Sedekah itu ada ilmunya. Sedekah ada fikih dan sisi historisnya juga. Jika ingin sedekah, lihat bagaimana fikihnya. Jika ingin sedekah teladani bagaimana Rasulullah dan para sahabat mengaplikasikan sedekah itu.
Sayangnya, banyak orang yang
salah kaprah dalam urusan sedekah ini. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan.
Pertama, sedekahnya orientasi
dunia melulu.
Ente sedekah, besok langsung
diganti sama mobil. Percaya itu!' ujar seorang ustadz sedekah.
Besoknya ternyata mobil itu tidak
kunjung datang. Kecewalah dia karena tertipu konsep sedekah yang salah kaprah.
Padahal, janji diganti dengan 10
kali lipat itu adalah janji pahala akhirat. Bukan duniawi. Adapun di dunia,
bisa saja diganti, bisa saja tidak. Itu kehendak Allah.
Hanya saja si ustadz salah kaprah
dan memberi sugesti seakan semua sedekah itu adalah keuntungan duniawi. Sungguh
murah!
Kedua, tidak memperhatikan
prioritas dalam sedekah
Sedekah yang paling utama itu
kepada keluarga, kerabat, orang terdekat, yatim, dan seterusnya. Kamu salah
besar jika kemudian menyedekahkan semua hartamu sampai 0 rupiah. Kemudian anak
istrimu terlantar dan kelaparan. Kamu benar-benar telah mendzalimi anak istrimu
hanya karena termakan sesumbar, ‘sedekahkan semua hartamu, Allah akan ganti.’
Sementara kamu lupa ada orang yang wajib dinafkahi. Dan Rasulullah bilang, ‘Sedekah
yang utama itu sedekah untuk keluarga.’
Ketiga, menyedekahkan seluruh
harta sampai lupa diri sendiri.
Memang ada riwayat yang bilang
Abu Bakar menyedekahkan seluruh hartanya. Tapi kita lihat dulu sejarah dan komentar
ahli hadits. Abu Bakar itu seorang pedagang yang sangat handal. Ketika dia
mengeluarkan semuanya hari ini, besok dia dapet laba lagi dari perniagaannya.
Lha kita? Orang PNS misalnya, yang gajian sebulan sekali. Pas udah gajian 100%
gajinya dia sedekahkan. Hasilnya, 29 hari dia dan anak istrinya kelaparan.
Sedekah itu wajib, tapi bodoh jangan.
Keempat, Ulama mengatakan bahwa
sedekah itu maksimal sepertiga dari total harta. Ada haditsnya
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia
bercerita,
‘Pada tahun haji wada’ Rasulullah
SAW mendatangiku untuk menjenguk ketika aku sakit keras. Aku berkata, ‘Ya
Rasul, aku kini sakit keras sebagaimana kaulihat. Sedangkan aku orang berharta.
Tidak ada yang menerima warisanku kelak kecuali seorang putriku. Bolehkah aku
menyedekahkannya sebesar 2/3 dari hartaku?’ Rasul menjawab, ‘Tidak (boleh).’
Aku bilang, ‘Setengahnya?’ ia menjawab, ‘Tidak (boleh).’ Aku bilang,
‘Sepertiga?’ Ia menjawab, ‘Sepertiga. Sepertiga itu banyak. Sungguh, kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kau
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, kelak mereka mengemis kepada orang
lain. Sungguh, tiada nafkah yang kauberikan karena mengharap ridha Allah
melainkan kau diberi pahala atasnya, termasuk nafkahmu yang masuk ke mulut
istrimu,’’” (HR Bukhari).
No comments:
Post a Comment