Cerpen oleh
Husni Magz
Aku menerima
amplop putih itu dengan hati yang penuh dengan suka cita. Tidak hanya kedua
bibirku, hatiku juga ikut tersenyum senang. Bagaimana pun juga ini adalah gaji
pertamaku sebagai guru honorer di Sekolah dasar tempat aku mengajar. Sekolah yang
sama dimana belasan tahun yang lalu aku belajar dari guru-guru tercinta. Bahkan
aku masih ingat, Pak Danang, sang kepala sekolah saat ini, dahulu adalah guru
Bahasa Indonesiaku. Dan sekarang beliau telah menjadi kepala sekolah.
“Ini Gajimu
selama sebulan mengajar disini, Karna,” ujar Pak Danang dengan senyuman miring
khas di bibirnya yang hitam karena asap rokok. Dia memang perokok berat. Tapi dia
tidak pernah merokok di hadapan murid-muridnya ketika dia menerangkan
pelajaran. Pun dia tidak pernah merokok di ruang guru atau ruang kepala
sekolah. Tapi tentu saja, kami para guru biasa melihat Pak Danang merokok di
kantin sekolah. Ah! Ternyata untuk mengamalkan ‘Guru digugu dan ditiru’ itu
gampang-gampang susah. Memang, guru harus jadi teladan, tapi…ya sudahlah.
“Maaf, gajinya
hanya alakadar. Karena kamu masih berstatus sebagai guru honorer disini,”
tambah Pak Danang. Masih dengan senyuman.
Aku mengangguk
dan melipat amplop putih itu, kemudian memasukannya ke dalam saku baju. Ah!
sungguh tipis sekali amplop ini. Aku berani bertaruh di dalamnya hanya terdapat
tiga lembar uang. aku tidak tahu pasti. Tapi aku harap, paling tidak tiga
lembar uang tersebut -jika memang tebakanku benar- adalah uang berwarna merah. Rasa-rasanya
kebahagiaan itu hilang dari jiwaku. Bagaimana mungkin aku mendapatkan gaji
hanya 300 ribu selama sebulan ini? Ah! sudahlah!
Aku pamit
dari ruang Pak Danang. Tujuanku sekarang adalah kantin Bu Euis. Sebulan lamanya
aku tidak pernah membayar 26 cangkir kopi, entah berapa puluh gorengan dan mie
instan. Yang jelas, Bi Euis selalu menulis urusan utang piutang itu di buku
besarnya.
Aku selalu
bilang kepada Bi Euis, “Bi, bayarnya nanti pas saya sudah menerima gaji ya!”
“Alaaah,
gampang atuh Pak Guru!” timpal Bi Euis dengan kedipan mata. Setiap kali aku
pesan kopi, beberapa potong pisang goreng atau gehu, dan ditambah dengan mie
instan di jam istirahat, Bi Euis selalu mencatatnya.
“Bi, saya
mau bayar uang kopi,” ujarku sembari merogoh saku.
“Euleuh Pak
Guru udah menerima gaji, ya,” goda Bi Euis disertai dengan tawa renyahnya.
“Jadi,
semuanya berapa, Bi?”
“Semuanya….sebentar,”
Bi Euis membuka buku besar piutang yang sudah kumal karena telah disentuh
tangannya yang tangginas untuk yang keseribu kalinya, “Semuanya jadi tiga ratus
ribu, Pak.”
Aku membuka
amplop itu dan tercenung ketika aku dapati di dalamnya dua lembar pecahan serratus
ribu dan satu lembar kusam hijau senilai dua puluh ribu. Gusti! Gajiku sebulan
hanya dua ratus dua puluh ribu! Bahkan tidak cukup untuk uang jajan sekalipun!
“Wah, Bi,
hanya ada dua ratus dua puluh nih. Sisanya besok saja ya, Bi,” seruku dengan
rasa malu yang tiba-tiba menyeruak. Aku kemudian mengangsurkan semua gajiku
kepada Bi Euis.
Bi Euis
hanya tersenyum kecil dan mengangguk. “Tidak apa-apa, Pak Guru.”
***
sepulang dari sekolah, aku terus melamun sepanjang jalan. Sementara motor honda
jadul yang aku tumpangi sepertinya tidak mengerti dan memahami apa yang aku rasakan
saat ini. Terbukti di tanjakan Ko’on, motor takt ahu diuntung itu mogok tak karuan.
Untung saja setelah tanjakan itu ada bengkel Mang Toni. Lagi-lagi aku harus
ngutang ke Mang Toni dengan alasan yang dibuat-buat untuk menutupi kesengsaraan
hidupku.
“Maaf mang,
dompet saya ketinggalan di rumah. Bayarnya besok saja, ya,” ujarku dengan nada penuh
penyesalan.
“Gampang,
Pak Guru,” jawab Mang Toni sembari mengutak-atik hondaku.
Tentu saja aku tidak akan pernah dengan jujur
menceritakan kesengsaraanku kepada tukang bengkel itu. Mau ditaruh dimana
mukaku? Apa sudi aku menceritakan tentang gajiku yang dua ratus dua puluh ribu
itu? Barangkali penghasilan Mang Toni sebagai tukang bengkel lima kali lipat
lebih besar dibandingkan dengan penghasilanku sebagai guru honorer di sekolah
dasar kampung itu. Meski aku memiliki seragam yang menambah sinar wibawa,
selalu tampil bersih dan wangi, semua tak menjadi jaminan kesejahteraan. Beda dengan
Mang Toni yang setiap hari harus berkotor-kotor ria dengan debu, lumpur dan
belepotan oli. Andai aku bisa montir, barangkali aku sudah banting setir
menjadi tukang bengkel.
Aku Kembali menghela
napas dan mulai nyawang tentang perjalanan hidupku selama ini. Belasan tahun
aku berjibaku di bangku sekolah. Kemudian tahun-tahun yang kulalui semakin
berat terasa ketika telah menginjak bangku kuliah. Berbagai cara aku lakukan
untuk bisa lulus. Semuanya demi apa? demi selembar ijazah sarjana yang telah
lama aku idam-idamkan.
“Sekolahlah setinggi
yang kamu bisa. Karena orang pintar itu hidupnya mudah,” begitulah pepatah
almarhum emak belasan tahun yang lalu ketika aku duduk di bangku kelas tiga SD.
Emak selalu menasihatiku tentang pentingnya menuntut ilmu.
Sekarang,
aku Kembali bertanya kepada diriku, ‘Benarkah orang pintar itu sudah pasti
hidupnya mudah? Aku pikir, di luar sana ada ribuan sarjana yang menjadi
pengangguran dan tak mendapatkan pekerjaan. Sebagian diantara mereka
mendapatkan pekerjaan yang tidak mereka sukai. Sebagian yang lainnya
mendapatkan pekerjaan yang sangat mereka sukai, hanya saja gajinya sangat tidak
manusiawi. Seperti aku ini. Apaakah aku Bahagia? Apakah mereka bahagia? Barangkali
untuk urusan uang, Mang Toni dan Bi Euis jauh lebih pintar daripada diriku
sendiri.
“Bapak dulu
sekolah hanya sampai kelas dua SR. Kau lihat sendiri bagaimana kondisi bapak
sekarang? Yang Bapak bisa hanya membaca dan berhitung. Membaca pun masih terbata-bata,”
kali ini aku mengenang kegetiran kisah Bapak.
Ah Pak! Bahkan
dengan ijazah sarjana pun, kisah hidupku tak kalah getir dari kisah hidupmu.
“Pak Guru,
ini motornya sudah selesai.” Suara Mang Toni membuyarkan lamunanku.
“Bayarnya
besok ya Mang Toni. Semuanya jadi berapa?”
