(Cerpen ini diikutkan dalam 'Lomba Cipta Cerpen Palestina' yang diselenggarakan oleh FLP)
Ayyad al-Harimi menatap nanar pohon
zaitun di ladangnya. Matanya memerah, berair dan memancarkan binar marah. Pohon
zaitun yang berpuluh tahun lamanya telah menjadi saksi bagi kehidupan yang
terus berkelindan, kini telah tumbang. Para durjana itu telah menebang pohon
tanda cinta itu tanpa pernah berpikir bagaimana hal itu bisa menyakitinya.
Ayyad tidak peduli dengan pohon-pohon
lain. Ada ratusan pohon zaitun yang dibakar pemukim jahanam itu. Ada ratusan
bibit yang hangus dan menghitam. Asap masih mengepul. Agaknya mereka semalaman
berpesta dengan cara membakar semua ladang zaitun yang siap panen. Semua hangus
dan tumbang tanpa sisa. Tak ada yang bisa dipanen selain memanen rasa marah
yang memuncak.
Tapi, zaitun besar itu… Oh Tuhan! Ingin
rasanya Ayyad mati saat itu juga.
Bagi Ayyad al-Harimi, pohon zaitun
yang tumbuh di tengah-tengah ladang miliknya itu adalah tanda cinta abadi yang
diwariskan dari kakeknya. Dahulu, kakeknya selalu bercerita tentang cinta dan
pohon zaitun itu kepadanya. Bahkan sebelum dia bisa membaca dan menulis, Ratib
al-Harimi, sang kakek selalu dengan bangga mengumbar cerita itu dari masa ke
masa. Saat itu, ladang itu masih begitu luas karena belum dibagi-bagi sebagai
warisan. Ladang itu masih terbentang tanpa penghalang tembok-tembok pemukiman ilegal
yang dibangun oleh Israel. Tapi sekarang,
tembok-tembok itu telah menodai keindahan. Padang yang luas menghampar itu
harus dinodai oleh koloni-koloni perumahan Yahudi yang dibangun di atas tanah orang-orang
Palestina.
“Kau lihat pohon zaitun yang paling
besar itu?” tanya sang kakek di suatu sore, dua puluh tahun yang lalu, sembari
menunjuk pohon zaitun besar yang rindang dan tengah berbuah ranum.
Ayyad mengangguk sembari menatap mata
sang kakek yang selalu hidup dengan binar. Tatapan matanya yang redup itu
seakan ingin mengatakan kepadanya bahwa jalan hidup yang harus mereka lalui
masih panjang dan penuh liku.
“Pohon itu usianya seabad lebih. Diwariskan
dari generasi ke generasi, dan selalu diwasiatkan untuk dijaga dari masa ke
masa,” terang kakek dengan nada bangga. “Pohon itu diwariskan kepadaku oleh
kakek. Lebih tepatnya bukan diwariskan, tapi dihadiahkan di hari ulang tahunku
yang kedua puluh. Dua bulan sebelum pernikahanku. Setelah aku menikah dengan
nenekmu, pohon itu kemudian aku hadiahkan kepada nenekmu. Dan nenekmu selalu
bilang, pohon itu adalah pohon cinta.”
Ayyad menatap takjub mata kakek yang
berbinar terang.
“Kemudian nenekmu menghadiahkan pohon
itu kepada ibumu, sebagai hadiah pernikahan dia dengan ayahmu. Kelak, kau pun
bisa menghadiahkan pohon zaitun ini kepada calon istrimu. Supaya pohon cinta
ini tetap abadi. Diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak hanya sebatas
pohon, tapi simbol cinta yang selalu manis untuk dikenang.”
Saat itu Ayyad hanya
mengangguk-anggukan kepala. Dia tentu saja belum bisa berpikir tentang apa
pentingnya cinta dalam kehidupan manusia. Dia juga tidak tahu apa pentingnya
istri. Dia hanya bocah kecil yang hanya tahu bahwa gula-gula yang manis itu
lebih menarik dibandingkan berbicara tentang cinta. Lagi pula, sudah jelas
kakeknya salah alamat karena menceritakan kisah cintanya pada bocah ingusan.
Meski saat itu dirinya belum paham
tentang cerita cinta sang kakek, tapi sembilan belas tahun setelah itu dia
sudah memahaminya. Dia sudah memahami cinta dan pentingnya kehidupan rumah
tangga ketika bertemu Ayesha, sang pujaan hatinya. Ketika itikad baik itu disampaikan, baik
kepada keluarga al-Harimi –keluarganya- dan juga kepada keluarga Stayeh –keluarga
calon istrinya-, dia sudah berangan-angan untuk menjadikan pohon itu sebagai
pohon cinta.
Bahkan sebelum dia memintanya kepada
Alaa -sang ayah yang lembut dan baik hati-, Alaa sudah menghampirinya, seperti
biasa lelaki paruh baya itu memegang pundaknya, mengecupnya dan bilang dengan
lembut, “Pohon zaitun di ladang itu aku hadiahkan kepadamu di hari yang paling sakral.”
