3 Apr 2022

Telpon Mamak Kala Sahur


Cermin Ramadhan

 

Sahur kali ini tidak ada lauk. Hanya ada penyedap rasa seharga lima ratus rupiah ditambah garam meja yang baru aku beli kemarin sore. Minyak goreng tidak ada, karena harganya mahal. Jika pun ada, mau menggoreng apa? Tidak ada apa pun yang bisa digoreng di dapur kost yang sempit ini. Jika pun ada sesuatu yang bisa digoreng, tabung LPG melon berwarna hijau dengan tulisan 'hanya untuk kalangan miskin' itu sudah habis sejak kemarin. Aku tidak punya uang sepeser pun untuk membeli tabung gas yang baru. Pun tidak ada uang untuk membeli mie instan, telur, dan minyak barang satu liter sekali pun. Dompetku benar-benar kosong.

 

Mie instan yang seringkali menjadi andalanku ketika akhir bulan tiba sudah habis sejak dua hari yang lalu. Maksudku, mie instan yang kujadikan sebagai lauk teman nasi. Bahkan jika ingin benar-benar berhemat, satu mie instan kubuat untuk dua kali makan.

beruntungnya, ketika bulan puasa tiba, aku bisa sedikit berhemat dengan cara mengikuti bukber di masjid terdekat. biasanya akan selalu ada menu takjil untuk para jamaah masjid yang memilih berbuka puasa di sana. Jika keberuntungan datang, biasanya takmir masjid akan memberikan sisa takjil itu kepada anak-anak kost seperti diriku.

 

Nanti, menjelang sepuluh malam terakhir, takmir masjid biasanya akan menyediakan menu santap sahur untuk mereka yang ikut itikaf. Aku berencana mau ikut itikaf karena alasan itu. Ya, aku memang meniatkan untuk ibadah. Tapi juga ada alasan lain. Karena alasan penghematan.

 

Sebenarnya aku bisa saja makan yang layak dengan cara membeli mie satu dus atau membeli sarden. Hanya saja, minggu kemarin aku harus foto copy dan iuran kerja kelompok. Akhir-akhir ini memang banyak pengeluaran yang harus aku korbankan. Beasiswa yang aku dapatkan hanya cukup untuk biaya pendidikan semester. Di luar itu, harus merogoh kocek sendiri. Jadi, hari ini memang tak ada lagi uang tersisa di dompetku. Tak apa lah. Setidaknya bisa makan enak di masjid pas buka puasa, meski harus prihatin ketika santap sahur.

 

Tiga puluh menit menjelang imsak. Aku segera mengambil nasi di rice cooker ukuran mini dan menaruhnya di piring. Tak lupa menaburkan garam di atasnya. Yah, meski seadanya, tapi aku harus tetap sahur biar besok tidak terlalu lemas.

 

Di santapan kedua, ponselku berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk. Setelah kulihat, ternyata Mamak menelponku.

 

"Halo, Assalamualaikum, mak," sapaku.

 

"Waalaikum salam, Jun, kamu udah bangun. sahur nak," ujarnya. Suara itu, suara yang selalu kurindukan. Suara yang seringkali menjadi motivasi terbesarku untuk selalu bangkit dan tetap bertahan di masa sulit. Mamak. Di tengah keprihatinan yang mendera, beliau selalu mengatakan bahwa aku harus tetap kuliah.

 

"Ini lagi sahur, mak," ujarku.

 

"Kamu sahur sama apa?" tanya emak dari seberang sana.

 

"Sama ayam mak," jawabku pendek. Sementara tanganku mulai kembali menyuap. Kali ini mataku berkaca.

 

"Ayam apa?" tanya emak lagi.

 

"Ayam goreng, Mak. jawabku. Kali ini menyeka air mata yang lolos di mataku. "Emak sendiri udah sahur?"

 

"Sudah. ini mamak makan sama tempe bacem sama rendang bikinan kakakmu. Mamak suka keinget kamu terus, Nak. Nanak suka mikir, kamu disana makan apa ya."

 

"Udah, Mamak jangan banyak pikiran. Juna di sini baik-baik saja kok."

 

“Kamu beneran kan, makan sama ayam goreng?” mamak seakan masih tak percaya.

 

“Iya mak. Baru beli semalam dari depan kost,” ujarku.

 

“Ya sudah. Lanjutkan sahurmu, Jun. sehat-sehat di sana ya. Mamak selalu mendoakanmu.”

 

“Iya Mak, pungkasku. Setelah itu kututup telpon dengan hati yang gerimis. Aku terpaksa berbohong kepada Mamak karena aku tidak ingin membuatnya susah karena memikirkanku.

 

Kulanjutkan santap sahur yang sangat sederhana itu dalam diam. Mak, sehat-sehat di sana ya. Aku tidak ingin membagi penderitaanku kepadamu karena aku tahu bahwa mamak sudah cukup repot, pusing dan susah demi menafkahi empat adik Juna.

 

Apalagi setelah Bapak mangkat ke khadirat Allah tiga tahun yang lalu. Otomatis mamak yang menjadi tulang punggung keluarga. Beban Mamak semakin bertambah karena kini kakak perempuanku, Alisa harus kembali ke rumah dengan membawa anak balitanya. Sang suami menceraikan Alisa karena ketahuan selingkuh. Bukannya sadar dan meminta maaf, suami Alisa malah marah marah dan mentalaknya. Barangkali biar dia bisa leluasa bermain wanita. Dengan hati yang sakit, Alisa kembali ke rumah dengan membawa anak semata wayangnya. Lebih menjengkelkan lagi, suami Alisa tak mau bertanggungjawab. Tak pernah sekali pun dia mengirimkan uang untuk sekedar jajan anaknya itu.  Makin bertambahlah beban Emak. Tapi meski begitu Mamak tak pernah mengeluh. Dia selalu berhati lapang di tengah keterbatasan.

Mamak bekerja sebagai pemetik teh demi menutupi kebutuhan sehari-hari. Alisa belum bisa membantu karena harus menjaga anaknya yang masih kecil dan belum mandiri.

 

Ah, kenapa tiba-tiba aku terlalu banyak melamun. Begitulah, setiap kali Mamak menelpon, aku selalu teringat banyak hal yang selalu ada kaitannya dengan keluarga kami. Baiklah, aku harus melanjutkan sahurku sebelum waktu imsak tiba.

 

Mulai besok aku harus memutar otak bagaimana caranya supaya dompetku tidak kempes terus. Dua bulan lamanya aku sudah menunggak sewa kost. Beruntungnya, Tante Mirna sangat baik dan mengerti tentang keadaaanku. Aku katakana bagaimana kondisiku ketika dia menagih uang sewa dua pekan kemarin. “Ya sudah, nanti kalau sudah ada uangnya jangan lupa ya,” begitulah Tante Mirna memungkasnya. Aku boleh menghela napas lega.

 

Kemarin Andri bilang kepadaku bahwa aku bisa bekerja jadi kuli panggul di toko Babah Liong.  Meski upahnya tidak seberapa, tapi barangkali cukup untuk membeli sekardus mie instan buat sebulan dan untuk menambah biaya uang kost. Selebihnya aku mungkin akan mencari pekerjaan lainnya. Aku harus banyak memutar otak untuk menghasilkan uang di tengah keterbatasan.

 

Ini adalah ramadhan keduaku jauh dari mamak. Dua tahun yang lalu aku merantau ke Bandung untuk menuntut ilmu di sebuah universitas paling bergengsi di Jawa Barat. Aku sendiri kuliah karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah Provinsi karena prestasi-prestasiku. Beasiwa yang kuterima hanya biaya pendidikan, tidak termasuk biaya atau tunjangan hidup semacam uang kost atau uang saku. Meski begitu, aku harus mensyukurinya. Demi mewujudkan mimpi Mamak yang menginginkan aku menjadi ‘orang.’

 

Masih teringat apa yang dikatakan Mamak kepadaku dahulu. ‘Kamu harus rajin belajar, Jun. jangan seperti mamak dan bapakmu yang buta huruf ini. Kamu harus mengangkat harkat keluargamu dengan pendidikan yang kamu peroleh. Sesulit apa pun, kalau gusti Allah berkehendak, pasti ada jalan.”

 

Mungkin karena doa-doa yang mamak panjatkan juga, aku masih tetap kuat bertahan.

 

Ini hari pertama ramadhanku. Aku yakin Allah akan memudahkanku melewati semua ini di bulan yang penuh berkah ini. Berkat doa mamak, tentu saja.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment