(Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen 'Kisah Cinta dari Bumi Para Nabi')
Apa yang bisa aku lakukan saat ini selain pasrah dengan nasib yang harus aku jalani? Aku sebenarnya tidak ingin berbagi kepadamu tentang kisah cinta yang aku alami saat ini. Tapi aku pikir semua akan terasa baik-baik saja ketika aku mengungkapkan semua gundah gulanaku kepadamu –selain kepada Allah yang paling utama, tentunya-. Baiklah, sudah tiga tahun lamanya aku telah jatuh cinta kepada Dalia, gadis bersahaja asal Khan Younnis yang telah menawan hatiku sejak kami bertemu tanpa sengaja.
Kau
pasti bertanya-tanya, bagaimana aku dan Dalia bisa bertemu? Aku pemuda Nablus
dan dia gadis Gaza. Sementara penjajah tidak memungkinkan penduduk di dua
teritori itu saling mengunjungi antar dua kota. Jadi, aku bertemu dengan Dalia
berkat program pertukaran pemuda yang diadakan oleh pemerintah Palestina di
kotaku.
Sayangnya,
Dalia tidak bisa datang ke Nablus karena terbentur izin penjajah. Akhirnya, belasan
pemuda –diantaranya adalah aku dan Dalia- menjalin hubungan di internet. Kami
mulai berbicara di grup, kemudian berlanjut ke percakapan pribadi, dan
menemukan bahwa kami punya banyak kesamaan. Satu hari, aku mendapati di
Facebook bahwa Dalia sedang berada di Yordania. Di tempat itulah aku melamar
Dalia dan meminta izin pada ayahnya. Bahkan
aku dan Baba nekat mengunjungi Gaza pada tahun 2012 dengan mengambil jalur
memutar melalui Mesir dan Yordania. Aku dan Baba menandatangani surat
perjanjian untuk menikah. Saat itu aku melihat semburat senyum dan harapan di
wajah Dalia.
“Suatu
saat kita akan menikah,” janjiku padanya. Dia mengangguk dengan keyakinan yang
begitu purna.
Namun
tiga tahun telah berlalu, dan 20 surat permohonan perjalanan telah dilayangkan,
dan kami belum juga bisa bersama.
Dalia
dan kawan-kawannya meluncurkan kampanye di Facebook mencari dukungan dari dunia
Arab untuk cinta kami berdua. Laman tersebut telah mendapatkan dukungan dari 40
ribu orang, mayoritas mendukung perjuangan kami untuk bersatu.
Melihat
dukungan yang melimpah, awalnya aku pikir semua akan baik-baik saja. Aku
berpikir bahwa kisah cinta kami akan berjalan tanpa pernah menghadapi lika liku
yang membingungkan. Tapi pada kenyataannya tidak semudah itu.
“Ketika
kau menjalin hubungan dengan gadis Gaza, maka itu sama saja mencari masalah
yang tidak bisa kau uraikan,” jelas Fadel sahabat karibku suatu hari.
“Apa
maksudmu?” tanyaku dengan hati bimbang. Sudah jelas aku tahu maksud dari
pernyataannya itu. Tapi aku ingin tahu sejauh mana Fadel tahu tentang hal ini.
“Orang
Gaza tidak akan pernah memiliki kebebasan untuk bisa berkunjung ke Tepi Barat. Begitu
juga sebaliknya. Lalu dengan cara apa kau bisa menikahi gadis itu?”
Aku
menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Fadel ada benarnya. Tapi…apakah aku
harus menyerah begitu saja? hanya karena batas-batas wilayah, tembok, check
point dan gertakan anjing-anjing Zionist itu? Aku pernah berjanji kepada Dalia
bahwa suatu hari aku akan datang kepadanya atas izin Tuhan. Aku akan menikahi
Dalia di hadapan kedua orangatuanya, memberikannya cincin paling indah dan
menjanjikannya hidup yang nyaman di Nablus. Kupikir kondisi kehidupan orang
Palestina di Tepi Barat jauh lebih menjanjikan daripada di Gaza yang terblokade
dari semua sisi.
“Maukah
suatu saat kau aku ajak ke Nablus dan kita hidup bersama di sini?” tanyaku
suatu hari padanya lewat sambungan telpon.
Dalia
menghela napas panjang. “Itu artinya aku harus meninggalkan kedua orangtuaku
dan adik-adikku di sini?”
“Tidak
apa-apa. Kita bisa mengirimi mereka uang secara rutin. Aku bekerja di klinik. Sebentar
lagi aku akan menjadi perawat di rumah sakit Nablus. Setidaknya gajiku lebih
dari cukup.” Aku mencoba meyakinkan Dalia bahwa pilihan untuk hidup bersama di
Nablus adalah satu pilihan yang realistis, masuk akal dan tentu saja
menguntungkan jika dilihat dari segi ekonomi.
“Tapi
uang saja tidak cukup. Batinku tidak akan pernas terpuaskan jika seandainya aku
tidak bisa mengunjungi keluargaku di sini.” Tentu saja. masih banyak
kekhawatiran yang menari-nari di benak gadis itu.
“Kita
tentu saja bisa mengunjungi mereka sewaktu-waktu.”
“Itu
mustahil. Sampai saat ini, perjalanan Antara Gaza dan Jerusalem pun tidak
mungkin dilakukan. Bahkan orang-orang Gaza tak akan pernah diizinkan keluar
dari jalur ini sampai mereka benar-benar menangis darah karenanya. Lalu, kau
pikir orang Zionis itu akan mengizinkan kita pulang pergi ke Gaza dan Nablus
dengan alasan kangen orangtua. Itu hal yang mustahil, Fadel.”
“Tapi
bagaimana dengan kisah kita?”
“Entahlah…”
Untuk yang kesekian kalinya aku mendengar helaan napasnya yang berat. Ada beban
di dadanya. Dan di dadaku ada beban dua kali lipat yang menghimpitku setiap
malam hanya karena memikirkan hal ini.
“Kalau
begitu, biarkan aku yang tinggal di Gaza. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk
bisa tinggal di sini. Aku yang akan mendatangimu, menikahimu di sana dan
tinggal selamanya di sisimu. Aku tidak keberatan meninggalkan keduaorangtuaku
di sini.”
Dalia
tertawa sumbang. “Apa yang bisa kau lakukan di sini, Rasyid Fadah? Apakah kau
begitu yakin bahwa hidupmu akan baik-baik saja di kota yang sekarat ini? Semua lelaki
di sini ada di ambang putus asa karena kemiskinan dan pengangguran. Jika kau
datang ke sini, maka kau hanya akan menjadi pengangguran yang hanya bergantung
pada bantuan yang tidak seberapa dari lembaga internasional.”
Kali
ini, aku yang menghela napas panjang. Lebih panjang dari helaan napas Dalia.
“Tapi
bagaimana dengan kisah cinta kita?”
“Aku
tidak tahu.”
Dalia
tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Jika dia saja bingung, maka aku jauh
lebih bingung tentang apa yang mesti aku lakukan untuk memperjuangkan kisah cinta
kami berdua. Agaknya kebingungan yang aku hadapi terbaca oleh kedua orangtuaku.
Mereka tentu sudah tahu kisah cinta kami karena aku pernah mengatakannya kepada
Umma dan Baba. Bahkan mereka juga sudah sering berbicara lewat skype dengan
Dalia dan kedua orangtuanya di Khan Younis. Mereka tentu saja merestui hubungan
kami, meski pada akhirnya mereka menyerah setelah tiga tahun menunggu.
“Sampai
kapan kau akan menanti?” Tanya ibuku suatu hari. Seperti biasa, sembari
mengelus puncak kepalaku. Dia memang selalu mengelus kepalaku sebagai ekspresi
rasa cintanya. Tak peduli jika aku sekarang bukan anak kecil lagi yang selalu
menempel pada ibunya. Aku kini pria dewasa yang sudah berusia tiga puluh tahun,
dan Umma selalu memanjaku layaknya anak kecil.
“Sampai
keadaan berpihak kepadaku, Umma.”
“Tapi
tiga tahun lamanya kita belum melihat perubahan itu.”
“Bahkan
sampai aku mati pun, aku rela menunggu.”
“Tapi
bagaimana jika Dalia tidak akan tahan untuk menunggu lebih lama lagi?”
Aku
tercenung beberapa saat lamanya. Akankah Dalia bosan menunggu nasib baik datang
kepada kami? Jika dia tulus dengan cintanya, tentu saja dia tidak akan pernah
putus asa menunggu takdir berpihak kepada kami berdua. Tapi…tentu saja aku
tidak akan bisa yakin sampai benar-benar bertanya langsung kepadanya.
Maka
di sore hari yang damai aku kembali menghubunginya. Kali ini yang mengangkat
Stayeh, adik keduanya yang sudah lulus sekolah menengah sejak dua tahun yang
lalu tapi masih menjadi pengangguran yang tidak memiliki nasib yang cerah.
“Hai
Rasyid, apa kabar?”
“Baik.
Bagaimana denganmu? Kau sudah menemukan pekerjaan yang layak?”
Ada
tawa sumbang di seberang sana. “Mencari pekerjaan di Gaza itu sama halnya
seperti mencari sebatang jarum kecil di dalam tumpukan jerami. Akhir-akhir ini
aku ikut pamanku melaut di pesisir. Tapi seminggu yang lalu paman mati ditembak
oleh anjing-anjing zionis itu karena melaut terlalu jauh dari lepas pantai. Seminggu
ini aku hanya berdiam diri di rumah.”
Setiap
kali berbicara tentang Gaza, ada kegetiran yang selalu merayap di dadaku. Yah,
kupikir kondisi di Nablus juga cukup mengkhawatirkan dengan serbuan kaum-kaum
pendatang yang sengaja diimpor untuk menggusur kami secara perlahan. Mereka datang
bergelombang dari tahun ke tahun dalam program pemukiman yang dicanangkan oleh
pemerintah Zionis. Mencaplok tanah-tanah leluhur kami dengan alasan ‘Ini adalah
tanah kami yang dijanjikan Tuhan.’ Kami juga cukup riskan dengan
serangan-serangan pemukim ekstrim yang menebang pohon-pohon Zaitun milik petani
Nablus. Tapi kupikir kondisi di Gaza jauh lebih mengerikan. Untuk kali ini aku
harus berpikir dua kali tentang rencanaku untuk datang ke Gaza dan tinggal di sana
demi Dalia. Andai jalan itu yang aku ambil, maka itu adalah cara paling konyol
dan bodoh. Itu sama saja menambah kesemrawutan, keputusaaan dan frustasi untuk
keluarga Dalia. Karena ada satu mulut lagi yang harus dipikirkan. Jika Stayeh
saja menganggur, maka jelas pendatang seperti diriku tak punya prospek yang
menjanjikan.
“Apakah
kau ingin berbicara dengan Dalia?”
Tanya
yang dilontarkan Stayeh mampu membuyarkan lamumannku. “Oh…ee…i-iya. Aku perlu
berbicara dengan kakak perempuanmu.”
“Baiklah.
Tunggu sebentar.”
Stayeh
masih belum menutup telpon. Aku mendengar dia berteriak memanggil Dalia. Tak berapa
lama aku mendengar suara gadisku itu. “Ada apa, Rasyid?”
“Aku
ingin bertanya satu hal kepadamu.” Entah kenapa jantungku sekarang berdetak
lebih cepat. Aku merasa was-was.
“Biasanya
kau bertanya tanpa perlu meminta izin. Lagi pula kenapa harus meminta izin? Tentu
saja kau boleh bertanya apa pun kepadaku.”
Aku
terdiam beberapa saat lamanya, menghela napas kemudian menghembuskannya
perlahan. “Seandainya kondisi saat ini menuntut kita menunggu lebih lama,
maukah kau tetap menungguku?”
“Kita
sudah tiga tahun menunggu, dan aku tidak berpaling,” jawab Dalia dengan merdu. Jawaban
itu jelas membuatku kembali menghela napas. Lega. Pengakuan yang menentramkan
segenap nuraniku sekaligus meyakini kesetiaannya untuk menunggu nasib baik
berpihak kepada kami berdua.
“Kau
tidak akan pernah jemu menunggu?”
“Kenapa
kau bertanya seperti itu? Memangnya apa yang bisa kita lakukan selain menunggu?”
Kali
ini aku tersenyum lebar. Benar-benar yakin bahwa Daliaku tidak akan pernah
berpaling hati.
***
Karena
janji itu, aku sekarang telah menyicil sebuah apartemen sederhana untuk aku
tinggali bersama Dalia suatu hari nanti. Setidaknya butuh tiga tahun lamanya
bagiku untuk bisa melunasi cicilan apartemen murah di tepian kota Nablus ini. Aku
bisa menyisihkan gajiku untuk membayar apartemen. Aku yakin bahwa pada akhirnya
Tuhan akan memberikan kemurahan-Nya yang berlimpah dengan memberiku kesempatan
untuk bisa menikahi Dalia.
Akan
tetapi ternyata ekspektasiku terlalu tinggi. Aku terlalu jumawa untuk mendahului
takdir Tuhan yang sudah pasti. Suatu senja yang damai berubah menjadi begitu
muram dan kelam ketika aku menerima panggilan telpon dari Dalia. Hari itu
benar-benar sudah seperti kiamat kecil yang memporak porandakan kehidupanku.
“Rasyid,
aku ingin meminta maaf kepadamu. Aku harus menyerah dengan kondisi yang kita
hadapi bersama. Usiaku sudah terlalu tua. Kau pun tahu itu. Kemarin, paman dari
pihak ayahku datang ke rumah, melamarku untuk anaknya dan kedua orangtuaku
setuju dengan rencana itu. Mereka berencana menikahkan aku dengan sepupuku dua
bulan setelah ini.”
“Dan
kau menyetujuinya?”
“Aku
tidak mungkin menolak rencana orangtuaku. Lagi pula, mau sampai kapan kita
menunggu? Apa kau pikir menunggu sampai kita mati pun sebagai opsi yang baik? Kita
harus realistis dengan keadaan.”
Ponsel
terjatuh dari genggamanku. Tubuhku bergetar. Aku menangis. Menangisi kehidupanku
yang tidak baik-baik saja.
Sejak
saat itu, Dalia tidak lagi menelponku. Munggkin dia sibuk dengan rencana
pernikahannya. Aku tentu saja merasa sakit. Tapi aku lelaki yang tahu diri
bahwa dengan menghubungi Dalia tidak akan pernah menyembuhkan luka batin selain
menambah perihnya. Kisah kami berhenti di titik itu. Kami tak bisa
memperjuangkan cinta kami berdua. Aku tidak menyalahkannya. Dia lebih realistis
dengan keadaan. Ya, aku akui itu.
Berpekan
lamanya aku mengurung diri di apartemen sialan yang rencananya aku beli untuk
kehidupanku dengan Dalia di masa depan. Sekarang, dinging apartemen dan surat
tagihan itu seakan mengejekku. Aku menangisi hari-hariku.
Suatu
hari Umma datang dan bilang kepadaku, “Bisakah kau melupakan Dalia? Banyak gadis
yang sama di kota ini. Kau bisa memilih gadis-gadis yang menarik hatimu.”
Aku
menangis. Tangisan yang paling akhir untuk meratapi kisahku yang berakhir
teragis. Setelah itu aku kembali mengingat apa yang dikatakan dalia kepadaku. ‘Kita
harus realistis menghadapi kenyataan ini.’
No comments:
Post a Comment