21 Jul 2021

KLARIFIKASI TERHADAP ARTIKEL ‘HOMO DI PESANTREN’

 Artikel saya yang berjudul ‘Homoseksual di Pesantren’ menuai pro kontra di grup kepenulisan Facebook KBM. Sebagian orang menganggap saya orang yang tak tahu diri karena telah mencoreng nama baik pesantren. Diantara mereka meminta saya untuk menghapus artikel tersebut karena artikel itu disinyalir membuat para orangtua takut untuk memondokan anaknya di pesantren.

Oleh karena itu, di artikel tanggalan ini saya akan menyampaikan lima klarifikasi yang saya harapkan bisa meredakan rasa tak enak hati diantara kita.

Pertama, artikel itu ditulis  sebagai informasi kepada orangtua dan para pengelola pesantren untuk lebih waspada lagi. Karena barangkali orangtua dan pengelola tidak pernah tahu tentang fenomena ini. Sebagaimana sangat mustahil seorang santri yang belok melakukan pengakuan dengan jujur kepada orangtuanya atau kepada pengelola pesantren. Sehingga hal ini harus diantisipasi sejak awal. Yakni dengan mengontrol ketat para santri di pondok. Jangan merasa, karena santri sudah ketat dalam urusan ‘interaksi dengan lawan jenis’ itu sudah cukup

Kedua, untuk para orangtua yang merasa khawatir setelah membaca artikel saya, maka saya sangat tekankan untuk tidak takut mengirimkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Seperti yang saya bilang di awal, kasus-kasus itu hanya secuil jika dibandingkan dengan ratusan ribu pesantren yang ada di nusantara. Tapi yang secuil itu tetap tidak boleh disepelekan. Karena selama saya mondok pun saya menemukan tiga kasus homo di satu pesantren.

Ketiga, keburukan dan kebaikan dimana-mana ada. Entah itu di sekolah, di kostan, di mess, bahkan di pesantren sekalipun. Saya menceritakan sisi kelam di pesantren karena memang saya pernah nyantri. Sungguh lucu ketika kemudian saya menulis ‘lesbianisme para TKW di hongkong’ karena saya belum pernah jadi TKW. Lha wong saya pria tulen. Adapun penyimpangan dan sisi gelap di sekolah, tentu kita semua sudah pada tahu. Jadi tidak perlu bertanya kepada saya, ‘kenapa kok hanya pesantren yang disorot, padahal di sekolah dan di tempat-tempat lain ada kasus yang lebih mengerikan.

Keempat, sebagaimana saran para orangtua di kolom komentar artikel sebelumnya, lagi-lagi pendidikan seks sejak dini sangat diperlukan sehingga dimana pun anak terdampar, mereka telah memiliki ‘imun’ dari penyimpangan. Missal, beritahukan adab-adab dengan lawan jenis terhadap anak. Beritahu juga kepada mereka bagian tubuh mana saja yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain. Beritahu mereka untuk segera melapor atau melawan ketika seseorang menyentuh bagian intim mereka. Sedari awal, tanamkan pengertian bahwa mereka tidak boleh tidur bareng, mandi bareng atau ganti baju bareng sehingga aurat terekspos oleh orang lain.

Kelima, pesantren salafiyah yang saya maksud di dalam artikel tersebut adalah pesantren tradisional yang mengajarkan kitab-kitab kuning. Banyak yang menyangka bahwa yang saya maksud adalah pesantren ‘manhaj salafi’. Padahal jelas beda antara definisi pesantren salafiyah dengan pesantren ‘manhaj salaf’.

Keenam, artikel tersebut bukan serta merta menjelek-jelekan pesantren salafiyah atau pesantren tradisional. Artikel itu hanya mengutarakan pengalaman pribadi saya. Bahwa selama pengalaman saya menjadi santri, kasus homoseksual itu hanya terjadi di pondok salafiyah dimana saya pernah belajar. Sementara pondok modern yang pernah saya diami, saya tidak menemukan. Ini bukan diskriminasi, tapi hanya bercerita pengalaman. Akan tetapi, dari komentar-komentar para pembaca, ada juga kasus seperti itu di pondok pesantren modern. Tapi lagi-lagi kebanyakan yang berbagi pengalaman juga mengalami hal itu di pondok tradisional.

Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa artikel itu bukan untuk menakut-nakuti, bukan pula untuk mencoreng nama baik pesantren. Meski saya mengetahui kasus-kasus itu, saya tetap akan memilih pesantren sebagai lembaga pendidikan ideal bagi adik-adik dan anak saya.

Karena jika dibandingkan dengan sekolah umum, pesantren menawarkan kekuatan iman dan intelektualitas yang seimbang. Adapun baik dan buruk, itu Kembali kepada pribadi masing-masing santri, didikan dan pantauan orangtua sejak dini, serta dari kewaspadaan para asatidz.

Sekian klarifikasi saya, semoga dipahami.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment