Berjamaah itu adalah sebuah proses untuk
saling mengenal, melengkapi, memahami dan menyadari akan peran, kekurangan,
kelebihan dan hak kewajiban masing-masing.
Berjamaah menuntut kita untuk dewasa,
bijaksana, dan mengasah kepekaan dan kesadaran akan ketergantungan sosial.
Berjamaah memberi kita pelajaran untuk
memahami apa dari arti cinta dan kasih sayang yang harus dipertahankan.
Namun sayangnya, banyak sekali cobaan yang
mesti kita hadapi ketika kita terjun dalam jamaah. Ya, jamaah dakwah.
Setidaknya, ada 3 fitnah yang bisa menjebak kita untuk terperosok pada
kesalahan dan kekhilafan. Yang kadang kala hal itu menjadi batu sandungan untuk
mempererat ukhuwah dan rasa cinta, menjadi hal yang mesti kita ketahui supaya
kita bisa menghindari.
Yang pertama, salah seorang yang berada dalam
medan dakwah rentan menyalahkan orang lain atau pihak lain ketika terjadi
kekalahan, atau kegagalan dalam satu visi bersama. Ketika terjadi hal yang
tidak diinginkan, kadang ada orang yang menyalahkan sesama ikhwan,”ini semua
gara-gara antum. Seharusnya tidak melakukan ini, itu, begini dan begitu.”
Bagaimana pun juga, kita berjamaah. Maka tidak
seharusnya kita menyalahkan pihak lain. Biarlah itu menjadi pelajaran untuk
yang bersangkutan, dan kita dituntut untuk sabar dan berlapang dada. Pahit
manis kita kecap bersama.
Tidak perlu memasang muka kecut ketika
menyadari adanya kesalahan dari ikhwah sesama jamaah. Peluk dia dengan penuh
rasa cinta, ungkapkan rasa sayang kita kepadanya, dan kemudian nasihati dia.
Dan kepahitan tanggunglah bersama, tanpa harus menyalahkannya terus menerus.
Disinilah manisnya berjamaah.
Inilah fitnah kekalahan yang akan menyebabkan
bangunan jamaah kita retak atau bahkan hancur.
Yang kedua, adanya rasa berjasa dan peran yang
dominan dalam kemenangan dan kejayaan jamaah. Ketika jamaah mencapai misi dan
visi yang diharapkan, maka timbulah rasa bangga pada personal-personal yang
merasa dialah yang menyebabkan kejayaan itu datang. Ini adalah penyakit yang
bisa menimbulkan kesombongan dan meremahkan pihak lain. Bahkan bisa jadi yang
ini lebih berbahaya dari yang pertama.
Yang ketiga, adanya ashobiyah yang menjangkiti
hati para anggota sebuah perkumpulan jamaah. Ingatlah, bahwa kita berjuang
untuk menegakan kalimatullah. Kita berjuang bukan untuk partai, bendera, ormas,
atau nama dari atribut yang kita pakai. Tapi kita berjuang untuk kejayaan
islam. Dimana pun kita tinggal, di kelompok manapun kita bernaung, kita adalah
saudara yang sama-sama berjuang, kita semua, darimana pun kita, dimana pun kita
bernaung, tidak akan pernah sempurna dan lepas dari kekhilafan dan kesalahan.
Sudah saatnya kita untuk saling ‘bertoleransi
terhadap jamaah-jamaah dakwah lain. Tidak meremehkan mereka karena satu
kekurangan, tidak mencibir mereka karena berbeda dalam pandangan dan menyikapi
medan dakwah. Biarlah mereka bekerja dan kita pun bekerja.
Untuk apa kita menyibukan diri kita dengan
melabeli mereka orang yang keluar dari manhaj, padahal boleh jadi di sisi Allah
mereka lebih tinggi derajatnya. Bisa saja mereka salah karena mereka tidak tahu
atau bahkan kita yang salah karena kita belumpun berjuang sudah mencak-mencak
mencap sesat.
Dakwah itu perlu dada yang luas untuk menerima
perbedaan cara pandang. Sungguh sayang, ketika kita berkoar-koar,”tinggalkan
ashobiyah dan bangga golongan, tapi dia sendiri merasa bangga dengan
kelompoknya dengan alasan sudah paling nyunnah, sudah paling benar dalam
mengikuti para salaf, sudah paling benar dalam masalah menegakan arti dari
khilafah, sudah paling islam dengan mengatakan yang berdakwah di parlemen
adalah antek toghut.
Semoga Allah memberi petunjuk. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment