"Ustadz, memangnya kalo gak hapal Pancasila itu dosa?"
Itu adalah pertanyaan dari seorang siswa ketika pembelajaran PKn tengah berlangsung di sekolah tempat saya mengajar.
"Ya gak juga. Yang dosa itu ketika kamu gak hafal alfatihah atau bacaan sholat. Itu kewajiban agama. Kalau kamu tidak bisa, ya kamu dosa. Tentunya gak ada ancaman bagi siapa pun yang tidak hafal Pancasila. Ini hanya konsep hidup yang dirumuskan manusia sebagai panduan dan pandangan hidup bernegara. Tapi masa iya kita sebagai warga negara gak hafal dasar negara sendiri." Begitulah jawaban saya. Terkesan diplomatis.
Pelajaran PKn waktu itu membahas fungsi dan kedudukan Pancasila di kelas delapan. Sebagai permulaan, saya mencoba mengetes 'hafalan' Pancasila mereka. Dan hasilnya 50% dari mereka tidak hafal. Tidak hafal di sini maksudnya hanya hafal beberapa sila dan lupa sila lainnya. Terutama sila ke-4 yang kalimatnya lumayan panjang. Hehe.
Dan ini suatu hal yang wajar di masa sekarang. Jangankan siswa SMP, bahkan sekelas mahasiswa pun banyak yang tidak hafal Pancasila. Lebih parah lagi bahkan ada anggota déwan yang tidak hafal Pancasila.
Beda halnya dengan zaman orba dimana Pancasila benar-benar diperlakukan begitu sakral sehingga selalu ada penataran P4 di setiap tahun untuk para pelajar, PNS dan masyarakat pada umumnya. Saat itu, kita tidak hanya dituntut untuk hafal Pancasila, tapi juga diwajibkan hafal butir-butir pengamalan Pancasila. Semacam tafsir terperinci dari sila-sila yang masih global. Di masa orba, Pancasila dipandang sebagai asas tunggal. Siapa pun yang menolaknya sebagai asas organisasi, siap-siap dipandang melakukan aksi subversif.
In my opinion, sebenarnya tidak hafal Pancasila itu bukan hal yang fatal. Meskipun hafal Pancasila juga lebih bagus. Tapi, hafal tidak hafal Pancasila bukan suatu ukuran baik atau buruknya kualitas akhlak dan nasionalisme seseorang. Toh banyak anggota dewan yang hafal Pancasila tapi juga ternyata jadi pengkhianat negara dengan jalan menggarong uang rakyat demi memuaskan syahwat politik kotor mereka. Banyak yang hafal Pancasila tapi justru menjadikan kekuasaan sebagai ajang memperoleh keuntungan besar lewat kolusi dan nepotisme.
Hafal atau tidak hafal Pancasila, kita tetap memahami baik dan buruk lewat pelajaran moral yang kadung ditanamkan kepada jiwa-jiwa kita sejak masa kecil lewat pendidikan agama oleh orangtua dan lembaga pendidikan pada umumnya.
Pancasila itu bukan hanya sebatas hafalan, tapi juga membutuhkan aplikasi dan kesadaran penuh akan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Lalu, apakah tidak hafal Pancasila bisa dipandang sebagai aib? Untuk orang-orang tertentu barangkali tidak hafal Pancasila sebagai aib. Misal, para penyelenggara negara atau aparatur. Maka jangan heran jika kemarin kita menemukan hoax-hoax murahan yang mengatakan 'Prabowo tidak hafal Pancasila' dan 'Anies tidak hafal Pancasila'. Yang bikin hoax sendiri tanpa sadar mencederai nilai-nilai Pancasila dengan perilaku lancungnya.
Tapi, bagi masyarakat jelata, tidak hafal Pancasila bukan suatu hal yang patut dikritisi. Karena hafal atau tidak hafal Pancasila, hidup mereka begitu-begitu saja. Beda dengan ulah yang di atas yang hafal Pancasila tapi tidak pancasilais.
No comments:
Post a Comment