Kaitan antara sastra dan sejarah bukanlah gejala baru dalam
karya sastra dan kajian atau pun study sejarah. Namun tanpaknya masih perlu
diperjelas perbedaan dan kedudukan masing-masing serta pertautan antar keduanya.
Perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan novel sejarah atau
pun roman sejarah atau juga sastra sejarah sebagai isatilah yang lebih umum.
Tidak mudah untuk mendefinisikan istilah-istilah tersebit
karena penafsiran terhadapnya pun tanpaknya sangat terbuka dari berbagai sudut
pandang. Pada dasarnya novel seajarah dalam pembicaraan ini diartikan secara
sempit, yakni bentuk roman atau prosa yang mencoba untuk memberikan gambaran
tentang suatu peristiwa atau kejadian pada masa yang lalu yang telah lampau dengan
media fiksi. Di dalamnya menampilkan tingkah laku dan mentalitas yang mungkin
berasal dari sumber masa lalu tersebut. atau terdapat tokoh-tokoh sejarah yang
sesungguhnya dalam alur prosa itu sendiri.
Pengertian novel sejarah tersebut menghindari cakupan yang
longgar yang biasanya diartikan sebagai karya fiksi yang sebagian isisnya
dipinjam dari sejarah. Pengertian yang longgar ini mempunyai implikasi bahwa
karya sastra yang mengandung unsure supranatural-misalnya- bias dianggap
sebagai roman sejarah. Begitu pula historiografi tradisional yang cenderung
menggabungkan karya sastra sekaligus
tulisan sejarah.
Histroriografi tradisional semacam babad, hikayat, dan lontara
memiliki nilai sejarah yang berbeda karena tercampur unsure mite dan mengandung
anakronisme, sehingga tidak termasuk dalam pengertian novel sejarah yang
dimaksud dalam tulisan ini.
Hubungan yang relative berdekatan antara sejarah dan sastra
setidaknya dapat dilihat bahwa keduanya berada dalam skala subjective emotional
dari bentuk-bentuk penemuan manusia, yang sangat jauh dari skala objective
variable semacam kimia, boikimia, biologi dan kedokteran.
Meskipun demikian, pertanggungjawaban sejarah berbeda dari
sastra. Sejarah bermaksud menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Sejarah
mengemukakan gambaran tentang hal-hal sebagaimana adanya dan kejadian-kejadian
yang sesungguhnya terjadi. Selain itu, sejarah harus mengikuti prosedur
tertentu, seperti harus tertib dalam penempatan ruang dan waktu, taat dengan
unsure-unsur lain seperti topografi dan kronologi, dan tentunya harus berdasar
bukti-bukti. Sementara itu pada karya sastra cukup kiranya bila tulisan itu
berhasil mengungkapkan hal-hal yang koheren yang dapat dipahami oleh para
pembacanya. Karya sastra tidak tuntuk terhadap metode-metode tertentu. Demikian
juga dalam hal penggunaan bahasa. Bahasa yang dimuat dalam karya sastra lebih
cenderung dan lazim memuat pesan-pesan subyektif pengarangnya. Adapun sejarah
lebih cenderung menggunakan simbolisme referensial dengan menunjuk secara lugas
kepada objek, pikiran, kejadian dan hubungan-hubungannya.
Dalam kaitan sejarah dan sastra, peristiwa sejarah bias
dijadikan bahan penulisan sastra dengan cara pengolahan yang berbeda. Dalam
penulisan sejarah, bahan baku peristiwa sejarah diproses melalui prosedur
tertentu, seperti kritik, interpretasi, dan sintesa sehingga tercapai
rekonstruksi sejarah. Bagi sejarawan, fakta merupakan hal yang “keras” dan
tidak dapat dikurangi. Ia harus bertolak dan kembali kepada fakta dalam
usahanya untuk merangkai peristiwa sejarah menjadi kesatuan yang utuh dan apa
danya. Sementara itu dalam karya sastra, peristiwa sejarah, situasi, kejadian,
dan perbuatan cukup diambil dari khazanah sejarah yang telah terjadi. Bagi
sastrawan, kritik, interpretasi, dan sintesa atas fakta sejarah tidak
diperlukan sebagaimana yang diperbuat oleh sejarawan.
No comments:
Post a Comment