah yang sama dengan Mangle
adalah Kujang, Sunda Midang, Cupumanik, Galura, Giwangkara. Namun, dari
media-media tersebut, hanya Mangle yang masih bertahan.
Mangle jadul
Majalah mangle membuat berbagai artikel dan
cerita menarik berbahasa sunda. Selain memberi laporan khusus seputar jawa
barat, mangle juga menghadirkan ruang yang luas untuk sastra sunda. Aku sangat
menyukai rubrik carpon [carita pondok] atau cerpen, carbag [carita tilu bagian]
atau cerita tiga bagian. Kemudian ada carita nyambung atau cerita bersambung,
carita misteri dan sajak sunda.
Selain itu, mangle juga menyediakan ruang
untuk humor sunda dengan 3 halaman penuh. Bahkan kadang lebih. Namanya rubrik
‘barakatak’ menyajikan humor-humor sunda yang menghibur dan membuat kita
tersenyum. Dari senyum simpul hingga tertawa terbahak-bahak saking lucunya. Aku
paling suka rubrik yang satu ini.
Begitulah, majalah mangle mendapat tempat
tersendiri dalam kenanganku. Bahkan, aku pun masih menyimpan koleksi majalah
tersebut di rumah. Ah, semoga saja majalah mangle bisa tetap bertahan. Paling
tidak, saya masih tetap bisa mengakses majalah mangle versi online.
No comments:
Post a Comment