5 Apr 2022

PUASA PERTAMA DANIEL

#cerpenramadhan

Dua bulan yang lalu aku resmi memeluk agama islam atas pilihanku sendiri. sebenarnya aku sangat ingin berganti nama. Mengubah namaku dengan nama yang berbau islam semacam Ahmad, Yusuf atau apalah. Akan tetapi aku tahu bahwa mengganti nama itu tidaklah gampang, jadi aku mempertahankan nama pemberian Mama. Daniel Atmawijaya. Atmawijaya itu nama papaku.

Tentunya kedua orangtuaku sangat kaget ketika mereka tahu aku pindah agama. Tak hanya kaget, mereka juga murka semurka-murkanya. Di moment itu, aku melihat kemarahan yang tidak ada bandingnya. Aku belum pernah melihat mereka semarah itu. ayah menyumpahiku dengan semua nama jenis binatang yang ada di ragunan. Mama menangis dan memintaku untuk kembali ke agama lamaku. Tapi tekadku sudah bulat. Aku sudah yakin dengan pilihanku sendiri.

Kau pasti bertanya-tanya, bagaimana caranya aku bisa tertarik dengan agama islam? Kenapa bisa?

Semua memang tidak mudah. Dan semua bermula dari kebiasaanku mendengarkan kajian-kajian di Youtube. Aneh memang. Seorang non-islam maniak mendengarkan kajian.

“Eh! Lu kan nonis, kok dengerin ceramah ustadz Abdullah sih,” begitulah komentar si Jani, teman sefakultasku dulu ketika kami duduk beristirahat di pelataran masjid kampus. Aku dan Jani memang sahabat karib. Kami biasanya duduk berdiskusi di teras masjid kampus.

“Suka aja,” jawabku dengan senyum simpul. Memang, ceramah-ceramah ustadz Abdullah terdengar begitu sejuk di hatiku. Tidak ada ujaran kebencian, penghakiman dan lain semacamnya. Lelaki berjanggut lebat itu seringkali membahas tentang hati dan akhlak. Semuanya mengena di hatiku.

Bertahun lamanya aku mendengarkan kajian ustadz-ustadz di chanel Youtube. Bahkan beberapa kali aku ikut teman-temanku di pengajian luring. Bahkan, aku terkadang meminta teman-teman muslimku untuk melibatkan diriku di acara bazar Ramadan ketika bulan puasa tiba.

“Nggak salah, nih?” tanya Yuanda, ketika aku mengutarakan niat baikku itu.

“Emang nggak boleh ya non islam ikut kepanitiaan acara ramadhan?” aku balik bertanya. Karena aku pikir memang begitu.

Yuanda tertawa. “Ya Boleh lah. Masa nggak boleh. Cuman ini pertama kalinya seorang non muslim pengen ikut jadi panitia acara Ramadhan. Kalo mau ayuk aja. Aku malah seneng. Kebetulan kita kurang personel nih,” lanjut Yuanda dengan sukacita.

Sejak saat itulah aku semakin akrab dengan teman-teman di LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Bahkan aku mengikuti pengajian rutin mereka yang biasa diadakan hari rabu. Sepekan sekali. Hingga di suatu hari yang aku anggap sebagai hari keberuntunganku, aku mengutarakan keinginanku untuk masuk islam kepada Jani.

“Jan, aku mau jadi muslim,” ujarku dengan suara pelan.

“Hah? Apa?” ada ekspresi kaget di wajah Jani. Wajah yang pada dasarnya tampak polos itu jadi tampak semakin polos dengan ekspresi kagetnya.

Aku jadi gemas. Maka aku ulangi kata-kataku. “Aku mau jadi islam. Aku mau syahadat.”

Raut kaget belum sirna dari wajah Jani. “Kamu sudah pikirkan matang-matang?”

Aku mengangguk mantap.

“Alhamdullah kalau begitu. Besok malam aku antar kamu ke rumah ustadz Baidowi buat syahadat,” jelas Jani. Wajah kagetnya berganti dengan aura yang penuh dengan antusiasme. Dia tampak begitu bahagia mendengar rencanaku untuk memeluk islam.

“Sekarang juga bisa kok. Kebetulan karena rutin ngaji aku sudah hapal syahadat. Asyhadu alla Illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”

“Masya Allah Ajib. Tapi ‘Ilahanya’ kelewat tadi. Coba ulangi,” timpal Jani. Aku mengulangi kalimat syahadat dan Jani mengoreksi bacaanku.

Begitulah, singkat cerita aku menjadi muslim seutuhnya. Aku bersyahadat di rumah ustadz Baidowi. Kemudian setelah itu aku syahadat kembali di masjid kampus dengan disaksikan ratusan jamaah yang notabene adalah teman-teman LDK yang sudah aku kenal.

Saat itu aku menangis haru di depan mimbar, di samping pak ustadz yang membimbing syahadatku.

“Ikhwah fillah, sekarang kita memiliki saudara baru. Sudah sepantasnya kita menyambut dengan hati yang bahagia. Silakan, buat akhi fillah untuk berjabat tangan dengan akh Daniel.” Begitulah sang ustadz memungkas kata.

Maka satu demi satu jamaah itu menyalami diriku, menepuk bahuku bahkan memelukku sembari membisikan kata-kata ‘selamat’ di telingaku. Saat itu, aku menangis haru. Tangis yang begitu nikmat kurasakan. Tangis keharuan yang memuncak dan membuat hatiku bergetar hebat. Jani memelukku dengan tangis yang tak kalah basah. Dia memelukku dengan erat. “Alhamdulillah ya Robb,” bisiknya sambil terisak.

Aku harus membayar mahal keislamanku. Sejak mengucapkan syahadat, aku tidak menyembunyikan semua itu. Tidak seperti buku-buku islam yang kusembunyikan di bawah kasur ketika aku belum resmi memeluk islam. Tidak seperti alquran terjemah Indonesia yang aku simpan di bawah lipatan baju biar mama tak mengetahuinya. Itu dulu. Sekarang aku sudah terlahir kembali menjadi pribadi yang baru. Aku harus bisa bertanggungjawab dan menanggung resikonya. Sama seperti Bilal yang rela ditindih batu hitam. Seperti Mush’ab bin Umair yang rela disiksa ibunda dan kehilangan semua kemewahan dunia karena memilih islam. By the way, aku tahu kisah Bilal dan Mushab dari buku tentang sahabat nabi yang dipinjamkan Yuanda kepadaku. Baru dua kisah luar biasa itu yang telah aku baca. Nah, aku ingin meneladani mereka. Aku harus jujur pada papa dan mama.

Aku masih ingat, di suatu malam, ketika kami berkumpul di ruang tamu, dengan suara bergetar kuungkapkan semuanya.

“Pa, Daniel mau ngomong sesuatu,” ujarku kepada papa yang tengah sibuk menyesap rokoknya sembari memainkan ponsel.

“Apa? Mau minta duit kok pake basa basi segala,” begitulah respon Papa. Karena biasanya jika uang saku telah tandas, aku langsung menemui beliau.

“Bukan itu. ada hal lain yang ingin Daniel katakana,” timpalku. Kepalaku menunduk dalam.

“Apa? Kamu menghamili anak orang? Anak siapa?”

Ini lebih parah. Duh! “Bukan, Pa.”

“Lalu apa?”

“Daniel sudah masuk islam.”

Ada jeda yang begitu menyakitkan sekaligus membawa hawa yang tiba-tiba begitu dingin dan mengerikan. Dalam keheningan itu, aku bisa mendengar suara tik tok jarum jam terdengar begitu nyaring. Bahkan suara televisi yang sedang ditonton Reland, kakaku terdengar sangat sayup. Yang ada di kupingku adalah suara denging dan detak jantungku sendiri. Kepalaku semakin tertunduk dalam. Tak kuasa menatap mata papa yang barangkali sekarang mengandung bara.

“Kamu jangan coba-coba bercanda saya papa, Dan.”

Aku mendongak. Aku memang melihat sorot mata amarah itu. “Nggak, Pa. Daniel serius. Malam kemarin Daniel mengucapkan syahadat di masjid kampus.”

Aku melihat bara di mata papa. Aku melihat rahang papa mengeras. Tahu-tahu dia menghampiriku dan menggamparku habis-habisan.

“Anak Anjing! Tak tahu diuntung! Percuma aku biayain hidupmu jika akhirnya seperti ini! Anak durhaka!” pukulan demi pukulan mendarat di tubuhku. Mama yang sedari tadi berada di kamar- barangkali tengah melipat baju- dengan tergesa menuju ke depan sembari histeris. Meminta Papa untuk berhenti menjadikanku sebagai samsak hidup. Renald tidak peduli. Dia hanya menonton tanpa berkata apa-apa. Sejak dulu, hubunganku dengan Renald memang dingin, datar dan biasa saja. Kami tidak seperti adik kakak. Bahkan barangkali kami seperti dua makhluk berbeda alam saking cueknya antara aku dan dia.

“Pergi kamu dari rumah ini!” itulah kata pamungkas Papa.

“Sudah Pa! Sudah!” Mama memeluk tubuhku yang memar dan menciumi kepalaku. “Kenapa kamu jadi begini, nak.”

Malam itu juga, aku keluar dari rumah dengan hidung dan mulut berdarah. Kukemasi baju-bajuku. Tidak semuanya kemasukan ke dalam ransel. Aku hanya membawa beberapa setel pakaian dan diktat kuliah. Mama memintaku untuk tetap tinggal. Tapi aku tidak ingin menyimpan bara sekam di rumah itu.

Ketika aku menstater motor ninja merah hadiah ultahku yang kesembilan belas, papa muncul dari ambang pintu. “Jangan kau bawa motor itu! kamu tak boleh membawa apa yang telah aku berikan!”

Aku pun menyimpan kunci motor itu di atas meja. Kemudian berlalu dengan hati yang luka. Diantar oleh mata amarah papa dan tangis mama. Langkahku terseok. Ini sudah malam. Tapi aku tahu jam segini angkot masih berlalu lalang. Sekarang kemana tujuanku? Tak ada tujuan selain rumah Jani sahabat karibku.

Bersambung

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment