Lelaki itu dijuluki sebagai Ajengan Muda. Ajengan adalah
julukan untuk orang yang memiliki ilmu agama di tatar Sunda. Mungkin sinonim
dengan julukan Kyai dan ustadz. Tidak seperti
Ajengan pada umumnya, Ajengan muda itu gemar sekali memanjangkan rambutnya
sehingga agak kurang nyetel dengan gelarnya sebagai Ajengan. Dia juga gemar
sekali mengoleksi batu akik. Hamper-hampir semua jemarinya penuh dengan batu
akik sebesar mata kucing. Yang lebih mengherankan lagi, dia memanjangkan
kukunya. Padahal, Rasulullah menegaskan ummatnya untuk selalu motong kuku
sebagai sebuah kebiasaan fitrah.
Lelaki berjuluk ajengan muda itu tidak hanya mengajarkan
agama di mushola. Ia juga mengajarkan jampi-jampi islami kepada murid-muridnya
yang konon mampu menyembuhkan orang dari berbagai macam penyakit. Tidak seperti
ayat-ayat ruqyah syariyyah, sang ajengan justru mengajarkan tentang rajah, isim
dan jimat dalam bahasa arab.
Tak cukup dengan isim dan jampi, Ajengan juga mengajari
mereka ilmu kanuragan yang konon menjadi mempelajari kekebalan dari senjata
tajam. Siapa pun yang merapal mantranya, dia tak akan mampu tertembus peluru
atau tersabet tajamnya parang. Aku tentu saja hanya bisa geleng-geleng kepala
mendengarnya. Karena jika kanuragan itu diperbolehkan di dalam islam,
Rasulullah dan para sahabat tidak akan pernah terluka di medan perang. Apakah
mereka pikir, mereka lebih pintar dan jago dibandingkan Rasulullah dan para
sahabat?
Ajengan muda itu juga seringkali dipintai untuk mengobati
orang kampung ketika penyakit datang. Salahsatu diantaranya adalah Mak Sati
(bukan nama sebenarnya). Mak Sati mengeluh karena pergelangan kakinya yang semakin
mengecil dan seringkali dirajam sama sakit dan kebas. Orang bilang ia kena
reumatik. Yang lain bilang ia kena asam urat. Mak Sati pun beranggapan demikian
sehingga dia datang ke dokter untuk berobat. Persis, dokter bilang Mak Sati
kena asam urat dan reumatik. Dia diberi obat, tapi saying sekali, penyakitnya
tak sembuh-sembuh.
Tapi Mak Sati tidak puas hanya dari omongan orang dan resep
dokter. Dia mencari ‘ikhtiar’ lain dengan mendatangi Ajengan muda berpenampilan
nyentrik itu.
“Tolong landongan* abdi,” pinta Mak Sati dengan penuh harap.
Ajengan itu pun beraksi. Dia bergumam-gumam tak jelas, kemudian
meniupkan mantra yang dia baca ke atas permukaan gelas yang berisi air. (Untuk
bacaan ruqyah berupa ayat da doa, memang telah diajarkan oleh Rasulullah dan
juga diperkenankan menggunakan air sebagai media pengobatan.) Tapi mari kita
lihat apa yang dilakukan oleh Ajengan muda itu selanjutnya?
Setelah merapal doa lewat media air, Ajengan mud aitu ‘beraksi’
dengan meminum air itu dan menyemurkannya ke setiap penjuru rumah Mak Sati. Drama
berlanjut dengan adanya setan pengganggu yang menurut klaimnya telah datang.
Sang Ajengan bergulat hebat dengan setan tak kasat mata. Hingga sang ajengan
mengejar Setan itu keluar rumah panggung Mak Sati, menuju gerombolan pohon
pisang sembari berteriak-teriak, “Tah, Setanna naek kana cau!!”
Para tetangga melihat tingkah sang ustadz sembari berbisik
penuh kagum, “Kang Ajengan sedang menaklukan jin kiriman.”
Setelah setan ‘kabur’ dari rumah Mak Sati, Ajengan itu Kembali
menemui Mak Sati dan bilang, “Jin itu datang sebagai kiriman dari orang yang
dengki sama Emak.”
Kemudian Ajengan berlalu dengan menerima imbalan beberapa
lembar uang berwarna merah. Ada senyum rekah di bibir Ajengan muda tersebut
ketika dia menyesakan lembar uang itu ke saku jubah hijaunya.
“Sebagai penjagaan, saya berikan Mak isim,” ujarnya sembari
mengeluarkan kalung dari saku jubah yang sama. “Kalungkan isim ini, atau simpan
di depan pintu, niscaya setan tak akan datang.”
Mak Sati percaya saja. Dia tak tanggung-tanggung meminta satu
isim lagi. Karena dia pikir satu isim tidak cukup. Rencananya, satu isim dia
kalungkan di badan, satunya lagi dia gantung di depan pintu.
“Oh, mau satu lagi? Ini harganya 120 ribu,” ujar Ajengan
sembari mengeluarkan isim yang lain dari tasnya. “Insya Allah mujarab.”
Sejak kepergian Ajengan, Mak Sati semakin gelisah karena
hatinya diliputi tanya. Ajengan bilang, ada seseorang yang ngaheureuyan*
dirinya dengan cara mengirim jin untuk mengganggu dan membawa penyakit. Itu artinya
ada seseorang yang mendengki dirinya. Maka timbullah satu dua prasangka kepada orang-orang
yang pernah tidak menyukainya.
Begitulah laku sang Ajengan muda. Di mata orang-orang awam,
dia adalah ejengan ahli agama yang memiliki kelebihan dalam banyak hal. Tapi di
mataku, dia tak lebih dari seorang dukun lepus yang mendapatkan pundi-pundi
kekayaan dari jimat-jimat dan isim yang dia jual. Dia telah menyesatkan umat ke
lembah kesyirikan lewat ilmu-ilmu perdukunan yang dibalut dalam sorban dan
jubah Ajengan.
Kisah Ajengan muda itu adalah kisah nyata yang ada di kampung
saya. Bahkan, besar kemungkinan ada ajengan-ajengan lainnya selain Ajengan muda
yang saya ceritakan begitu gemar menyesatkan umat dari cahaya kebenaran.
Apa pun bentuk kemasannya, perdukunan tetaplah perdukunan. Sihir
tetaplah sihir. waspadalah
Landongan: obati
Isim: jimat berbahasa arab tanpa makna
Ngaheureuyan: menjahili
No comments:
Post a Comment