28 Nov 2021

CINTAKU ANTARA NABLUS DAN GAZA

(Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen 'Kisah Cinta dari Bumi Para Nabi') 


Apa yang bisa aku lakukan saat ini selain pasrah dengan nasib yang harus aku jalani? Aku sebenarnya tidak ingin berbagi kepadamu tentang kisah cinta yang aku alami saat ini. Tapi aku pikir semua akan terasa baik-baik saja ketika aku mengungkapkan semua gundah gulanaku kepadamu –selain kepada Allah yang paling utama, tentunya-. Baiklah, sudah tiga tahun lamanya aku telah jatuh cinta kepada Dalia, gadis bersahaja asal Khan Younnis yang telah menawan hatiku sejak kami bertemu tanpa sengaja.


Kau pasti bertanya-tanya, bagaimana aku dan Dalia bisa bertemu? Aku pemuda Nablus dan dia gadis Gaza. Sementara penjajah tidak memungkinkan penduduk di dua teritori itu saling mengunjungi antar dua kota. Jadi, aku bertemu dengan Dalia berkat program pertukaran pemuda yang diadakan oleh pemerintah Palestina di kotaku.


Sayangnya, Dalia tidak bisa datang ke Nablus karena terbentur izin penjajah. Akhirnya, belasan pemuda –diantaranya adalah aku dan Dalia- menjalin hubungan di internet. Kami mulai berbicara di grup, kemudian berlanjut ke percakapan pribadi, dan menemukan bahwa kami punya banyak kesamaan. Satu hari, aku mendapati di Facebook bahwa Dalia sedang berada di Yordania. Di tempat itulah aku melamar Dalia dan meminta izin pada ayahnya.  Bahkan aku dan Baba nekat mengunjungi Gaza pada tahun 2012 dengan mengambil jalur memutar melalui Mesir dan Yordania. Aku dan Baba menandatangani surat perjanjian untuk menikah. Saat itu aku melihat semburat senyum dan harapan di wajah Dalia.

“Suatu saat kita akan menikah,” janjiku padanya. Dia mengangguk dengan keyakinan yang begitu purna.

Namun tiga tahun telah berlalu, dan 20 surat permohonan perjalanan telah dilayangkan, dan kami belum juga bisa bersama.

Dalia dan kawan-kawannya meluncurkan kampanye di Facebook mencari dukungan dari dunia Arab untuk cinta kami berdua. Laman tersebut telah mendapatkan dukungan dari 40 ribu orang, mayoritas mendukung perjuangan kami untuk bersatu.

Melihat dukungan yang melimpah, awalnya aku pikir semua akan baik-baik saja. Aku berpikir bahwa kisah cinta kami akan berjalan tanpa pernah menghadapi lika liku yang membingungkan. Tapi pada kenyataannya tidak semudah itu.

“Ketika kau menjalin hubungan dengan gadis Gaza, maka itu sama saja mencari masalah yang tidak bisa kau uraikan,” jelas Fadel sahabat karibku suatu hari.

“Apa maksudmu?” tanyaku dengan hati bimbang. Sudah jelas aku tahu maksud dari pernyataannya itu. Tapi aku ingin tahu sejauh mana Fadel tahu tentang hal ini.

“Orang Gaza tidak akan pernah memiliki kebebasan untuk bisa berkunjung ke Tepi Barat. Begitu juga sebaliknya. Lalu dengan cara apa kau bisa menikahi gadis itu?”

Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Fadel ada benarnya. Tapi…apakah aku harus menyerah begitu saja? hanya karena batas-batas wilayah, tembok, check point dan gertakan anjing-anjing Zionist itu? Aku pernah berjanji kepada Dalia bahwa suatu hari aku akan datang kepadanya atas izin Tuhan. Aku akan menikahi Dalia di hadapan kedua orangatuanya, memberikannya cincin paling indah dan menjanjikannya hidup yang nyaman di Nablus. Kupikir kondisi kehidupan orang Palestina di Tepi Barat jauh lebih menjanjikan daripada di Gaza yang terblokade dari semua sisi.

