Artikel saya yang berjudul ‘Homoseksual di Pesantren’ menuai pro kontra di grup kepenulisan Facebook KBM. Sebagian orang menganggap saya orang yang tak tahu diri karena telah mencoreng nama baik pesantren. Diantara mereka meminta saya untuk menghapus artikel tersebut karena artikel itu disinyalir membuat para orangtua takut untuk memondokan anaknya di pesantren.
Oleh karena itu, di artikel tanggalan ini saya akan
menyampaikan lima klarifikasi yang saya harapkan bisa meredakan rasa tak enak
hati diantara kita.
Pertama, artikel itu ditulis sebagai informasi kepada orangtua dan para
pengelola pesantren untuk lebih waspada lagi. Karena barangkali orangtua dan
pengelola tidak pernah tahu tentang fenomena ini. Sebagaimana sangat mustahil
seorang santri yang belok melakukan pengakuan dengan jujur kepada orangtuanya
atau kepada pengelola pesantren. Sehingga hal ini harus diantisipasi sejak
awal. Yakni dengan mengontrol ketat para santri di pondok. Jangan merasa,
karena santri sudah ketat dalam urusan ‘interaksi dengan lawan jenis’ itu sudah
cukup
Kedua, untuk para orangtua yang merasa khawatir setelah
membaca artikel saya, maka saya sangat tekankan untuk tidak takut mengirimkan
anak-anaknya ke pondok pesantren. Seperti yang saya bilang di awal, kasus-kasus
itu hanya secuil jika dibandingkan dengan ratusan ribu pesantren yang ada di
nusantara. Tapi yang secuil itu tetap tidak boleh disepelekan. Karena selama
saya mondok pun saya menemukan tiga kasus homo di satu pesantren.
Ketiga, keburukan dan kebaikan dimana-mana ada. Entah itu di
sekolah, di kostan, di mess, bahkan di pesantren sekalipun. Saya menceritakan
sisi kelam di pesantren karena memang saya pernah nyantri. Sungguh lucu ketika
kemudian saya menulis ‘lesbianisme para TKW di hongkong’ karena saya belum
pernah jadi TKW. Lha wong saya pria tulen. Adapun penyimpangan dan sisi gelap
di sekolah, tentu kita semua sudah pada tahu. Jadi tidak perlu bertanya kepada
saya, ‘kenapa kok hanya pesantren yang disorot, padahal di sekolah dan di
tempat-tempat lain ada kasus yang lebih mengerikan.
Keempat, sebagaimana saran para orangtua di kolom komentar
artikel sebelumnya, lagi-lagi pendidikan seks sejak dini sangat diperlukan
sehingga dimana pun anak terdampar, mereka telah memiliki ‘imun’ dari
penyimpangan. Missal, beritahukan adab-adab dengan lawan jenis terhadap anak.
Beritahu juga kepada mereka bagian tubuh mana saja yang boleh dan tidak boleh
disentuh oleh orang lain. Beritahu mereka untuk segera melapor atau melawan
ketika seseorang menyentuh bagian intim mereka. Sedari awal, tanamkan
pengertian bahwa mereka tidak boleh tidur bareng, mandi bareng atau ganti baju
bareng sehingga aurat terekspos oleh orang lain.
Kelima, pesantren salafiyah yang saya maksud di dalam artikel
tersebut adalah pesantren tradisional yang mengajarkan kitab-kitab kuning.
Banyak yang menyangka bahwa yang saya maksud adalah pesantren ‘manhaj salafi’.
Padahal jelas beda antara definisi pesantren salafiyah dengan pesantren ‘manhaj
salaf’.
Keenam, artikel tersebut bukan serta merta menjelek-jelekan
pesantren salafiyah atau pesantren tradisional. Artikel itu hanya mengutarakan
pengalaman pribadi saya. Bahwa selama pengalaman saya menjadi santri, kasus
homoseksual itu hanya terjadi di pondok salafiyah dimana saya pernah belajar.
Sementara pondok modern yang pernah saya diami, saya tidak menemukan. Ini bukan
diskriminasi, tapi hanya bercerita pengalaman. Akan tetapi, dari
komentar-komentar para pembaca, ada juga kasus seperti itu di pondok pesantren
modern. Tapi lagi-lagi kebanyakan yang berbagi pengalaman juga mengalami hal
itu di pondok tradisional.
Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa artikel itu bukan untuk
menakut-nakuti, bukan pula untuk mencoreng nama baik pesantren. Meski saya mengetahui
kasus-kasus itu, saya tetap akan memilih pesantren sebagai lembaga pendidikan
ideal bagi adik-adik dan anak saya.
Karena jika dibandingkan dengan sekolah umum, pesantren
menawarkan kekuatan iman dan intelektualitas yang seimbang. Adapun baik dan
buruk, itu Kembali kepada pribadi masing-masing santri, didikan dan pantauan
orangtua sejak dini, serta dari kewaspadaan para asatidz.
Sekian klarifikasi saya, semoga dipahami.
No comments:
Post a Comment