Baru-baru ini, ada orang yang bilang bahwa fiksi itu haram hukumnya. Terlepas dari adanya fiksi islami yang membawa nilai-nilai islam dan ammar maruf nahi mungkar, orang tersebut tetap keukeuh dengan pendiriannya bahwa semua fiksi itu haram tanpa terkecuali. Benarkah?
Lewat artikel ini saya akan mencoba mengupasnya lebih dalam.
RAMAI-RAMAI HIJRAH GARA-GARA FIKSI ISLAM
Paska didirikannya Forum Lingkar Pena (FLP) Oleh kakak beradik, Helvi Tiana Rossa dan Asma Nadia, gelombang Fiksi islami telah mendapatkan tempat dan momentum. Penulis-penulis muda idealis bermunculan ke permukaan dengan karya-karya terbaik mereka. Seiring dengan didirikannya Forum Lingkar Pena, definisi dari fiksi islam itu sendiri telah membuat para penulis sadar akan pentingnya nilai-nilai islam yang harus mereka bawa.
Satu hal yang paling khas dari karya yang mereka telurkan adalah selalu kental dengan nilai-nilai dakwah dan amar maruf nahi munkar. Sebutlah misalnya Helvi dengan karyanya yang berjudul ‘Ketika Mas Gagah Pergi’. Konon, cerpen (yang dikemudian hari dimodifikasi menjadi novel) ini menjadi sebab banyak orang kepingin hijrah.
Kemudian kita juga mengenal Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang sangat fenomenal di jagat sastra. Kang Abik mampu membawa nilai-nilai islam dan dakwah yang sangat kental di dalam novelnya tersebut. Bahkan, saya sendiri mendapatkan banyak ilmu dari novel tersebut. Konon, setelah gelombang AAC muncul, banyak akhwat-akhwat yang kepingin memakai cadar sebagaimana tokoh Aisha yang digambarkan Kang Abik di dalam novelnya.
Ngobrolin tentang hijrah gara-gara fiksi, tentu saya juga tidak akan menafikan peran dan kontribusi majalah Annida. Majalah yang konon menjadi cikal bakal lahirnya gerakan FLP itu sendiri. Di kolom-kolom surat pembaca, kita sudah sering menemukan surat tentang bagaimana perjalanan hijrah mereka setelah membaca kisah-kisah fiksi yang dimuat di majalah dwimingguan Annida. Memang, di masanya, cerpen-cerpen Annida kental dengan ajakan untuk hijrah berhijab, menjauhi pacaran/hubungan terlarang, membela palestina dan semacamnya.
Jadi, masih mau bilang Fiksi haram? Ke laut aja deh!
FIKSI ISLAMI BAGIAN DARI GHAZWUL FIKRI
Senjata harus dilawan dengan senjata. Seni dilawan dengan seni. Film dilawan dengan film. Termasuk di dalamnya sastra/fiksi harus dilawan dengan sastra/fiksi.
Ketika kita menemukan fiksi-fiksi lendir picisan bermunculan, maka disaat yang sama kita harus giat menulis tentang pentingnya muruah seorang perempuan dan sucinya cinta dan pernikahan. Ketika kita menemukan fiksi yang menawarkan ide-ide liberal, maka disaat yang sama kita harus tampil terdepan menawarkan fiksi islam yang mengedepankan amar maruf nahi munkar.
Maka, tak heran jika di masa silam, antara sastrawan islam seringkali bersitegang dengan sastrawan sekuler dan komunis. Sebut misalnya, HAMKA dengan Pram. Meski karya-karya Pram sendiri tidak secara jelas menawarkan konsep komunisme, tapi Pram sudah kadung dituduh komunis di masanya karena bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) salah satu lembaga seni yang dibawah naungan PKI. Maka tak heran jika di masa itu Pram sering menyerang pribadi dan karya HAMKA.
Pun di masa sekarang, betapa fiksi-fiksi islami telah menjadi bagian dari gazul fiki untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Sudah tidak asing lagi tentang sastrawan yang ditangkap dan dipenjara oleh penguasa karena menyuarakan kebenaran lewat karya-karya fiksi mereka.
Bahkan bisa jadi, lewat fiksi/sastra, ada nilai-nilai dan muatan politis yang dibawanya. Sebagai permisalan, ketika di masa orba dulu, jilbab dilarang di sekolah/kampus. Para penulis islam pun giat melawan tirani soeharto yang anti islam dengan menawarkan fiksi-fiksi yang berkisah tentang perjuangan muslimah untuk mempertahankan hijabnya. Pun dengan sajak-sajak dan puisi yang mengirim pesan yang sama.
Maka sekali lagi ditegaskan, fiksi/sastra adalah bagian dari ghazul fikri yang tidak boleh disepelekan.
BAHKAN ULAMA PUN MENULIS FIKSI
Jika kamu menganggap bahwa fiksi itu haram, maka kamu sama saja menyepelekan para ulama yang telah dan pernah menulis dan berkontribusi dalam bidang sastra/fiksi. Sebut misalnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan HAMKA.
Beliau adalah seorang ulama asal Maninjau, Padang Pariaman yang menjadi ketua MUI Pertama. Beliau, selain sebagai seorang ulama yang mumpuni, juga seorang sastrawan besar yang menulis roman. Sebut misalnya Tenggelamnya Kapal Vander wick, Di Bawah Lindungan Kabah, dan masih banyak yang lainnya.
Apa? Kamu menganggap Hamka bukan seorang ulama yang mumpuni?
Mari kita lihat Syekh Umar bin Achmad Baradja. Beliau adalah seorang ulama yang lahir tahun 1913 dan mengarang sebuah kitab berjudul ‘Akhlak lil Banin’. Akhlak untuk anak-anak. Saya masih ingat bahwa saya belajar kitab ini sejak kelas 4 SD.
Karena kitab ini diperuntukan bagi anak-anak, maka cara penyampaiannya pun disesuaikan dengan pola pikir anak-anak. Yakni dengan kisah/cerita. Di dalam buku yang berjumlah tiga jilid ini, kita akan berkenalan dengan sosok Ahmad dan sosok lainnya yang dikenal memiliki akhlak yang baik. Sosok Ahmad dalam kisah ini hanya sebagai figure untuk memperkenalkan akhlak terpuji pada anak.
Apa kamu pikir Syaikh Umar telah melanggar syariat? No.
Oke, masih belum cukup? Mari kita buka buku fiqh yang membahas tentang faraid (hukum waris mewarisi). Hukum waris itu bikin pusing jika hanya teori, perlu contoh untuk mengungkapkannya. Sebagaimana soal cerita di dalam buku Matematika, seringkali kita menemukan penjabaran hukum waris lewat cerita pembagian waris. Dan ini fiksi.
Jadi, mau keukeuh bilang fiksi islami itu haram?
ULAMA TIDAK SALAH DENGAN FATWA ‘FIKSI HARAM’, YANG SALAH ITU KAMU
Orang yang mengharamkan fiksi islami itu biasanya orang yang bermodal fatwa ulama, tanpa bisa memahami latar dibalik fatwa.
Kemarin, seorang akhwat yang baru ngaji mencak-mencak dan keukeuh dengan pendiriannya yang mengatakan ‘fiksi itu haram tanpa terkecuali.’ Kemudian dia menyodorkan setumpuk bukti dari link website dan link youtube.
Missal, fatwa syaikh Fauzan rahimahullah yang menjawab pertanyaan tentang hukum fiksi. Jadi, syaikh bilang fiksi itu melalaikan.
Saya tidak menyalahkan syaikh tentu saja. Dia benar. Yang tidak benar adalah ketika kita menelan mentah-mentah sebuah fatwa tanpa menelusuri lebih jauh. Yang ditanyakan oleh penanya adalah tentang fiksi. Bukan fiksi islami. Andai kita menyodorkan hukum ‘fiksi islami’ kepada syaikh, bisa saja syaikh berfatwa itu boleh hukumnya.
Jadi, pertanyaan tentang fiksi yang diajukan kepada syaikh Fauzan itu masih umum/general, sehingga harus dijabarkan lebih luas.
Oke, anggaplah –misalkan- syaikh fauzan tetap mengharamkan fiksi islami. Tapi apakah syaikh fauzan tahu betapa fiksi islami memiliki pengaruh yang luar biasa di nusantara. Mungkin saja di arab Saudi (tempat syaikh tinggal), tidak ada istilah sastra/fiksi islami. Mungkin saja di Saudi orang-orang tidak familiar dengan fiksi islami. Mungkin yang mereka tahu hanyalah tentang Harry poter dan semisalnya.
Andai syaikh tahu betapa banyak orang hijrah lewat jalur dakwah fiksi ini, bisa saja Syaikh membolehkan, bahkan mendukung dakwah bil adab (dakwah dengan sastra) lewat fatwanya.
Kesimpulannya
Pertama, fatwa di sebuah daerah (arab Saudi) tidak bisa serta merta diterapkan di daerah lain dengan kultur dan kebiasaan yang berbeda
Kedua, fatwa yang masih umum/general tidak serta merta bisa diterapkan dalam ranah yang lebih spesifik.
Ketiga, fatwa itu tidak mengikat seperti alquran dan sunnah. Masih banyak perbedaan pendapat/fatwa di kalangan ulama. Jika ada ulama yang tidak membolehkan fiksi, banyak ulama yang membolehkannya. Jika kamu tidak sependapat, bukan berarti kamu bebas membabat pendapat yang berbeda denganmu.
No comments:
Post a Comment