“Maukah suatu saat kau aku ajak ke Nablus dan kita hidup bersama di sini?” tanyaku suatu hari padanya lewat sambungan telpon.

Dalia menghela napas panjang. “Itu artinya aku harus meninggalkan kedua orangtuaku dan adik-adikku di sini?”

“Tidak apa-apa. Kita bisa mengirimi mereka uang secara rutin. Aku bekerja di klinik. Sebentar lagi aku akan menjadi perawat di rumah sakit Nablus. Setidaknya gajiku lebih dari cukup.” Aku mencoba meyakinkan Dalia bahwa pilihan untuk hidup bersama di Nablus adalah satu pilihan yang realistis, masuk akal dan tentu saja menguntungkan jika dilihat dari segi ekonomi.

“Tapi uang saja tidak cukup. Batinku tidak akan pernas terpuaskan jika seandainya aku tidak bisa mengunjungi keluargaku di sini.” Tentu saja. masih banyak kekhawatiran yang menari-nari di benak gadis itu.

“Kita tentu saja bisa mengunjungi mereka sewaktu-waktu.”

“Itu mustahil. Sampai saat ini, perjalanan Antara Gaza dan Jerusalem pun tidak mungkin dilakukan. Bahkan orang-orang Gaza tak akan pernah diizinkan keluar dari jalur ini sampai mereka benar-benar menangis darah karenanya. Lalu, kau pikir orang Zionis itu akan mengizinkan kita pulang pergi ke Gaza dan Nablus dengan alasan kangen orangtua. Itu hal yang mustahil, Fadel.”

“Tapi bagaimana dengan kisah kita?”

“Entahlah…” Untuk yang kesekian kalinya aku mendengar helaan napasnya yang berat. Ada beban di dadanya. Dan di dadaku ada beban dua kali lipat yang menghimpitku setiap malam hanya karena memikirkan hal ini.

“Kalau begitu, biarkan aku yang tinggal di Gaza. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk bisa tinggal di sini. Aku yang akan mendatangimu, menikahimu di sana dan tinggal selamanya di sisimu. Aku tidak keberatan meninggalkan keduaorangtuaku di sini.”

Dalia tertawa sumbang. “Apa yang bisa kau lakukan di sini, Rasyid Fadah? Apakah kau begitu yakin bahwa hidupmu akan baik-baik saja di kota yang sekarat ini? Semua lelaki di sini ada di ambang putus asa karena kemiskinan dan pengangguran. Jika kau datang ke sini, maka kau hanya akan menjadi pengangguran yang hanya bergantung pada bantuan yang tidak seberapa dari lembaga internasional.”

Kali ini, aku yang menghela napas panjang. Lebih panjang dari helaan napas Dalia.

“Tapi bagaimana dengan kisah cinta kita?”

“Aku tidak tahu.”

Dalia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Jika dia saja bingung, maka aku jauh lebih bingung tentang apa yang mesti aku lakukan untuk memperjuangkan kisah cinta kami berdua. Agaknya kebingungan yang aku hadapi terbaca oleh kedua orangtuaku. Mereka tentu sudah tahu kisah cinta kami karena aku pernah mengatakannya kepada Umma dan Baba. Bahkan mereka juga sudah sering berbicara lewat skype dengan Dalia dan kedua orangtuanya di Khan Younis. Mereka tentu saja merestui hubungan kami, meski pada akhirnya mereka menyerah setelah tiga tahun menunggu.

“Sampai kapan kau akan menanti?” Tanya ibuku suatu hari. Seperti biasa, sembari mengelus puncak kepalaku. Dia memang selalu mengelus kepalaku sebagai ekspresi rasa cintanya. Tak peduli jika aku sekarang bukan anak kecil lagi yang selalu menempel pada ibunya. Aku kini pria dewasa yang sudah berusia tiga puluh tahun, dan Umma selalu memanjaku layaknya anak kecil.

“Sampai keadaan berpihak kepadaku, Umma.”

“Tapi tiga tahun lamanya kita belum melihat perubahan itu.”

“Bahkan sampai aku mati pun, aku rela menunggu.”

“Tapi bagaimana jika Dalia tidak akan tahan untuk menunggu lebih lama lagi?”

Aku tercenung beberapa saat lamanya. Akankah Dalia bosan menunggu nasib baik datang kepada kami? Jika dia tulus dengan cintanya, tentu saja dia tidak akan pernah putus asa menunggu takdir berpihak kepada kami berdua. Tapi…tentu saja aku tidak akan bisa yakin sampai benar-benar bertanya langsung kepadanya.

Maka di sore hari yang damai aku kembali menghubunginya. Kali ini yang mengangkat Stayeh, adik keduanya yang sudah lulus sekolah menengah sejak dua tahun yang lalu tapi masih menjadi pengangguran yang tidak memiliki nasib yang cerah.

“Hai Rasyid, apa kabar?”

“Baik. Bagaimana denganmu? Kau sudah menemukan pekerjaan yang layak?”

Ada tawa sumbang di seberang sana. “Mencari pekerjaan di Gaza itu sama halnya seperti mencari sebatang jarum kecil di dalam tumpukan jerami. Akhir-akhir ini aku ikut pamanku melaut di pesisir. Tapi seminggu yang lalu paman mati ditembak oleh anjing-anjing zionis itu karena melaut terlalu jauh dari lepas pantai. Seminggu ini aku hanya berdiam diri di rumah.”

Setiap kali berbicara tentang Gaza, ada kegetiran yang selalu merayap di dadaku. Yah, kupikir kondisi di Nablus juga cukup mengkhawatirkan dengan serbuan kaum-kaum pendatang yang sengaja diimpor untuk menggusur kami secara perlahan. Mereka datang bergelombang dari tahun ke tahun dalam program pemukiman yang dicanangkan oleh pemerintah Zionis. Mencaplok tanah-tanah leluhur kami dengan alasan ‘Ini adalah tanah kami yang dijanjikan Tuhan.’ Kami juga cukup riskan dengan serangan-serangan pemukim ekstrim yang menebang pohon-pohon Zaitun milik petani Nablus. Tapi kupikir kondisi di Gaza jauh lebih mengerikan. Untuk kali ini aku harus berpikir dua kali tentang rencanaku untuk datang ke Gaza dan tinggal di sana demi Dalia. Andai jalan itu yang aku ambil, maka itu adalah cara paling konyol dan bodoh. Itu sama saja menambah kesemrawutan, keputusaaan dan frustasi untuk keluarga Dalia. Karena ada satu mulut lagi yang harus dipikirkan. Jika Stayeh saja menganggur, maka jelas pendatang seperti diriku tak punya prospek yang menjanjikan.

“Apakah kau ingin berbicara dengan Dalia?”

Tanya yang dilontarkan Stayeh mampu membuyarkan lamumannku. “Oh…ee…i-iya. Aku perlu berbicara dengan kakak perempuanmu.”

“Baiklah. Tunggu sebentar.”

Stayeh masih belum menutup telpon. Aku mendengar dia berteriak memanggil Dalia. Tak berapa lama aku mendengar suara gadisku itu. “Ada apa, Rasyid?”

“Aku ingin bertanya satu hal kepadamu.” Entah kenapa jantungku sekarang berdetak lebih cepat. Aku merasa was-was.

“Biasanya kau bertanya tanpa perlu meminta izin. Lagi pula kenapa harus meminta izin? Tentu saja kau boleh bertanya apa pun kepadaku.”

Aku terdiam beberapa saat lamanya, menghela napas kemudian menghembuskannya perlahan. “Seandainya kondisi saat ini menuntut kita menunggu lebih lama, maukah kau tetap menungguku?”

“Kita sudah tiga tahun menunggu, dan aku tidak berpaling,” jawab Dalia dengan merdu. Jawaban itu jelas membuatku kembali menghela napas. Lega. Pengakuan yang menentramkan segenap nuraniku sekaligus meyakini kesetiaannya untuk menunggu nasib baik berpihak kepada kami berdua.

“Kau tidak akan pernah jemu menunggu?”

“Kenapa kau bertanya seperti itu? Memangnya apa yang bisa kita lakukan selain menunggu?”

Kali ini aku tersenyum lebar. Benar-benar yakin bahwa Daliaku tidak akan pernah berpaling hati.

***

Karena janji itu, aku sekarang telah menyicil sebuah apartemen sederhana untuk aku tinggali bersama Dalia suatu hari nanti. Setidaknya butuh tiga tahun lamanya bagiku untuk bisa melunasi cicilan apartemen murah di tepian kota Nablus ini. Aku bisa menyisihkan gajiku untuk membayar apartemen. Aku yakin bahwa pada akhirnya Tuhan akan memberikan kemurahan-Nya yang berlimpah dengan memberiku kesempatan untuk bisa menikahi Dalia.

Akan tetapi ternyata ekspektasiku terlalu tinggi. Aku terlalu jumawa untuk mendahului takdir Tuhan yang sudah pasti. Suatu senja yang damai berubah menjadi begitu muram dan kelam ketika aku menerima panggilan telpon dari Dalia. Hari itu benar-benar sudah seperti kiamat kecil yang memporak porandakan kehidupanku.

“Rasyid, aku ingin meminta maaf kepadamu. Aku harus menyerah dengan kondisi yang kita hadapi bersama. Usiaku sudah terlalu tua. Kau pun tahu itu. Kemarin, paman dari pihak ayahku datang ke rumah, melamarku untuk anaknya dan kedua orangtuaku setuju dengan rencana itu. Mereka berencana menikahkan aku dengan sepupuku dua bulan setelah ini.”

“Dan kau menyetujuinya?”

“Aku tidak mungkin menolak rencana orangtuaku. Lagi pula, mau sampai kapan kita menunggu? Apa kau pikir menunggu sampai kita mati pun sebagai opsi yang baik? Kita harus realistis dengan keadaan.”

Ponsel terjatuh dari genggamanku. Tubuhku bergetar. Aku menangis. Menangisi kehidupanku yang tidak baik-baik saja.

Sejak saat itu, Dalia tidak lagi menelponku. Munggkin dia sibuk dengan rencana pernikahannya. Aku tentu saja merasa sakit. Tapi aku lelaki yang tahu diri bahwa dengan menghubungi Dalia tidak akan pernah menyembuhkan luka batin selain menambah perihnya. Kisah kami berhenti di titik itu. Kami tak bisa memperjuangkan cinta kami berdua. Aku tidak menyalahkannya. Dia lebih realistis dengan keadaan. Ya, aku akui itu.

Berpekan lamanya aku mengurung diri di apartemen sialan yang rencananya aku beli untuk kehidupanku dengan Dalia di masa depan. Sekarang, dinging apartemen dan surat tagihan itu seakan mengejekku. Aku menangisi hari-hariku.

Suatu hari Umma datang dan bilang kepadaku, “Bisakah kau melupakan Dalia? Banyak gadis yang sama di kota ini. Kau bisa memilih gadis-gadis yang menarik hatimu.”

Aku menangis. Tangisan yang paling akhir untuk meratapi kisahku yang berakhir teragis. Setelah itu aku kembali mengingat apa yang dikatakan dalia kepadaku. ‘Kita harus realistis menghadapi kenyataan ini.’

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment