Hal yang paling mengesankan ketika masa kecil adalah ketika kakek dari pihak bapak masih hidup. Apa pasal? Selain punya kegiatan menonton kartun-kartun setiap hari ahad, saya dan adik saya juga suka berkunjung ke rumah kakek. Tentunya bukan sekedar rindu seorang cucu terhadap kakek semata. Tapi kami juga rindu akan cerita-ceritanya.
Kakek sangat suka bercerita. Bercerita apa saja sekehandak hatinya. Kadang dia bercerita tentang hantu, pengalaman mistis yang pernah kakek alami. Kadang bercerita tentang masa mudanya, terutama cerita ketika zaman penjajahan belanda dan jepang terjadi. Lebih seru ketimbang cerita guru sejarah yang bikin suntuk dan ngantuk. Cerita kakek lebih hidup. Dari intonasi, gerak tangan dan mimic muka kakek ktika bercerita masih terekam di benak saya. Banyak manfaat dan hikmah yang saya dapatkan dari ceritanya. Terutama cerita-cerita epic nan heroic ketika kakek dan teman-temannya bergerilya melawan penjajah. Menjadi mozaik sejarah yang terkubur dan menjadi kenangan tersendiri. Dan kisah itu ia bagikan kepada cucunya.
****
Salahsatu cerita yang menarik bagi saya adalah cerita tentang peluru. Peluru? Ya, disini saya akan menceritakan sebuah keajaiban ketika peluru tidak lagi mempan. Ketika peluru yang dimuntahkan tidak bisa mengoyak daging atau tulang? Kok bisa? Apakah orang yang bersangkutan punya ilmu kanuragaan atau ilmu mistik? Dibantu jin misalnya? Saya kira tidak. Itu hanya takdir tuhan yang sudah dicatat untuk hambanya. Ceritanya begini;
Saat itu kakek dan teman-temannya pulang dari ladang di hutan gadog. Para pemuda desa biasa berjaga-jada di ladang untuk menghalau babi yang menggasak singkong dan ubi yang akan tiba saatnya untuk dipanen. kakau tidak dijaga, siap-siap kecewa karena hasil panen sangat sedikit, didahului oleh babi hutan yang rakusnya minta ampun.
Di persimpangan jalan desa mereka melihat mobil jip tentara Nippon (jepang) terparkir di pinggir jalan batu. Salahsatu teman kakek mendekati mobil itu untuk memastikan bahwa tidak ada para tentara disana. Memang benar, tidak ada tentara nipon disana. Artinya situasi aman. Hal itu bisa dimaklumi mengingat para tentara mungkin masih tertidur di pos-pos mereka.
Tiba-tiba saja teman kakek yang lain punya ide “nakal” untuk mengempesi ban mobil jeep tersebut. “biar mampus tuh si nipon.” Ujar kakek menirukan apa yang dikatakan temannya kala itu.
Akhirnya dengan langkah PD, si sohib kakek mendekati mobil, berjongkok dan mulai mencopot pentil ban dan membocorkan angina ban. Tahu rasa tuh tentara penjajah, bukan sekedar dikempesi, tapi juga ban itu dibolongin.
Tak dinyana, tiba-tiba ada bentakan dari arah belakang. Teman kakek terperanjat dan langsung bangkit. Sekilas ia melihat dua tentara nipon melotot kesal kepada kakek cs yang berdiri serratus meter dari sana. Tentara nipon itu bergegas menghampiri mereka dengan bayonet yang tersampir di bahu. Mereka curiga dengan apa yang dilakukan teman kakek barusan.
Tanpa menunggu komando, serta merta kakek cs lari pontang panting dan berharap tentara nipon tidak mengejar mereka.
Terdengar bunyi letusan senapan yang ditembakan berkali-kali. Kakek tak peduli walaupun hatinya menciut mendengar bunyi tembakan itu. Akankah ia ditembak atau temannya sudah tertembak di belakangnya? Kenapa ia tidak sempat berpikir akan ditembak? Kenapa mereka lari dengan resiko peluru menembus badan? Percuma lari atau tidak lari bagai makan buah simalakama, begitu kata peribahasa. Dimakan mati emak, tidak dimakan mati bapak. Tidak lari bakal disiksa habis-habisan karena telah membocorkan ban mobil tentara yang terkenal kejam, lari akan tertembak dengan resiko terluka atau meregang nyawa.
Mereka terus berlari hingga bunyi letusan berhenti dan mereka menoleh ke belakang, tentara nipon sudah lenyap dari pandangan. Kakek berhenti dengan nafas ngos-ngosan. Begitu juga dngan teman-temannya.
“ampir urang arek katembak euy!”ujar teman kakek di sela-sela helaan nafasnya yang memburu.
“heu’euh! Untung we euweuh nu katembak oge. Kabayang da!”
Tapi tak ayal mata mereka menatap sukri, salahsatu teman mereka yang sarungnya bolong-bolong seukuran jari kelingking. Mereka saling berpandangan satu salam lain. Sukri baru sadar bahwa sarung yang ia selempangkan tertembus peluru. Tapi kok, kenapa peluru itu tidak menembus badannya? Heran? Tentu saja heran! Apakah sarung itu setebal beton atau tembok sehingga cukup puas dengan menembus sarung tersebut? Saya kira para pembaca bisa menjawabnya sendiri. Subhanallah, Allah maha Kuasa terhadap Segala sesuatu.
No comments:
Post a Comment