17 Jun 2017

Majalah Sunda Mangle; Menjaga Bahasa dan Sastra Sunda

Pertama kali aku mengenal majalah mangle adalah saat duduk di kelas 4 SD. Saat itu saya sering menemukan dongeng atau cerpen anak bahasa sunda di pelajaran muatan lokal [mulok] bahasa sunda. Dan cerita atau dongeng tersebut disadur dari majalah mangle. Majalah mangle biasanya menyisipkan ‘Mangle Alit’ yakni rubrik khusus untuk anak-anak.

Ketika aku merantau ke kota tasikmalaya, saya baru bisa mengenal majalah Mange benar-benar dalam bentuknya yang sesungguhnya. Selain rutin berlangganan dari si tukang koran, aku juga rajin mengoleksi majalah mangle edisi lama dengan membelinya dari kios penjual majalah dan buku loak.
Majalah mangle terbit sejak tahun 50-an dan tetap bertahan sampai sekarang dalam versi cetak. 

Belakangan mangle juga merilis majalah mangle-online. Hanya saja ketika aku cek akhir-akhir ini, tidak menemukanya sama sekali. Tanpaknya mangle-online sudah tidak ada. Tidak tahu bagaimana nasibnya dengan versi cetak. Karena sudah dua tahun lamanya tidak berlangganan semenjak aku pindah ke bogor.

Mangle adalah majalah berbahasa sunda yang pertama kali terbit di bogor. Kemudian kantornya pindah ke bandung. 


Mangle sendiri artinya adalah bunga yang harum. Dalam perkembangannya Mangle diartikan sebagai hiasan sanggul wanita pada saat upacara pernikahan.

Mangle hadir tak lepas dari kepedulian para pendirinya terhadap kebudayaan dan bahasa sunda yang telah mulai pudar.  Sementara misinya adalah menjaga, memelihara basa, sastra dan filosofi Sunda.

Majalah Mangle pada awalnya hanya terbit bulanan dengan isi berjumlah 20 halaman dan tiras 500 eksemplar. Edisi mangle di awal-awal  tampak tidak bermutu. Ilustrasi foto tidak ada kaitannya dengan berita karena hanya foto-foto yang ada dipercetakan yang dimuat. Selain itu, naskahnya pun, naskah seadanya. Namun seiring berjalannya waktu, majalah Mangle terus berbenah.

Majalah mangle pernah mencapai titik kejayaan di era tahun 1960-an, yang mana pernah mencapai tiras sebanyak 90 ribu, kini mungkin hanya tinggal kenangan. Setelah Indonesia dihantam krisis moneter, tiras Mangle perlahan tapi pasti mengalami terjun bebas. Oplah Mangle kini tinggal 4000 ribu eksemplar saja.

Sebetulnya, Mangle tidaklah sendirian dalam mengusung pelestarian budaya Sunda khususnya bahasa Sunsa. Mediamassa lain yang bergerak di ranah yang sama dengan Mangle adalah Kujang, Sunda Midang, Cupumanik, Galura, Giwangkara. Namun, dari media-media tersebut, hanya Mangle yang masih bertahan.
Mangle jadul
Majalah mangle membuat berbagai artikel dan cerita menarik berbahasa sunda. Selain memberi laporan khusus seputar jawa barat, mangle juga menghadirkan ruang yang luas untuk sastra sunda. Aku sangat menyukai rubrik carpon [carita pondok] atau cerpen, carbag [carita tilu bagian] atau cerita tiga bagian. Kemudian ada carita nyambung atau cerita bersambung, carita misteri dan sajak sunda.



Selain itu, mangle juga menyediakan ruang untuk humor sunda dengan 3 halaman penuh. Bahkan kadang lebih. Namanya rubrik ‘barakatak’ menyajikan humor-humor sunda yang menghibur dan membuat kita tersenyum. Dari senyum simpul hingga tertawa terbahak-bahak saking lucunya. Aku paling suka rubrik yang satu ini.

Begitulah, majalah mangle mendapat tempat tersendiri dalam kenanganku. Bahkan, aku pun masih menyimpan koleksi majalah tersebut di rumah. Ah, semoga saja majalah mangle bisa tetap bertahan. Paling tidak, saya masih tetap bisa mengakses majalah mangle versi online.
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment