5 Dec 2021

POHON TANDA CINTA

 (Cerpen ini diikutkan dalam 'Lomba Cipta Cerpen Palestina' yang diselenggarakan oleh FLP)


Ayyad al-Harimi menatap nanar pohon zaitun di ladangnya. Matanya memerah, berair dan memancarkan binar marah. Pohon zaitun yang berpuluh tahun lamanya telah menjadi saksi bagi kehidupan yang terus berkelindan, kini telah tumbang. Para durjana itu telah menebang pohon tanda cinta itu tanpa pernah berpikir bagaimana hal itu bisa menyakitinya.

Ayyad tidak peduli dengan pohon-pohon lain. Ada ratusan pohon zaitun yang dibakar pemukim jahanam itu. Ada ratusan bibit yang hangus dan menghitam. Asap masih mengepul. Agaknya mereka semalaman berpesta dengan cara membakar semua ladang zaitun yang siap panen. Semua hangus dan tumbang tanpa sisa. Tak ada yang bisa dipanen selain memanen rasa marah yang memuncak.

Tapi, zaitun besar itu… Oh Tuhan! Ingin rasanya Ayyad mati saat itu juga.

Bagi Ayyad al-Harimi, pohon zaitun yang tumbuh di tengah-tengah ladang miliknya itu adalah tanda cinta abadi yang diwariskan dari kakeknya. Dahulu, kakeknya selalu bercerita tentang cinta dan pohon zaitun itu kepadanya. Bahkan sebelum dia bisa membaca dan menulis, Ratib al-Harimi, sang kakek selalu dengan bangga mengumbar cerita itu dari masa ke masa. Saat itu, ladang itu masih begitu luas karena belum dibagi-bagi sebagai warisan. Ladang itu masih terbentang tanpa penghalang tembok-tembok pemukiman ilegal yang dibangun oleh Israel.  Tapi sekarang, tembok-tembok itu telah menodai keindahan. Padang yang luas menghampar itu harus dinodai oleh koloni-koloni perumahan Yahudi yang dibangun di atas tanah orang-orang Palestina.

“Kau lihat pohon zaitun yang paling besar itu?” tanya sang kakek di suatu sore, dua puluh tahun yang lalu, sembari menunjuk pohon zaitun besar yang rindang dan tengah berbuah ranum.

Ayyad mengangguk sembari menatap mata sang kakek yang selalu hidup dengan binar. Tatapan matanya yang redup itu seakan ingin mengatakan kepadanya bahwa jalan hidup yang harus mereka lalui masih panjang dan penuh liku.

“Pohon itu usianya seabad lebih. Diwariskan dari generasi ke generasi, dan selalu diwasiatkan untuk dijaga dari masa ke masa,” terang kakek dengan nada bangga. “Pohon itu diwariskan kepadaku oleh kakek. Lebih tepatnya bukan diwariskan, tapi dihadiahkan di hari ulang tahunku yang kedua puluh. Dua bulan sebelum pernikahanku. Setelah aku menikah dengan nenekmu, pohon itu kemudian aku hadiahkan kepada nenekmu. Dan nenekmu selalu bilang, pohon itu adalah pohon cinta.”

Ayyad menatap takjub mata kakek yang berbinar terang.

“Kemudian nenekmu menghadiahkan pohon itu kepada ibumu, sebagai hadiah pernikahan dia dengan ayahmu. Kelak, kau pun bisa menghadiahkan pohon zaitun ini kepada calon istrimu. Supaya pohon cinta ini tetap abadi. Diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak hanya sebatas pohon, tapi simbol cinta yang selalu manis untuk dikenang.”

Saat itu Ayyad hanya mengangguk-anggukan kepala. Dia tentu saja belum bisa berpikir tentang apa pentingnya cinta dalam kehidupan manusia. Dia juga tidak tahu apa pentingnya istri. Dia hanya bocah kecil yang hanya tahu bahwa gula-gula yang manis itu lebih menarik dibandingkan berbicara tentang cinta. Lagi pula, sudah jelas kakeknya salah alamat karena menceritakan kisah cintanya pada bocah ingusan.

Meski saat itu dirinya belum paham tentang cerita cinta sang kakek, tapi sembilan belas tahun setelah itu dia sudah memahaminya. Dia sudah memahami cinta dan pentingnya kehidupan rumah tangga ketika bertemu Ayesha, sang pujaan hatinya.  Ketika itikad baik itu disampaikan, baik kepada keluarga al-Harimi –keluarganya- dan juga kepada keluarga Stayeh –keluarga calon istrinya-, dia sudah berangan-angan untuk menjadikan pohon itu sebagai pohon cinta.

Bahkan sebelum dia memintanya kepada Alaa -sang ayah yang lembut dan baik hati-, Alaa sudah menghampirinya, seperti biasa lelaki paruh baya itu memegang pundaknya, mengecupnya dan bilang dengan lembut, “Pohon zaitun di ladang itu aku hadiahkan kepadamu di hari yang paling sakral.”

“Hari yang sakral?”

“Ya, hari pernikahanmu.”

Ayyad tersenyum lebar. Tak ada hadiah yang paling indah yang dia terima selain hadiah pohon zaitun legendaris itu.

Awalnya Ayyad khawatir bahwa saudara-saudara tertuanya akan merasa cemburu karena pohon itu diberikan kepadanya sebagai anak bungsu. Harusnya pohon itu diberikan kepada anak tertua sebagaimana tradisi selama ini. Tapi, agaknya kakak-kakaknya sudah memahami hal itu. Lagi pula, orangtua mereka selalu mendidik mereka untuk tidak pernah iri terhadap saudara sendiri.  Dia masih ingat pepatah Baba belasan tahun yang lalu, ‘Kalian tidak layak untuk bertengkar dengan saudara kandung. Bahkan bertengkar dengan saudara setanah air pun adalah hal yang menjijikan. Bagaimana mungkin kita bisa memerdekakan tanah Palestina jika dengan saudara kandung saja kalian tidak pernah akur.”

Nasihat itu selalu digaungkan ketika dia dan kakaknya yang hanya terpaut umur dua tahun bertengkar hanya karena hal-hal sepele.

Jadi, Ayyad bisa berbangga hati untuk hadiah itu.

Singkat cerita, terjadilah pernikahan yang membahagiakan itu. Ketika prosesi pernikahan itu berlangsung, maka pohon itu telah menjadi milik Ayyad. Seminggu setelah berbulan madu di hebron, dia kembali pulang ke rumah, membantu kakek dan Baba di ladang, menyiangi bibit-bibit zaitun dan anggur dari hama dan gulma dan menyiram bibit yang baru ditanam.

Ayyad tidak hanya jatuh cinta terhadap Ayesha, tapi dia juga jatuh cinta pada pohon zaitun itu. Dia selalu mengajak istrinya mengisi hari sore dengan duduk di bawah rindangnya sembari mendendangkan lagu-lagu cinta mereka berdua.

“Pohon ini adalah saksi cinta kita, Ayesha,” bisiknya di telinga kanan sang istri, dibalas oleh cekikikan geli Ayesha. “Oleh karena itu, pohon ini akan terus abadi. Kelak kita juga akan menghadiahkan pohon ini kepada anak kita di hari pernikahan mereka.”

“Kau terlalu banyak mengkhayal, Ayyad. Lalu bagaimana jika pohon ini ternyata mati? Bukankah pohon ini sudah terlalu tua?”

“Pohon zaitun itu berbeda dengan pohon-pohon lainnya, Ayesha. Zaitun itu bisa tumbuh ratusan, bahkan ribuan tahun. Maka, pohon ini akan tetap abadi sebagai tanda cinta dari generasi ke generasi.”

Biasanya, jika Ayyad merasa lelah di tengah aktifitasnya di kebun, dia akan menatap pohon zaitun yang paling besar itu, menghela napas kemudian kembali bekerja bersama sang istri dengan hati yang berbunga-bunga. Di saat banyak pemuda yang mengadu nasib ke kota-kota jajahan dan Tel Aviv, Ayyad lebih senang mengolah tanah dan kebun bersama kakek dan Baba.

Kemudian, berbulan-bulan setelah itu mereka akan memanen hasil bumi yang melimpah ruah. Sebagian dijual di Hebron, sebagian yang lain dijual ke wilayah jajahan Israel di Jerusalem. Hasil dari penjualan buah zaitun itu, mereka bisa merenovasi rumah mereka yang sempit dan lembab dengan tembok yang lebih kokoh. Rumah itu diperlebar, diperbesar dan diperindah. Tiga keluarga berkumpul menjadi keluarga besar yang saling melengkapi.

Akan tetapi kebahagiaan itu harus musnah dua tahun setelahnya. Hari yang kelam itu datang tanpa pernah membawa tanda atau firasat. Tiba-tiba saja, ada selusin serdadu zionis datang ke rumah mereka dengan gaya yang pongah dan mengintimidasi. “Kalian harus mengosongkan rumah kalian.”

“Kenapa?” tanya kakek dengan tatapan paling berani.

“Karena bangunan yang kalian dirikan ini tidak berizin,” kilah sang serdadu itu dengan dagu yang terangkat.

“Jika kalian menginginkan kami pergi dan mengosongkan rumah ini, langkahi dulu mayatku!” balas Baba. Dia memang selalu berani.

Para serdadu durjana itu pergi karena mereka tidak berhasil mengintimidasi. Hanya saja, dua pekan setelahnya mereka kembali datang dengan cara yang lebih kejam dari kedatangan yang pertama. Mereka menempel stiker penyitaan rumah di pintu depan. Kemudian sesumbar, “Jika dalam tempo tiga hari kalian tidak mau mengosongkan rumah, maka terpaksa kami akan membongkarnya dan kalian harus membayar denda untuk biaya pembongkaran. Atau kami akan memberikan kalian kesempatan untuk membongkar rumah kalian sehingga kalian tidak perlu membayar tagihan pembongkaran.”

Apa-apan ini? Bayangkan! Kau harus membongkar rumahmu sendiri yang telah kau bangun dari jerih payahmu selama bertahun-tahun. Atau kau biarkan para durjana itu membongkar rumahmu itu, kemudian kau harus membayar biaya pembongkaran!

Ayyad hanya bisa merutuk. Ingin rasanya dia memukul wajah serdadu itu satu persatu. Dia sudah hendak menerjang karena rasa amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun. Hanya saja Baba menahan tangannya. “Jika kau melawan mereka, itu percuma. Mereka punya senjata, kita hanya punya penyiram tanaman.” Baba ada benarnya, maka Ayyad hanya bisa menelan rasa marahnya sehingga membuat dadanya begitu sesak.

Tiga hari setelah itu, serdadu itu datang dengan membawa bulldozer dan alat berat lainnya. Rumah yang mereka bangun dari hasil keringat dan berpanas-panas di kebun zaitun, harus hancur dalam tempo satu jam. Mereka bukan satu-satunya korban kedzaliman, ada lima rumah di distrik itu yang turut dihancurkan. Salahsatunya adalah sekolah taman kanak-kanak. Dirobohkan dengan alasan yang sama. Alasan yang klise; dibangun tanpa izin.

Keluarga Luay tetangga yang hanya dipisahkan oleh lima rumah lebih memilih menghancurkan rumah mereka sendiri. Luay tidak ingin menderita dua kali karena harus membayar uang denda pasca penghancuran. Maka, dengan linang air mata, mereka menghancurkan rumah mereka. Tapi bagi keluarga al-Harimi, tak ada kata menyerah. Mereka mempertahankan rumah itu sampai serdadu durjana itu menendang mereka dari muka pintu. Melemparkan semua barang-barang yang masih bertahan di dalam, bahkan melempar orang-orang yang mereka anggap keras kepala.

Ayyad merasakan hatinya hancur. Tapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dia melihat Ayesha menangis terisak-isak di sampingnya, menyandarkan kepala di bahu Ayyad dengan hati yang sama hancurnya. Sementara Umma menangis histeris. Nenek pingsan demi melihat rumah itu roboh perlahan. Kakek hanya bisa terduduk pasrah. Sementara Baba seperti kesetanan, memukul-mukul sang serdadu dengan tangan kosong, hingga akhirnya tangan Baba dipiting dan diborgol, kemudian dibawa pergi dengan alasan  mengganggu ketertiban. Sungguh dunia ini sangat membingungkan.

Malam setelah peristiwa penghancuran itu, kerabat jauh datang membawa tenda, mendirikan tenda untuk keluarga al-Harimi dan perabotannya yang berserakan di samping puing. Mereka menyalakan lampu, dan berdiam ditelan rasa sedih yang belum juga hilang. Umma memasak shawarma dalam diam. Para tetangga datang membawa penghiburan. Para jurnalis datang menanyakan kronologi kejadian, kemudian menyiarkannya lewat media massa dan televisi. Menularkan rasa marah dan frustasi ke seluruh wilayah jajahan. Kemudian menerbitkan rasa khawatir bagi mereka yang memiliki rumah yang rawan dari penghancuran.

Ayyad berdiri. Di kebunnya sendiri. Kilasan-kilasan dari masa silam meremukan semua harapan. Kemudian menerbitkan amarah yang menggulung. Menggunung. Meletus di ubun-ubun laksana lahar yang sudah lama menanggung tekanan hawa panas bumi.

Ayyad meremas rerumputan. Dia melihat serdadu dan pemukim tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia mengambil batu, melemparkannya secara serampangan. Hingga kemudian dia mendengar suara letusan. Suara letusan yang jauh, tapi sakitnya begitu dekat dan menyatu. Dia melihat darah di dadanya.

Ayyad ambruk. Tatapan terakhirnya terpaku pada pohon zaitun yang sama-sama tumbang. Pohon tanda cinta.

‘Selamat tinggal, pohon zaitunku.’

‘Selamat tinggal, Ayesha, cintaku.’

‘Selamat tinggal Palestinaku.’

Selamat tinggal dunia yang kejam.’

Ayyad menghela napas penghabisan. Darahnya merembes, menyelusup tanah dan rerumputan. Dan dia terpejam untuk selamanya bersama pohon zaitun yang telah habis riwayatnya.

 

 

 

 

 

 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment