17 Jan 2025

Utopia Pancasila

 Saya masih ingat dengan Yosep Parera, seorang advokat dan pengacara yang merintis Rumah Pancasila yang menjadi tersangka kasus suap oleh KPK. Saya tercengang. Masa sih? Padahal waktu itu saya mengikuti beliau di akun tiktoknya yang selalu mengajarkan moralitas Pancasila. Konten-kontennya sangat bagus, mengajarkan kepada saya untuk selalu menjunjung tinggi kejujuran dan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan. Tidak hanya saya, ada ribuan pemirsa lainnya yang merasa terinsipirasi dan bahkan menganggap apa yang beliau sampaikan begitu relate dengan kehidupan kami. Bahkan di titik ini saya pikir Pancasila memiliki nilai-nilai adiluhung yang sejalan dengan agama yang saya anut.


Tapi...kenapa beliau malah kena kasus suap? Lalu dimana pelajaran-pelajaran berharga tentang moralitas Pancasila yang selama ini beliau ajarkan kepada kami para followernya di media sosial? 


Di titik ini saya kemudian bertanya-tanya, sebegitu sulitkah untuk menjadi seorang yang Pancasilais? 


Kemudian tadi pagi saya mendengarkan podcast Guru Gembul yang sangat related dengan pertanyaan di benak saya itu. Seakan jawaban itu sengaja Allah hadirkan untuk saya.


Menurut Guru Gembul, Pancasila itu bukan ideologi, tapi topeng para penguasa yang menjadikan Pancasila sebagai tameng kepentingannya. Pancasila hanya alat untuk menuntaskan hasrat para penguasa dan memberi makan egoisme jiwa yang tak ada matinya. Maka tidak heran jika kemudian Pancasila bisa ditafsirkan sebebas mungkin, tergantung siapa yang berkuasa. Setiap priode bisa jadi memiliki penafsiran yang berbeda terhadap Pancasila. Bahkan, setiap keyakinan memiliki penafsiran yang bebas dengan disesuaikan berdasarkan keyakinan yang dianutnya. 


Menurut orang Islam, Sila pertama itu sejalan dengan Tauhid karena bicara tentang Ketuhanan yang Esa. Menurut orang Komunis, Pancasila itu adalah kebebasan untuk beragama atau tidak beragama. Menurut saudara yang beragama Hindu, Ketuhanan yang Maha Esa artinya tuhan-tuhan yang ada adalah berdasar pada ketuhanan dalam bingkai diversitas objek yang disembah. 


Lalu siapa yang benar dan siapa yang salah? Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Tergantung siapa yang berkuasa, dialah yang menentukan benar atau salah dalam neraca timbangan egonya. 


Di zaman demokrasi terpimpin (Soekarno), Pancasila dijadikan tunggangan untuk membuka ideologi komunis lewat Nasakom. Bapak proklamator itu ingin mengawinkan tiga ideologi dalam bingkai Pancasila. Nasionalis, Agama, Komunis. Islam/agama dijepit di tengah-tengah. Menjadi objek dari sikap represif Soekarno yang menganak emaskan PKI. 


Di zaman Orde baru, Pancasila dijadikan tunggangan untuk kepentingan penguasa otoriter yang menerapkan ekonomi liberal ala mafia dan gengster, meski penguasa menyebutnya ekonomi Pancasila. Bahkan Pancasila di masa ini bisa dianggap sesuci agama itu sendiri dengan menjadikannya sebagai asas tunggal dalam proyek P4. 


Di zaman Reformasi? Silakan menilai sendiri.


Kita menjadi bingung karena kita tidak menemukan role model manusia Pancasilais yang sesungguhnya. Tidak di masa orde lama, orde baru apalagi reformasi. Nilai-nilai Pancasila seakan ideologi utopia yang begitu sulit untuk diwujudkan. Atau mungkin memang Pancasila itu tidak sakral sehingga bebas ditafsirkan demi kepentingan penguasa. 


Dan kemudian saya mengingat pengalaman lucu pekan kemarin. Entah kenapa, tiba-tiba saja benak saya mengingat seorang politikus yang terjerat kasus korupsi besar dalam proyek Hambalang. Didorong rasa penarasan akan nasibnya sekarang, saya mencoba mengetik nama beliau di mesin pencarian dan menemukan akun IGnya. Di konten yang disematkan, beliau ceramah tentang nilai-nilai luhur Pancasila. Seorang netizen berkomentar, "Mantan koruptor bicara soal nilai dan Pancasila. Di situ saya merasa lucu."


Yah, silakan tertawa untuk semua hal yang kita anggap lucu. Karena terkadang ketimpangan itu bisa disikapi dengan dua respon; ditangisi atau ditertawakan.


Akhir kalam, tidak ada yang salah dengan Pancasila. Tidak pula agama bisa dibenturkan dengan Pancasila. Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan alat untuk melegitimasi tindakan. Entah tindakan itu baik atau butuk, tergantung siapa yang memakainya. Bagai pisau bermata dua, Pancasila bisa dijadikan untuk membunuh atau memelihara kehidupan. Bagai pisau bermata dua, Pancasila bisa untuk menyatukan keragaman atau menghancurkannya. Pancasila tidak salah. Yang salah adalah manusia yang menuhankan egonya. 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment