#cerpenramadhan
Dua bulan yang lalu aku resmi memeluk agama islam atas
pilihanku sendiri. sebenarnya aku sangat ingin berganti nama. Mengubah namaku
dengan nama yang berbau islam semacam Ahmad, Yusuf atau apalah. Akan tetapi aku
tahu bahwa mengganti nama itu tidaklah gampang, jadi aku mempertahankan nama
pemberian Mama. Daniel Atmawijaya. Atmawijaya itu nama papaku.
Tentunya kedua orangtuaku sangat kaget ketika mereka tahu aku
pindah agama. Tak hanya kaget, mereka juga murka semurka-murkanya. Di moment
itu, aku melihat kemarahan yang tidak ada bandingnya. Aku belum pernah melihat
mereka semarah itu. ayah menyumpahiku dengan semua nama jenis binatang yang ada
di ragunan. Mama menangis dan memintaku untuk kembali ke agama lamaku. Tapi tekadku
sudah bulat. Aku sudah yakin dengan pilihanku sendiri.
Kau pasti bertanya-tanya, bagaimana caranya aku bisa tertarik
dengan agama islam? Kenapa bisa?
Semua memang tidak mudah. Dan semua bermula dari kebiasaanku
mendengarkan kajian-kajian di Youtube. Aneh memang. Seorang non-islam maniak
mendengarkan kajian.
“Eh! Lu kan nonis, kok dengerin ceramah ustadz Abdullah sih,”
begitulah komentar si Jani, teman sefakultasku dulu ketika kami duduk
beristirahat di pelataran masjid kampus. Aku dan Jani memang sahabat karib. Kami
biasanya duduk berdiskusi di teras masjid kampus.
“Suka aja,” jawabku dengan senyum simpul. Memang,
ceramah-ceramah ustadz Abdullah terdengar begitu sejuk di hatiku. Tidak ada
ujaran kebencian, penghakiman dan lain semacamnya. Lelaki berjanggut lebat itu
seringkali membahas tentang hati dan akhlak. Semuanya mengena di hatiku.
Bertahun lamanya aku mendengarkan kajian ustadz-ustadz di
chanel Youtube. Bahkan beberapa kali aku ikut teman-temanku di pengajian
luring. Bahkan, aku terkadang meminta teman-teman muslimku untuk melibatkan
diriku di acara bazar Ramadan ketika bulan puasa tiba.
“Nggak salah, nih?” tanya Yuanda, ketika aku mengutarakan
niat baikku itu.
“Emang nggak boleh ya non islam ikut kepanitiaan acara
ramadhan?” aku balik bertanya. Karena aku pikir memang begitu.
Yuanda tertawa. “Ya Boleh lah. Masa nggak boleh. Cuman ini
pertama kalinya seorang non muslim pengen ikut jadi panitia acara Ramadhan. Kalo
mau ayuk aja. Aku malah seneng. Kebetulan kita kurang personel nih,” lanjut
Yuanda dengan sukacita.
Sejak saat itulah aku semakin akrab dengan teman-teman di LDK
(Lembaga Dakwah Kampus). Bahkan aku mengikuti pengajian rutin mereka yang biasa
diadakan hari rabu. Sepekan sekali. Hingga di suatu hari yang aku anggap
sebagai hari keberuntunganku, aku mengutarakan keinginanku untuk masuk islam
kepada Jani.
“Jan, aku mau jadi muslim,” ujarku dengan suara pelan.
“Hah? Apa?” ada ekspresi kaget di wajah Jani. Wajah yang pada
dasarnya tampak polos itu jadi tampak semakin polos dengan ekspresi kagetnya.
Aku jadi gemas. Maka aku ulangi kata-kataku. “Aku mau jadi
islam. Aku mau syahadat.”
Raut kaget belum sirna dari wajah Jani. “Kamu sudah pikirkan
matang-matang?”
Aku mengangguk mantap.
“Alhamdullah kalau begitu. Besok malam aku antar kamu ke rumah
ustadz Baidowi buat syahadat,” jelas Jani. Wajah kagetnya berganti dengan aura
yang penuh dengan antusiasme. Dia tampak begitu bahagia mendengar rencanaku
untuk memeluk islam.
“Sekarang juga bisa kok. Kebetulan karena rutin ngaji aku
sudah hapal syahadat. Asyhadu alla Illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah.”
“Masya Allah Ajib. Tapi ‘Ilahanya’ kelewat tadi. Coba ulangi,”
timpal Jani. Aku mengulangi kalimat syahadat dan Jani mengoreksi bacaanku.
Begitulah, singkat cerita aku menjadi muslim seutuhnya. Aku bersyahadat
di rumah ustadz Baidowi. Kemudian setelah itu aku syahadat kembali di masjid
kampus dengan disaksikan ratusan jamaah yang notabene adalah teman-teman LDK
yang sudah aku kenal.
Saat itu aku menangis haru di depan mimbar, di samping pak
ustadz yang membimbing syahadatku.
“Ikhwah fillah, sekarang kita memiliki saudara baru. Sudah sepantasnya
kita menyambut dengan hati yang bahagia. Silakan, buat akhi fillah untuk
berjabat tangan dengan akh Daniel.” Begitulah sang ustadz memungkas kata.
Maka satu demi satu jamaah itu menyalami diriku, menepuk
bahuku bahkan memelukku sembari membisikan kata-kata ‘selamat’ di telingaku. Saat
itu, aku menangis haru. Tangis yang begitu nikmat kurasakan. Tangis keharuan
yang memuncak dan membuat hatiku bergetar hebat. Jani memelukku dengan tangis
yang tak kalah basah. Dia memelukku dengan erat. “Alhamdulillah ya Robb,”
bisiknya sambil terisak.
Aku harus membayar mahal keislamanku. Sejak mengucapkan
syahadat, aku tidak menyembunyikan semua itu. Tidak seperti buku-buku islam
yang kusembunyikan di bawah kasur ketika aku belum resmi memeluk islam. Tidak seperti
alquran terjemah Indonesia yang aku simpan di bawah lipatan baju biar mama tak
mengetahuinya. Itu dulu. Sekarang aku sudah terlahir kembali menjadi pribadi
yang baru. Aku harus bisa bertanggungjawab dan menanggung resikonya. Sama seperti
Bilal yang rela ditindih batu hitam. Seperti Mush’ab bin Umair yang rela
disiksa ibunda dan kehilangan semua kemewahan dunia karena memilih islam. By the
way, aku tahu kisah Bilal dan Mushab dari buku tentang sahabat nabi yang
dipinjamkan Yuanda kepadaku. Baru dua kisah luar biasa itu yang telah aku baca.
Nah, aku ingin meneladani mereka. Aku harus jujur pada papa dan mama.
Aku masih ingat, di suatu malam, ketika kami berkumpul di
ruang tamu, dengan suara bergetar kuungkapkan semuanya.
“Pa, Daniel mau ngomong sesuatu,” ujarku kepada papa yang
tengah sibuk menyesap rokoknya sembari memainkan ponsel.
“Apa? Mau minta duit kok pake basa basi segala,” begitulah
respon Papa. Karena biasanya jika uang saku telah tandas, aku langsung menemui
beliau.
“Bukan itu. ada hal lain yang ingin Daniel katakana,”
timpalku. Kepalaku menunduk dalam.
“Apa? Kamu menghamili anak orang? Anak siapa?”
Ini lebih parah. Duh! “Bukan, Pa.”
“Lalu apa?”
“Daniel sudah masuk islam.”
Ada jeda yang begitu menyakitkan sekaligus membawa hawa yang
tiba-tiba begitu dingin dan mengerikan. Dalam keheningan itu, aku bisa
mendengar suara tik tok jarum jam terdengar begitu nyaring. Bahkan suara televisi
yang sedang ditonton Reland, kakaku terdengar sangat sayup. Yang ada di
kupingku adalah suara denging dan detak jantungku sendiri. Kepalaku semakin
tertunduk dalam. Tak kuasa menatap mata papa yang barangkali sekarang
mengandung bara.
“Kamu jangan coba-coba bercanda saya papa, Dan.”
Aku mendongak. Aku memang melihat sorot mata amarah itu. “Nggak,
Pa. Daniel serius. Malam kemarin Daniel mengucapkan syahadat di masjid kampus.”
Aku melihat bara di mata papa. Aku melihat rahang papa
mengeras. Tahu-tahu dia menghampiriku dan menggamparku habis-habisan.
“Anak Anjing! Tak tahu diuntung! Percuma aku biayain hidupmu
jika akhirnya seperti ini! Anak durhaka!” pukulan demi pukulan mendarat di
tubuhku. Mama yang sedari tadi berada di kamar- barangkali tengah melipat baju-
dengan tergesa menuju ke depan sembari histeris. Meminta Papa untuk berhenti
menjadikanku sebagai samsak hidup. Renald tidak peduli. Dia hanya menonton
tanpa berkata apa-apa. Sejak dulu, hubunganku dengan Renald memang dingin,
datar dan biasa saja. Kami tidak seperti adik kakak. Bahkan barangkali kami
seperti dua makhluk berbeda alam saking cueknya antara aku dan dia.
“Pergi kamu dari rumah ini!” itulah kata pamungkas Papa.
“Sudah Pa! Sudah!” Mama memeluk tubuhku yang memar dan
menciumi kepalaku. “Kenapa kamu jadi begini, nak.”
Malam itu juga, aku keluar dari rumah dengan hidung dan mulut
berdarah. Kukemasi baju-bajuku. Tidak semuanya kemasukan ke dalam ransel. Aku hanya
membawa beberapa setel pakaian dan diktat kuliah. Mama memintaku untuk tetap
tinggal. Tapi aku tidak ingin menyimpan bara sekam di rumah itu.
Ketika aku menstater motor ninja merah hadiah ultahku yang
kesembilan belas, papa muncul dari ambang pintu. “Jangan kau bawa motor itu!
kamu tak boleh membawa apa yang telah aku berikan!”
Aku pun menyimpan kunci motor itu di atas meja. Kemudian berlalu
dengan hati yang luka. Diantar oleh mata amarah papa dan tangis mama. Langkahku
terseok. Ini sudah malam. Tapi aku tahu jam segini angkot masih berlalu lalang.
Sekarang kemana tujuanku? Tak ada tujuan selain rumah Jani sahabat karibku.
Bersambung
No comments:
Post a Comment