Sepertinya sangat jarang kita temukan adanya pelajaran sastra di pesantren. Bahkan mungkin tidak ada pelajaran sastra di pesantren, kecuali pada pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan di pesantren-pesantren modern yang memiliki sekolah formal di dalamnya.
Tapi ternyata justru di tatar sunda, para santri justru diajarkan sastra dangding dalam materi-materi ajar yang disampaikan oleh para kyai dan guru di kobong (kelas). Banyak materi pelajaran seperti akhlak, fiqih dan tarikh disampaikan dalam bentuk nadoman.
karya sastra tradisi yang berbentuk pusii (dalam bentuk syair) yang relatif pendek. Nadoman biasanya berisi puji-pujian terhadap keagungan Tuhan, Sholawat nabi, nasihat atau ajakan menjalankan ibadah. Selama saya mondok, saya seringkali diajarkan beberapa nadoman yang biasa kami 'haleuangkang (nyanyikan). Nadoman itu ada yang berupa materi pelajaran, atau hanya syair-syair yang biasa kami dendangkan di speaker masjid.
Misalkan seperti nadoman ‘tareh Rasul’ di bawah ini,
1
Nabi urang saréréa,
Kangjeng Nabi anu mulya,
Muhammad jenenganana,
Arab Kurés nya bangsana.
2
Ramana Gusti Abdullah,
Ibuna Siti Aminah,
dibabarkeunna di Mekah,
wengi Senén taun Gajah.
3
Robiul awal bulanna,
tanggal ka-dua belasna,
April bulan maséhina,
tanggal kadua-puluhna.
Tapi belakangan justru dari kalangan santri inilah muncul para sastrawan-sastrawan yang mengeluarkan genre baru bernama ‘sastra pesantren’ atau sastra santri. Meski labelisasi ini menurut saya kurang tepat karena justru akan membatasi para santri dalam berkarya. Karena justru sastra itu hanyalah sebagai alat, tidak perlu menyempitkan wilayahnya. Labelisasi ‘sastra pesantren’ ini menjadi beban moral tersendiri bagi para penulis sunda sehingga mereka tidak memiliki kreatifitas untuk menulis tema-tema di luar santri dan pesantren.
Kita kembali ke para penulis yang lahir dari latar belakang pesantren. Jika di tatar Sunda kita sudah mengenal Acep Zamzam Noor, Sarabunis Mubarok, Fauz Noor dan lain-lainnya. Sementara para penulis ‘kahot’ yang sudah dikenal masyarakat Indonesia kita mengenal Habiburrahman el-Shirazy yang berlatar belakang pesantren.
Maka, tentu saja para santri harus memiliki melek literasi yang tinggi dan memiliki jiwa seni literasi yang membumi. Sehingga mereka bisa bertarung di kancah aksara, menyampaikan nilai-nilai yang sarat spiritualitas lewat media sastra.
No comments:
Post a Comment