13 Jul 2021

GURU HONORER

 


Cerpen oleh Husni Magz

Aku menerima amplop putih itu dengan hati yang penuh dengan suka cita. Tidak hanya kedua bibirku, hatiku juga ikut tersenyum senang. Bagaimana pun juga ini adalah gaji pertamaku sebagai guru honorer di Sekolah dasar tempat aku mengajar. Sekolah yang sama dimana belasan tahun yang lalu aku belajar dari guru-guru tercinta. Bahkan aku masih ingat, Pak Danang, sang kepala sekolah saat ini, dahulu adalah guru Bahasa Indonesiaku. Dan sekarang beliau telah menjadi kepala sekolah.

“Ini Gajimu selama sebulan mengajar disini, Karna,” ujar Pak Danang dengan senyuman miring khas di bibirnya yang hitam karena asap rokok. Dia memang perokok berat. Tapi dia tidak pernah merokok di hadapan murid-muridnya ketika dia menerangkan pelajaran. Pun dia tidak pernah merokok di ruang guru atau ruang kepala sekolah. Tapi tentu saja, kami para guru biasa melihat Pak Danang merokok di kantin sekolah. Ah! Ternyata untuk mengamalkan ‘Guru digugu dan ditiru’ itu gampang-gampang susah. Memang, guru harus jadi teladan, tapi…ya sudahlah.

“Maaf, gajinya hanya alakadar. Karena kamu masih berstatus sebagai guru honorer disini,” tambah Pak Danang. Masih dengan senyuman.

Aku mengangguk dan melipat amplop putih itu, kemudian memasukannya ke dalam saku baju. Ah! sungguh tipis sekali amplop ini. Aku berani bertaruh di dalamnya hanya terdapat tiga lembar uang. aku tidak tahu pasti. Tapi aku harap, paling tidak tiga lembar uang tersebut -jika memang tebakanku benar- adalah uang berwarna merah. Rasa-rasanya kebahagiaan itu hilang dari jiwaku. Bagaimana mungkin aku mendapatkan gaji hanya 300 ribu selama sebulan ini? Ah! sudahlah!

Aku pamit dari ruang Pak Danang. Tujuanku sekarang adalah kantin Bu Euis. Sebulan lamanya aku tidak pernah membayar 26 cangkir kopi, entah berapa puluh gorengan dan mie instan. Yang jelas, Bi Euis selalu menulis urusan utang piutang itu di buku besarnya.

Aku selalu bilang kepada Bi Euis, “Bi, bayarnya nanti pas saya sudah menerima gaji ya!”

“Alaaah, gampang atuh Pak Guru!” timpal Bi Euis dengan kedipan mata. Setiap kali aku pesan kopi, beberapa potong pisang goreng atau gehu, dan ditambah dengan mie instan di jam istirahat, Bi Euis selalu mencatatnya.

“Bi, saya mau bayar uang kopi,” ujarku sembari merogoh saku.

“Euleuh Pak Guru udah menerima gaji, ya,” goda Bi Euis disertai dengan tawa renyahnya.

“Jadi, semuanya berapa, Bi?”

“Semuanya….sebentar,” Bi Euis membuka buku besar piutang yang sudah kumal karena telah disentuh tangannya yang tangginas untuk yang keseribu kalinya, “Semuanya jadi tiga ratus ribu, Pak.”

Aku membuka amplop itu dan tercenung ketika aku dapati di dalamnya dua lembar pecahan serratus ribu dan satu lembar kusam hijau senilai dua puluh ribu. Gusti! Gajiku sebulan hanya dua ratus dua puluh ribu! Bahkan tidak cukup untuk uang jajan sekalipun!

“Wah, Bi, hanya ada dua ratus dua puluh nih. Sisanya besok saja ya, Bi,” seruku dengan rasa malu yang tiba-tiba menyeruak. Aku kemudian mengangsurkan semua gajiku kepada Bi Euis.

Bi Euis hanya tersenyum kecil dan mengangguk. “Tidak apa-apa, Pak Guru.”

***
sepulang dari sekolah, aku terus melamun sepanjang jalan. Sementara motor honda jadul yang aku tumpangi sepertinya tidak mengerti dan memahami apa yang aku rasakan saat ini. Terbukti di tanjakan Ko’on, motor takt ahu diuntung itu mogok tak karuan. Untung saja setelah tanjakan itu ada bengkel Mang Toni. Lagi-lagi aku harus ngutang ke Mang Toni dengan alasan yang dibuat-buat untuk menutupi kesengsaraan hidupku.

“Maaf mang, dompet saya ketinggalan di rumah. Bayarnya besok saja, ya,” ujarku dengan nada penuh penyesalan.

“Gampang, Pak Guru,” jawab Mang Toni sembari mengutak-atik hondaku.

 Tentu saja aku tidak akan pernah dengan jujur menceritakan kesengsaraanku kepada tukang bengkel itu. Mau ditaruh dimana mukaku? Apa sudi aku menceritakan tentang gajiku yang dua ratus dua puluh ribu itu? Barangkali penghasilan Mang Toni sebagai tukang bengkel lima kali lipat lebih besar dibandingkan dengan penghasilanku sebagai guru honorer di sekolah dasar kampung itu. Meski aku memiliki seragam yang menambah sinar wibawa, selalu tampil bersih dan wangi, semua tak menjadi jaminan kesejahteraan. Beda dengan Mang Toni yang setiap hari harus berkotor-kotor ria dengan debu, lumpur dan belepotan oli. Andai aku bisa montir, barangkali aku sudah banting setir menjadi tukang bengkel.

Aku Kembali menghela napas dan mulai nyawang tentang perjalanan hidupku selama ini. Belasan tahun aku berjibaku di bangku sekolah. Kemudian tahun-tahun yang kulalui semakin berat terasa ketika telah menginjak bangku kuliah. Berbagai cara aku lakukan untuk bisa lulus. Semuanya demi apa? demi selembar ijazah sarjana yang telah lama aku idam-idamkan.

“Sekolahlah setinggi yang kamu bisa. Karena orang pintar itu hidupnya mudah,” begitulah pepatah almarhum emak belasan tahun yang lalu ketika aku duduk di bangku kelas tiga SD. Emak selalu menasihatiku tentang pentingnya menuntut ilmu.

Sekarang, aku Kembali bertanya kepada diriku, ‘Benarkah orang pintar itu sudah pasti hidupnya mudah? Aku pikir, di luar sana ada ribuan sarjana yang menjadi pengangguran dan tak mendapatkan pekerjaan. Sebagian diantara mereka mendapatkan pekerjaan yang tidak mereka sukai. Sebagian yang lainnya mendapatkan pekerjaan yang sangat mereka sukai, hanya saja gajinya sangat tidak manusiawi. Seperti aku ini. Apaakah aku Bahagia? Apakah mereka bahagia? Barangkali untuk urusan uang, Mang Toni dan Bi Euis jauh lebih pintar daripada diriku sendiri.

“Bapak dulu sekolah hanya sampai kelas dua SR. Kau lihat sendiri bagaimana kondisi bapak sekarang? Yang Bapak bisa hanya membaca dan berhitung. Membaca pun masih terbata-bata,” kali ini aku mengenang kegetiran kisah Bapak.

Ah Pak! Bahkan dengan ijazah sarjana pun, kisah hidupku tak kalah getir dari kisah hidupmu.

“Pak Guru, ini motornya sudah selesai.” Suara Mang Toni membuyarkan lamunanku.

“Bayarnya besok ya Mang Toni. Semuanya jadi berapa?”

“Hanya tiga puluh ribu,” jawab Mang Toni. Karena ada imbuhan ‘hanya’ di awal kalimat, aku bisa menduga jika Mang Toni beranggapan bahwa dompetku sangatlah tebal. Maklum saja, semua orang sudah pasti berpikir kalau profesi guru itu sangatlah menguntungkan.

Anggapan yang sama agaknya juga datang dari Bi Salmi, tetangga sebelah rumah yang jarak rumahnya hanya selemparan batu dari rumahku sendiri.

Suatu hari, Bi Salmi menatapku dengan penuh kekaguman. Dia melihat seolah aku adalah seorang pahlawan yang terlihat begitu gagah. “Kamu tampak sangat tampan dengan baju seragammu itu, Karna,” serunya dengan decak khasnya.

Aku hanya tersenyum tipis. “Ah, Bi Salmi ada-ada saja.”

“Andai saja Emak dan Bapakmu masih hidup, tentu saja mereka akan bangga melihatmu menjadi guru. Kau tahu, dahulu Emak dan Bapakmu pernah bilang kepadaku, bahwa mereka sangat ingin memiliki seorang anak yang menjadi guru. Yah, meski mereka tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Oh iya, Bapakmu pernah sekolah sampai kelas dua SR*”

Aku kembali tersenyum. Kali ini senyuman kecut yang membuat batinku semakin meronta. Bi Salmi, tetanggaku itu tidak akan pernah tahu bahwa tidak selamanya menjadi guru itu sebagai profesi yang membanggakan. Apalagi jika hanya sebagai seorang guru honorer sepertiku. Sungguh itu tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun kecuali oleh mereka yang benar-benar mengalaminya.

Kemudian, tiga tahun lamanya aku mencoba untuk bersabar. Saban tahun aku mendaftar CPNS. Tapi agaknya nasib baik tidak pernah mendatangiku sehingga aku sampai di titik nadir. Aku harus berhenti menjadi ‘kacung’ di dunia pendidikan. Ya, aku pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, aku harus berkorban demi anak bangsa yang kelak menjadi penerus bangsa dan negara. Tapi aku juga memiliki perut yang harus diisi.

Maka, tak perlu berpikir dua kali ketika suatu hari Yoni datang membawa setangkup janji. “Kar, mau nggak kamu ikut aku kerja di Jakarta?”

“Kerja apa Yon?”

“Biasalah. Kerja di restoran sebagai pramusaji.”

Aku kemudian melihat apa yang dipakai Yoni. Celana levis yang trendi, kaus bermerk dan smartphone keluaran terbaru. Hm, sudah barang tentu gajinya sangatlah luar biasa. “Gajinya berapa Yon?”

“Lumayan, dua koma lima.”

Aku mendadak lemas. “Dua ratus lima puluh ribu? Itu mah sama seperti gaji aku atuh…”

“Dua koma lima juta, Dodol!”

“Aku ikut kamu sajalah!”

Besoknya, aku datang ke sekolah. Bukan untuk mengajar, tapi untuk mengundurkan diri dari sekolah tempat aku belajar membaca dan menulis belasan tahun yang silam.  

“Wah, saying sekali, padahal anak-anak sangat suka sama kamu, Kar.” Pak Danang tampak begitu menyesal dengan keputusanku. Tapi aku tidak pernah berpikir tentang bagaimana perasaan anak-anak didikku. Aku hanya berpikir, bagaimana aku bisa hidup layak sebagai manusia.

 

SR: Sekolah Rakyat

Nyawang: berangan-angan, melamun

 

Terimakasih buat Emak di kampung, yang lewat sambungan telpon selalu menjadi penyambung cerita kisah-kisah orang kampung yang sebagian besar menjadi inspirasi cerpen-cerpenku.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment