Ketika pulang ke kampung, saya terbiasa membereskan koleksi buku-buku saya yang hanya dijamah setahun sekali. Maklum, hanya saya satu-satunya kutu buku yang ada di rumah. Adik-adik saya, lebih gandrung dengan ponsel dan main di luar alih-alih mengakrabi buku. Yah, mau gimana lagi, saya tak mampu menularkan virus menyukai buku tersebab saya hanya ada di rumah pas lebaran tiba. Itu pun hanya satu sampai dua minggu dan setelah itu harus kembali untuk melanjutkan nafas di perantauan.
Jadi, ketika beres-beres buku itulah saya tertarik dengan buku modul PAI milik adik saya yang tergeletak begitu saja diantara tumpukan buku milik saya. Di buku pelajaran PAI untuk kelas empat kurikulum merdeka termuat kisah Wali Sanga, tepatnya di bab 10.
Saya tiba-tiba berpikir untuk mencurahkan unek-unek saya di sini tentang seberapa penting mengetahui dan memahami riwayat wali songo.
Sebenarnya sah-sah saja jika anak-anak mempelajari riwayat hidup Wali sanga untuk meneladani nilai-nilai dakwah mereka. Apalagi para wali tersebut memiliki andil yang besar dalam ranah dakwah tauhid di tanah Jawa.
Hanya saja, ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya. Ini hanya bersitan dari hati saya yang nilainya tak lebih dari sekedar opini pribadi. Tentunya yang namanya opini bisa diterima, bisa juga tidak.
Pertama, soal skala prioritas dalam mempelajari sejarah. Kalau saya menjadi guru PAI, saya (terlebih dahulu) lebih memilih untuk mengajarkan anak didik saya tentang kisah-kisah para nabi, kisah Nabi Muhammad SAW dan kisah para sahabat nabi sebagai orang-orang paling dekat dengan Rasulullah dalam kurun. Karena, bagaimana pun juga, memahami kisah Rasulullah dan para sahabat sebagai pembawa risalah Islam jauh lebih penting dibandingkan mempelajari kisah wali Sanga yang ranah dakwahnya hanya terbatas di Jawa.
Kedua, mungkin ada pertimbangan bahwa dengan mempelajari riwayat wali songo, umat Islam Indonesia diperkenalkan pada nilai-nilai Islam yang berbasis Nusantara. Tapi saya pikir ini juga tidak relevan mengingat riwayat wali songo justru terlalu Jawa sentris. Wali sanga adalah simbol dakwah Islam di jawa, bukan simbol dakwah yang dikenal di seluruh pulau-pulau Nusantara. Jika ini menjadi kurikulum nasional, tentunya tidak relevan untuk diterapkan meski sah-sah saja memahaminya. Sama seperti sah-sah saja kita mengetahui kisah para da'i di Asia selatan dan Malaysia, misalnya. Sekali lagi, ini soal prioritas.
Ketiga, banyak sekali riwayat-riwayat yang berisi mitos yang beredar di masyarakat yang dinisbatkan kepada wali Sanga. Ada kisah-kisah ajaib di luar nalar yang dianggap sebagai karomah wali yang sangat digandrungi. Saya tidak berarti menolak konsep wali dan karomah. Saya percaya karomah itu ada. Tapi wali yang sesungguhnya tidak pernah memamerkan kemampuannya ke khalayak ramai layaknya seorang tukang sihir. Karomah tidak bisa dipelajari dengan amalan tertentu layaknya sihir. Karomah itu diberikan Allah tanpa diminta dan biasanya diberikan dalam kondisi terdesak. Lalu, di kisah-kisah Wali Songo, justru digambarkan bahwa karomah itu dipamerkan ke khalayak. Ini yang saya baca di buku-buku riwayat Wali Songo yang banyak beredar. Tapi syukurnya, kisah-kisah mitos itu tidak saya temukan di buku PAI adik saya itu.
Termasuk mitos yang beredar itu adalah adanya lukisan yang menampilkan wajah wali-wali tersebut. Siapa yang melukisnya? Apakah benar wajah para Wali sanga itu seperti yang dilukiskan di buku-buku riwayat wali? Atau lukisan itu hanya bersumber dari khayal si pelukis?
Akhir kalam, saya tegaskan tidak ada yang salah dalam mempelajari riwayat wali songo. Hanya saja kita harus jeli dan kritis terhadap kisah-kisah yang belum jelas referensinya. Kemudian selain itu penting memahami skala prioritas. Jika kisah-kisah Nabi, kisah Rasulullah dan kisah para sahabat belum maksimal dimasukan ke dalam kurikulum PAI, maka tidak ada alasan untuk mengesampingkan kisah hidup mereka dengan memilih kisah para wali. Ini seperti mengajarkan anak-anak pelajaran akar kuadrat di saat mereka belum mempelajari tambah, kurang dan bagi sebagai pengetahuan basic dalam matematika.
No comments:
Post a Comment