24 Oct 2021

Dia Tetap Sebagai Menantuku

 Cerpen oleh Husni Magz

 

Kau bertanya kepadaku, “Apa yang paling ditakuti oleh para ibu selain melihat putrinya tumbuh dewasa sementara belum ada lelaki yang datang untuk melamarnya? Aku pun merasakan hal yang sama. Putriku itu memang terlalu santai untuk urusan cinta dan jodoh.” 

 

Aku mengangguk. Bisa memahami kekhawatiranmu itu. Aku pun melihat bagaimana putrimu yang usianya hampir kepala tiga itu terlalu santai –sebagaimana yang kau ceritakan padaku bertahun lalu-. 

 

Ya, Lisa memang terlalu santai dan tidak mau peduli dengan omongan orang-orang di sekitarnya. Dia tidak peduli tentang omelan demi omelanmu –yang biasa dia panggil Umi- tentang jodoh dan cucu. 

 

“Kapan kamu mau nikah? Ummi sudah nggak sabar menimang cucu. Si Halimah saja, yang usianya sepuluh tahun lebih muda dari kamu sudah punya cucu.” Selalu, kamu selalu membawa-bawa nama Halimah di hadapan anakmu itu. Halimah, anak pertama dari kakak perempuanmu, atau uwak dari anakmu. 

 

“Ya…kan, kisah hidup si Halimah sama aku beda, Ummi,” begitulah elak Lisa setiap kali kau menyinggung-nyinggung si Halimah di hadapannya. Anakmu itu tidak pernah sakit hati ketika kau selalu membawa-bawa nama sepupunya itu. 

 

Pun Lisa tak peduli dengan omongan tetangganya yang menyebutnya sebagai perawan tua. Dia bilang, “Karena urusan jodoh itu urusan Tuhan, bukan urusan aku.”

 

“Setidaknya, kamu harus ikhtiar untuk mendapatkannya.” Engkau selalu bisa menjawab setiap kata yang keluar dari mulut anakmu. Kau tidak akan pernah memahaminya. 

 

“Bagaimana caranya?” tanya anakmu kala itu. “Apakah aku harus bertingkah genit sehingga setiap lelaki bisa memacariku? Sudah kubilang Ummi, aku tidak suka pacaran. Apa aku harus hamil duluan seperti gadis nakal? Kalau begitu, carikan saja lelaki yang memang cocok untukku, Ummi.”

 

Untuk jawaban yang satu ini, kamu diam dan tak berkutik. Kamu berpikir bahwa anakmu ada benarnya. 

 

“Sudahlah, yang penting sekarang Lisa enjoy dengan kehidupan yang Lisa jalani. Soal jodoh, nanti juga datang sendiri jika Allah menakdirkannya.”

 

Kamu hanya mengangguk pelan dan perlahan-lahan mulai memahami perasaan putrimu itu. Tapi tak berapa lama setelah itu putrimu datang dengan wajah yang semringah. Dia bilang, ada seorang lelaki mempesona yang datang berkunjung dan ingin berbicara kepadamu.

 

“Apakah dia calon suamimu?” tanyamu dengan roman yang lebih semringah dari Lisa. Sampai-sampai aku berpikir jangan-jangan kamu yang akan menikah dengan pria itu. 

 

“Aku tidak tahu, Ummi. Tapi tampaknya dia lelaki yang baik dan memiliki perangai yang luar biasa.”

 

“Bagaimana kalian bertemu?” tanyamu dengan nada yang sangat antusias. Lebih antusias dari pertanyaan suamimu kepada anak lelakimu tentang hasil pertandingan sepak bola yang tidak suamimu tonton karena beberapa alasan.

 

“Kami bertemu di kereta.” Maka mengalirlah cerita dari anakmu itu tentang pertemuan mereka berdua. Bermula dari pertemuan tak sengaja antar penumpang commuterline jurusan Bogor-jakarta, mereka mengenal satu sama lain. Tentu saja mereka bertemu hampir setiap hari. Karena anakmu bekerja di depok, dan tentunya lelaki itu juga seorang pekerja yang harus pulang pergi setiap hari. 

 

“Dia bekerja di Jakarta. Dan aku selalu melihatnya di jam yang hampir sama. Masuk di stasiun pondok gede. Tapi aku tidak tahu dia turun di stasiun yang mana. Karena aku dulu yang turun. Suatu hari, buku saku yang aku kantongi terjaduh di lantai commuter. Lelaki itu mengambilnya dan menyerahkannya kepadaku yang hendak turun dari gerbong. Hari itu aku terkesima. Tapi kami tidak punya waktu untuk berkenalan. Hingga dua hari berikutnya kami bertemu di gerbong yang sama dan saling berkenalan satu sama lain.”

 

Aku turut terkesima mendengarnya. Kau begitu antusias mengisahkan kembali kisah percintaan putrimu itu. Tak berapa lama setelah itu, tahu-tahu aku mendapatkan undangan pernikahan anaku. Aku turut berbahagia, tentu saja. Purnama demi purnama berlalu, dan aku tahu kau bahagia karena putrimu telah bersuami. Kebahagiaanmu semakin menjadi ketika Lisa mengabarimu bahwa dia tengah hamil. Aku berani bertaruh, kebahagiaanmu jauh lebih besar dari kebahagiaan putrimu sendiri. 

 

Berbulan-bulan setelah itu, putrimu melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat lucu. Cantik seperti ibunya. Tapi kau menangis sejadi-jadinya. Bukan tangis bahagia untuk sang jabang bayi yang terlahir ke dunia. Tapi tangis yang mengiringi kepergian Lisa untuk selamanya. Sungguh kasihan, putrimu itu mengorbankan nyawanya demi memberikan cucu untukmu. 

 

Kamu menangis tersedu-sedu. Aku tahu, berbulan-bulan lamanya kau berkabung atas kehilangan itu. Bayi mungil itu selalu kau dekap dengan linang air mata. Beruntung sekali menantumu selalu hadir untukmu.

 

“Kau tahu, aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri. Menantuku itu akan tetap menjadi anakku. Tak peduli orang-orang bilang dia mantan menantuku.”

 

Aku bisa memahami sisi emosional itu. Diam-diam aku salut pada pria yang pernah menjadi suami anakmu itu. Dia tidak meninggalkanmu. Tidak juga memisahkanmu dengan cucumu. Bahkan lelaki itu masih tinggal seatap denganmu, menemani rasa sepi yang seringkali merajam. 

 

Diam-diam, aku selalu berharap andai saja lelaki itu mau menikah lagi, dan wanita yang dia pilih itu adalah diriku sendiri. Tapi itu agaknya satu mimpi yang sangat berlebihan. Tapi dugaanku tidak meleset. Lelaki itu kembali menikah. 

 

“Apa kau tidak khawatir kelak cucumu dia bawa pulang. Dia punya kehidupan baru dengan istrinya dan dia akan melupakan masa lalunya,” pancingku suatu hari.

 

Kau termenung untuk beberapa saat lamanya. Agaknya kekhawatiran itu menyelusup di hatimu. Tapi waktu kemudian menjawab dengan sendirinya bahwa kekhawatiran itu tak bisa dijadikan alasan. Lelaki penuh pesona itu selalu datang kepadamu dengan simpuh bak seorang anak. Pun istri barunya, wanita itu pun menganggap kau sebagai mertua keduanya. Kau benar-benar beruntung karenanya. 

 

“Kali ini aku benar-benar mengikhlaskan kepergian Lisa, Nur,” ujarmu suatu hari, dengan tatapan yang menerawang. “Kali ini aku benar-benar bisa ikhas. Karena Tuhan telah mengganti keberadaan Lisa dengan hadirnya suami dan cucuku. Oh iya, bahkan sekarang Tuhan kirimkan istri barunya yang tak kalah beradab.”

 

“Bagaimana jika mantan menantumu itu ingin menikah lagi dan wanita itu adalah aku,” selorohku sembari menyibak rambutmu yang mulai memutih, mencoba mencari kutu yang bersembunyi di akar rambut.

 

Kau tergelak. “Itu pun jika dia tertarik padamu.”

TAMAT

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment