Cermin Ramadhan
Sahur kali ini tidak ada lauk. Hanya ada penyedap rasa
seharga lima ratus rupiah ditambah garam meja yang baru aku beli kemarin sore.
Minyak goreng tidak ada, karena harganya mahal. Jika pun ada, mau menggoreng
apa? Tidak ada apa pun yang bisa digoreng di dapur kost yang sempit ini. Jika
pun ada sesuatu yang bisa digoreng, tabung LPG melon berwarna hijau dengan
tulisan 'hanya untuk kalangan miskin' itu sudah habis sejak kemarin. Aku tidak
punya uang sepeser pun untuk membeli tabung gas yang baru. Pun tidak ada uang
untuk membeli mie instan, telur, dan minyak barang satu liter sekali pun. Dompetku
benar-benar kosong.
Mie instan yang seringkali menjadi andalanku ketika akhir
bulan tiba sudah habis sejak dua hari yang lalu. Maksudku, mie instan yang
kujadikan sebagai lauk teman nasi. Bahkan jika ingin benar-benar berhemat, satu
mie instan kubuat untuk dua kali makan.
beruntungnya, ketika bulan puasa tiba, aku bisa sedikit
berhemat dengan cara mengikuti bukber di masjid terdekat. biasanya akan selalu
ada menu takjil untuk para jamaah masjid yang memilih berbuka puasa di sana.
Jika keberuntungan datang, biasanya takmir masjid akan memberikan sisa takjil
itu kepada anak-anak kost seperti diriku.
Nanti, menjelang sepuluh malam terakhir, takmir masjid
biasanya akan menyediakan menu santap sahur untuk mereka yang ikut itikaf. Aku berencana
mau ikut itikaf karena alasan itu. Ya, aku memang meniatkan untuk ibadah. Tapi juga
ada alasan lain. Karena alasan penghematan.
Sebenarnya aku bisa saja makan yang layak dengan cara
membeli mie satu dus atau membeli sarden. Hanya saja, minggu kemarin aku harus
foto copy dan iuran kerja kelompok. Akhir-akhir ini memang banyak pengeluaran
yang harus aku korbankan. Beasiswa yang aku dapatkan hanya cukup untuk biaya
pendidikan semester. Di luar itu, harus merogoh kocek sendiri. Jadi, hari ini
memang tak ada lagi uang tersisa di dompetku. Tak apa lah. Setidaknya bisa
makan enak di masjid pas buka puasa, meski harus prihatin ketika santap sahur.
Tiga puluh menit menjelang imsak. Aku segera mengambil nasi
di rice cooker ukuran mini dan menaruhnya di piring. Tak lupa menaburkan garam
di atasnya. Yah, meski seadanya, tapi aku harus tetap sahur biar besok tidak
terlalu lemas.
Di santapan kedua, ponselku berbunyi nyaring. Ada panggilan
masuk. Setelah kulihat, ternyata Mamak menelponku.
"Halo, Assalamualaikum, mak," sapaku.
"Waalaikum salam, Jun, kamu udah bangun. sahur
nak," ujarnya. Suara itu, suara yang selalu kurindukan. Suara yang
seringkali menjadi motivasi terbesarku untuk selalu bangkit dan tetap bertahan
di masa sulit. Mamak. Di tengah keprihatinan yang mendera, beliau selalu
mengatakan bahwa aku harus tetap kuliah.
"Ini lagi sahur, mak," ujarku.
"Kamu sahur sama apa?" tanya emak dari seberang
sana.
"Sama ayam mak," jawabku pendek. Sementara
tanganku mulai kembali menyuap. Kali ini mataku berkaca.
"Ayam apa?" tanya emak lagi.
"Ayam goreng, Mak. jawabku. Kali ini menyeka air mata
yang lolos di mataku. "Emak sendiri udah sahur?"
"Sudah. ini mamak makan sama tempe bacem sama rendang
bikinan kakakmu. Mamak suka keinget kamu terus, Nak. Nanak suka mikir, kamu
disana makan apa ya."
"Udah, Mamak jangan banyak pikiran. Juna di sini
baik-baik saja kok."
“Kamu beneran kan, makan sama ayam goreng?” mamak seakan
masih tak percaya.
“Iya mak. Baru beli semalam dari depan kost,” ujarku.
“Ya sudah. Lanjutkan sahurmu, Jun. sehat-sehat di sana ya. Mamak
selalu mendoakanmu.”
“Iya Mak, pungkasku. Setelah itu kututup telpon dengan hati
yang gerimis. Aku terpaksa berbohong kepada Mamak karena aku tidak ingin
membuatnya susah karena memikirkanku.
Kulanjutkan santap sahur yang sangat sederhana itu dalam
diam. Mak, sehat-sehat di sana ya. Aku tidak ingin membagi penderitaanku
kepadamu karena aku tahu bahwa mamak sudah cukup repot, pusing dan susah demi
menafkahi empat adik Juna.
Apalagi setelah Bapak mangkat ke khadirat Allah tiga tahun
yang lalu. Otomatis mamak yang menjadi tulang punggung keluarga. Beban Mamak
semakin bertambah karena kini kakak perempuanku, Alisa harus kembali ke rumah
dengan membawa anak balitanya. Sang suami menceraikan Alisa karena ketahuan
selingkuh. Bukannya sadar dan meminta maaf, suami Alisa malah marah marah dan
mentalaknya. Barangkali biar dia bisa leluasa bermain wanita. Dengan hati yang
sakit, Alisa kembali ke rumah dengan membawa anak semata wayangnya. Lebih
menjengkelkan lagi, suami Alisa tak mau bertanggungjawab. Tak pernah sekali pun
dia mengirimkan uang untuk sekedar jajan anaknya itu. Makin bertambahlah beban Emak. Tapi meski
begitu Mamak tak pernah mengeluh. Dia selalu berhati lapang di tengah
keterbatasan.
Mamak bekerja sebagai pemetik teh demi menutupi kebutuhan
sehari-hari. Alisa belum bisa membantu karena harus menjaga anaknya yang masih
kecil dan belum mandiri.
Ah, kenapa tiba-tiba aku terlalu banyak melamun. Begitulah,
setiap kali Mamak menelpon, aku selalu teringat banyak hal yang selalu ada
kaitannya dengan keluarga kami. Baiklah, aku harus melanjutkan sahurku sebelum
waktu imsak tiba.
Mulai besok aku harus memutar otak bagaimana caranya supaya
dompetku tidak kempes terus. Dua bulan lamanya aku sudah menunggak sewa kost. Beruntungnya,
Tante Mirna sangat baik dan mengerti tentang keadaaanku. Aku katakana bagaimana
kondisiku ketika dia menagih uang sewa dua pekan kemarin. “Ya sudah, nanti
kalau sudah ada uangnya jangan lupa ya,” begitulah Tante Mirna memungkasnya. Aku
boleh menghela napas lega.
Kemarin Andri bilang kepadaku bahwa aku bisa bekerja jadi
kuli panggul di toko Babah Liong. Meski upahnya
tidak seberapa, tapi barangkali cukup untuk membeli sekardus mie instan buat
sebulan dan untuk menambah biaya uang kost. Selebihnya aku mungkin akan mencari
pekerjaan lainnya. Aku harus banyak memutar otak untuk menghasilkan uang di
tengah keterbatasan.
Ini adalah ramadhan keduaku jauh dari mamak. Dua tahun yang
lalu aku merantau ke Bandung untuk menuntut ilmu di sebuah universitas paling
bergengsi di Jawa Barat. Aku sendiri kuliah karena mendapatkan beasiswa dari
pemerintah Provinsi karena prestasi-prestasiku. Beasiwa yang kuterima hanya
biaya pendidikan, tidak termasuk biaya atau tunjangan hidup semacam uang kost
atau uang saku. Meski begitu, aku harus mensyukurinya. Demi mewujudkan mimpi
Mamak yang menginginkan aku menjadi ‘orang.’
Masih teringat apa yang dikatakan Mamak kepadaku dahulu. ‘Kamu
harus rajin belajar, Jun. jangan seperti mamak dan bapakmu yang buta huruf ini.
Kamu harus mengangkat harkat keluargamu dengan pendidikan yang kamu peroleh. Sesulit
apa pun, kalau gusti Allah berkehendak, pasti ada jalan.”
Mungkin karena doa-doa yang mamak panjatkan juga, aku masih
tetap kuat bertahan.
Ini hari pertama ramadhanku. Aku yakin Allah akan
memudahkanku melewati semua ini di bulan yang penuh berkah ini. Berkat doa
mamak, tentu saja.
No comments:
Post a Comment