“Hanya tiga
puluh ribu,” jawab Mang Toni. Karena ada imbuhan ‘hanya’ di awal kalimat, aku
bisa menduga jika Mang Toni beranggapan bahwa dompetku sangatlah tebal. Maklum
saja, semua orang sudah pasti berpikir kalau profesi guru itu sangatlah menguntungkan.
Anggapan yang
sama agaknya juga datang dari Bi Salmi, tetangga sebelah rumah yang jarak
rumahnya hanya selemparan batu dari rumahku sendiri.
Suatu hari, Bi
Salmi menatapku dengan penuh kekaguman. Dia melihat seolah aku adalah seorang
pahlawan yang terlihat begitu gagah. “Kamu tampak sangat tampan dengan baju
seragammu itu, Karna,” serunya dengan decak khasnya.
Aku hanya
tersenyum tipis. “Ah, Bi Salmi ada-ada saja.”
“Andai saja
Emak dan Bapakmu masih hidup, tentu saja mereka akan bangga melihatmu menjadi
guru. Kau tahu, dahulu Emak dan Bapakmu pernah bilang kepadaku, bahwa mereka
sangat ingin memiliki seorang anak yang menjadi guru. Yah, meski mereka tidak
pernah mengenyam bangku sekolah. Oh iya, Bapakmu pernah sekolah sampai kelas
dua SR*”
Aku kembali
tersenyum. Kali ini senyuman kecut yang membuat batinku semakin meronta. Bi Salmi,
tetanggaku itu tidak akan pernah tahu bahwa tidak selamanya menjadi guru itu
sebagai profesi yang membanggakan. Apalagi jika hanya sebagai seorang guru
honorer sepertiku. Sungguh itu tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun
kecuali oleh mereka yang benar-benar mengalaminya.
Kemudian,
tiga tahun lamanya aku mencoba untuk bersabar. Saban tahun aku mendaftar CPNS.
Tapi agaknya nasib baik tidak pernah mendatangiku sehingga aku sampai di titik
nadir. Aku harus berhenti menjadi ‘kacung’ di dunia pendidikan. Ya, aku pahlawan
tanpa tanda jasa. Ya, aku harus berkorban demi anak bangsa yang kelak menjadi
penerus bangsa dan negara. Tapi aku juga memiliki perut yang harus diisi.
Maka, tak
perlu berpikir dua kali ketika suatu hari Yoni datang membawa setangkup janji. “Kar,
mau nggak kamu ikut aku kerja di Jakarta?”
“Kerja apa
Yon?”
“Biasalah. Kerja
di restoran sebagai pramusaji.”
Aku kemudian
melihat apa yang dipakai Yoni. Celana levis yang trendi, kaus bermerk dan smartphone
keluaran terbaru. Hm, sudah barang tentu gajinya sangatlah luar biasa. “Gajinya
berapa Yon?”
“Lumayan,
dua koma lima.”
Aku mendadak
lemas. “Dua ratus lima puluh ribu? Itu mah sama seperti gaji aku atuh…”
“Dua koma
lima juta, Dodol!”
“Aku ikut
kamu sajalah!”
Besoknya,
aku datang ke sekolah. Bukan untuk mengajar, tapi untuk mengundurkan diri dari
sekolah tempat aku belajar membaca dan menulis belasan tahun yang silam.
“Wah, saying
sekali, padahal anak-anak sangat suka sama kamu, Kar.” Pak Danang tampak begitu
menyesal dengan keputusanku. Tapi aku tidak pernah berpikir tentang bagaimana
perasaan anak-anak didikku. Aku hanya berpikir, bagaimana aku bisa hidup layak
sebagai manusia.
SR: Sekolah
Rakyat
Nyawang:
berangan-angan, melamun
Terimakasih
buat Emak di kampung, yang lewat sambungan telpon selalu menjadi penyambung
cerita kisah-kisah orang kampung yang sebagian besar menjadi inspirasi
cerpen-cerpenku.
No comments:
Post a Comment