“Hari yang sakral?”
“Ya, hari pernikahanmu.”
Ayyad tersenyum lebar. Tak ada hadiah
yang paling indah yang dia terima selain hadiah pohon zaitun legendaris itu.
Awalnya Ayyad khawatir bahwa
saudara-saudara tertuanya akan merasa cemburu karena pohon itu diberikan
kepadanya sebagai anak bungsu. Harusnya pohon itu diberikan kepada anak tertua
sebagaimana tradisi selama ini. Tapi, agaknya kakak-kakaknya sudah memahami hal
itu. Lagi pula, orangtua mereka selalu mendidik mereka untuk tidak pernah iri
terhadap saudara sendiri. Dia masih
ingat pepatah Baba belasan tahun yang lalu, ‘Kalian tidak layak untuk
bertengkar dengan saudara kandung. Bahkan bertengkar dengan saudara setanah air
pun adalah hal yang menjijikan. Bagaimana mungkin kita bisa memerdekakan tanah
Palestina jika dengan saudara kandung saja kalian tidak pernah akur.”
Nasihat itu selalu digaungkan ketika
dia dan kakaknya yang hanya terpaut umur dua tahun bertengkar hanya karena
hal-hal sepele.
Jadi, Ayyad bisa berbangga hati untuk
hadiah itu.
Singkat cerita, terjadilah pernikahan
yang membahagiakan itu. Ketika prosesi pernikahan itu berlangsung, maka pohon
itu telah menjadi milik Ayyad. Seminggu setelah berbulan madu di hebron, dia
kembali pulang ke rumah, membantu kakek dan Baba di ladang, menyiangi
bibit-bibit zaitun dan anggur dari hama dan gulma dan menyiram bibit yang baru
ditanam.
Ayyad tidak hanya jatuh cinta
terhadap Ayesha, tapi dia juga jatuh cinta pada pohon zaitun itu. Dia selalu
mengajak istrinya mengisi hari sore dengan duduk di bawah rindangnya sembari
mendendangkan lagu-lagu cinta mereka berdua.
“Pohon ini adalah saksi cinta kita,
Ayesha,” bisiknya di telinga kanan sang istri, dibalas oleh cekikikan geli
Ayesha. “Oleh karena itu, pohon ini akan terus abadi. Kelak kita juga akan
menghadiahkan pohon ini kepada anak kita di hari pernikahan mereka.”
“Kau terlalu banyak mengkhayal,
Ayyad. Lalu bagaimana jika pohon ini ternyata mati? Bukankah pohon ini sudah terlalu
tua?”
“Pohon zaitun itu berbeda dengan
pohon-pohon lainnya, Ayesha. Zaitun itu bisa tumbuh ratusan, bahkan ribuan
tahun. Maka, pohon ini akan tetap abadi sebagai tanda cinta dari generasi ke
generasi.”
Biasanya, jika Ayyad merasa lelah di
tengah aktifitasnya di kebun, dia akan menatap pohon zaitun yang paling besar
itu, menghela napas kemudian kembali bekerja bersama sang istri dengan hati
yang berbunga-bunga. Di saat banyak pemuda yang mengadu nasib ke kota-kota
jajahan dan Tel Aviv, Ayyad lebih senang mengolah tanah dan kebun bersama kakek
dan Baba.
Kemudian, berbulan-bulan setelah itu
mereka akan memanen hasil bumi yang melimpah ruah. Sebagian dijual di Hebron,
sebagian yang lain dijual ke wilayah jajahan Israel di Jerusalem. Hasil dari
penjualan buah zaitun itu, mereka bisa merenovasi rumah mereka yang sempit dan
lembab dengan tembok yang lebih kokoh. Rumah itu diperlebar, diperbesar dan
diperindah. Tiga keluarga berkumpul menjadi keluarga besar yang saling
melengkapi.
Akan tetapi kebahagiaan itu harus
musnah dua tahun setelahnya. Hari yang kelam itu datang tanpa pernah membawa
tanda atau firasat. Tiba-tiba saja, ada selusin serdadu zionis datang ke rumah
mereka dengan gaya yang pongah dan mengintimidasi. “Kalian harus mengosongkan
rumah kalian.”
“Kenapa?” tanya kakek dengan tatapan
paling berani.
“Karena bangunan yang kalian dirikan
ini tidak berizin,” kilah sang serdadu itu dengan dagu yang terangkat.
“Jika kalian menginginkan kami pergi
dan mengosongkan rumah ini, langkahi dulu mayatku!” balas Baba. Dia memang
selalu berani.
Para serdadu durjana itu pergi karena
mereka tidak berhasil mengintimidasi. Hanya saja, dua pekan setelahnya mereka
kembali datang dengan cara yang lebih kejam dari kedatangan yang pertama. Mereka
menempel stiker penyitaan rumah di pintu depan. Kemudian sesumbar, “Jika dalam
tempo tiga hari kalian tidak mau mengosongkan rumah, maka terpaksa kami akan
membongkarnya dan kalian harus membayar denda untuk biaya pembongkaran. Atau kami
akan memberikan kalian kesempatan untuk membongkar rumah kalian sehingga kalian
tidak perlu membayar tagihan pembongkaran.”
Apa-apan ini? Bayangkan! Kau harus
membongkar rumahmu sendiri yang telah kau bangun dari jerih payahmu selama
bertahun-tahun. Atau kau biarkan para durjana itu membongkar rumahmu itu,
kemudian kau harus membayar biaya pembongkaran!
Ayyad hanya bisa merutuk. Ingin rasanya
dia memukul wajah serdadu itu satu persatu. Dia sudah hendak menerjang karena
rasa amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun. Hanya saja Baba menahan tangannya. “Jika
kau melawan mereka, itu percuma. Mereka punya senjata, kita hanya punya
penyiram tanaman.” Baba ada benarnya, maka Ayyad hanya bisa menelan rasa
marahnya sehingga membuat dadanya begitu sesak.
Tiga hari setelah itu, serdadu itu
datang dengan membawa bulldozer dan alat berat lainnya. Rumah yang mereka
bangun dari hasil keringat dan berpanas-panas di kebun zaitun, harus hancur
dalam tempo satu jam. Mereka bukan satu-satunya korban kedzaliman, ada lima
rumah di distrik itu yang turut dihancurkan. Salahsatunya adalah sekolah taman
kanak-kanak. Dirobohkan dengan alasan yang sama. Alasan yang klise; dibangun
tanpa izin.
Keluarga Luay tetangga yang hanya
dipisahkan oleh lima rumah lebih memilih menghancurkan rumah mereka sendiri.
Luay tidak ingin menderita dua kali karena harus membayar uang denda pasca
penghancuran. Maka, dengan linang air mata, mereka menghancurkan rumah mereka. Tapi
bagi keluarga al-Harimi, tak ada kata menyerah. Mereka mempertahankan rumah itu
sampai serdadu durjana itu menendang mereka dari muka pintu. Melemparkan semua
barang-barang yang masih bertahan di dalam, bahkan melempar orang-orang yang
mereka anggap keras kepala.
Ayyad merasakan hatinya hancur. Tapi dia
tidak mampu berbuat apa-apa. Dia melihat Ayesha menangis terisak-isak di
sampingnya, menyandarkan kepala di bahu Ayyad dengan hati yang sama hancurnya. Sementara
Umma menangis histeris. Nenek pingsan demi melihat rumah itu roboh perlahan. Kakek
hanya bisa terduduk pasrah. Sementara Baba seperti kesetanan, memukul-mukul
sang serdadu dengan tangan kosong, hingga akhirnya tangan Baba dipiting dan
diborgol, kemudian dibawa pergi dengan alasan mengganggu ketertiban. Sungguh dunia ini sangat
membingungkan.
Malam setelah peristiwa penghancuran
itu, kerabat jauh datang membawa tenda, mendirikan tenda untuk keluarga al-Harimi
dan perabotannya yang berserakan di samping puing. Mereka menyalakan lampu, dan
berdiam ditelan rasa sedih yang belum juga hilang. Umma memasak shawarma dalam
diam. Para tetangga datang membawa penghiburan. Para jurnalis datang menanyakan
kronologi kejadian, kemudian menyiarkannya lewat media massa dan televisi. Menularkan
rasa marah dan frustasi ke seluruh wilayah jajahan. Kemudian menerbitkan rasa
khawatir bagi mereka yang memiliki rumah yang rawan dari penghancuran.
Ayyad berdiri. Di kebunnya sendiri. Kilasan-kilasan
dari masa silam meremukan semua harapan. Kemudian menerbitkan amarah yang
menggulung. Menggunung. Meletus di ubun-ubun laksana lahar yang sudah lama
menanggung tekanan hawa panas bumi.
Ayyad meremas rerumputan. Dia melihat
serdadu dan pemukim tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia mengambil batu,
melemparkannya secara serampangan. Hingga kemudian dia mendengar suara letusan.
Suara letusan yang jauh, tapi sakitnya begitu dekat dan menyatu. Dia melihat
darah di dadanya.
Ayyad ambruk. Tatapan terakhirnya
terpaku pada pohon zaitun yang sama-sama tumbang. Pohon tanda cinta.
‘Selamat tinggal, pohon zaitunku.’
‘Selamat tinggal, Ayesha, cintaku.’
‘Selamat tinggal Palestinaku.’
Selamat tinggal dunia yang kejam.’
Ayyad menghela napas penghabisan. Darahnya
merembes, menyelusup tanah dan rerumputan. Dan dia terpejam untuk selamanya
bersama pohon zaitun yang telah habis riwayatnya.
No comments:
Post a Comment