Cerpen oleh Husni Magz
Biarkan orang berbisik-bisik tentang diriku yang di usia kepala tiga masih betah melajang tanpa pernah berpikir untuk mencari suami. Bahkan mereka tidak hanya berbicara tentang diriku, tapi juga tentang Emak dan Bapak yang tidak bisa mencarikan jodoh yang pantas untuk mengakhiri statusku sebagai perawan tua.
Mereka salah. Yang sebenarnya adalah Emak dan Bapak sudah berusaha untuk mencarikan jodoh untuk menutupi rasa risih mereka dari bisik tetangga yang terkadang mampu menyayat kesepianku sekaligus kekhawatiran orangtuaku. Tapi, semua gagal.
Alan, lelaki pertama yang datang hasil perjodohan orangtua dari kedua belah pihak mundur teratur dengan alasan yang sangat konyol.
“Saya terlalu hina di hadapan kamu,” akunya dengan menunduk, menekuri lantai rumah kami.
Tentu saja orangtua Alan kaya raya. Haji Samsudi terkenal sebagai seorang tengkulak cengkeh di kampung kami yang sudah munggah haji tiga kali. Satu level lebih kaya dari orangtuaku sendiri.
“Hina? Maksud Akang?” tanyaku dengan getar di hati. Aku sudah menduga perjodohan ini tidak akan sukses.
“Kamu punya gelar doktor. Saya hanya petani.”
Aku mendecak lidah. Iya, dia seorang petani. Tapi lumayan kaya untuk ukuran semua petani di kampung kami. Yang menjadi soal, dia hanya lulusan SMP.
“Aku tidak mempersoalkan ijazah,” balasku.
“Tapi aku merasa kecil hati,” akunya.
Aku menghela napas panjang. Ya sudah. Masa iya aku harus memaksanya untuk menjadi suamiku. Sungguh lucu sekali.
Tapi agaknya Emak tak akan pernah menyerah. Beberapa bulan setelah itu, seorang lelaki berusia 45 tahun datang bertamu ke rumah. Pak Rohadi, seorang juragan barang rongsokan yang terkenal di kota kecamatan. Konon, baru sebulan lamanya dia ditinggal mati sang istri ketika melahirkan anak keenam.
“Tidak!” seruku kepada Emak dengan tatapan tak senang.
“Kenapa?” tanya Emak dengan kerutan di keningnya yang aku sadari semakin hari semakin terlihat begitu kentara. Melengkapi lembar demi lembar uban yang berlomba menghiasi rambut yang dulunya hitam legam. Kadang aku berpikir, apakah uban yang terlalu cepat datang itu disebabkan oleh emak yang terlalu banyak menanggung beban pikiran? Termasuk urusan jodohku? Ah, masa iya. “Pak Rohadi memang tua. Dia juga seorang duda, tapi rupawan. Bukankah kau bisa melihat sendiri.”
Benakku kemudian mencoba memperlihatkan kepadaku garis rahang tegas Pak Rohadi si juragan rongsokan itu. Wah, dia memang tampan, terlihat matang di usianya yang ke 45. Tapi, mana sanggup aku punya anak tiri enam orang? Dan si bungsu yang baru dilahirkan itu harus aku urus dengan sepenuh hati. Gelengan kepalaku semakin kuat. “Tidak! Endah tidak mau repot dengan mengurus enam bocah yang masih kecil.”
Sementara Citra, adik keduaku berseloroh. “Wah, bagus itu Teh. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampui. Menikah dapat bonus enam anak. Tidak perlu repot-repot Teteh melahirkan anak.”
Selorohannya aku balas dengan timpukan timun yang sedari tadi aku cincang untuk bahan karedok. Masih untung bukan ulekan yang aku timpuk.
Sejak saat itu, aku tidak berminat dengan perjodohan. Biarlah, jika memang aku memiliki jodoh, Gusti Allah akan mendatangkan lelaki yang menjadi takdir hidupku itu kelak. Entah kapan. Tapi aku tidak begitu berharap mengingat aku disibukan oleh semua aktifitasku sebagai dosen di dua kampus sekaligus. Setidaknya, aku mencoba mengalihkan rasa gundahku dengan semua buku-buku yang mulai menggungung di rak dan di atas ranjang tempat tidurku. Setidaknya, aku melampiaskan rasa kesalku dengan memberikan setumpuk tugas untuk mahasiswaku sendiri.
***
Pagi itu, Citra mendatangi kamarku dengan menunduk. “Teteh yakin?” tanyanya untuk yang kesekian kalinya. Agaknya dia masih khawatir bahwa keputusannya untuk menikah dengan Saptaji menorehkan rasa sakit di hatiku. Warga kampung bilang, seorang adik pamali untuk melangkahi kakaknya dalam urusan jodoh.
Aku mengacak-acak rambut ikalnya dan tersenyum lebar. “Go Ahead, jika memang Saptaji itu jodohmu, untuk alasan apa kamu harus menundanya. Masa bodoh dengan komentar orang lain. Aku tidak keberatan kamu melangkahiku. Percayalah!”
Citra tersenyum lebar. Senyuman lega. Kemudian mengucapkan terimakasih kepadaku. Tapi agaknya aku telah membohongi perasaanku sendiri. Karena mau tidak mau aku merasakan kepedihan itu kembali mencuat.
Dahulu, Ayi, adik pertamaku juga datang dengan roman wajah yang sulit aku tafsirkan. Ada seorang lelaki datang ke rumah hendak melamar adik pertamaku itu. Seorang lelaki tegap calon seorang wartawan yang menempuh pendidikan di sebuah akademi militer. Tentu saja emak dan Bapak merasa bangga. Tapi kemudian mereka sadar bahwa ada satu pantangan yang tidak bisa dihindarkan; kakak si Ayi belum menikah.
“Bagaimana jika kamu menikahi kakaknya saja,” pinta Emak dengan nada hati-hati. “Kakak Ayi juga tak kalah cantik dan pintar. Namanya Endah. Umurnya pun sepantar denganmu.”
Aku terkesiap. Ayi juga tak kalah kaget dengan kalimat yang terlontar dari mulut Emak.
“Maaf Bu. Tapi saya mencintai Ayi. Saya mengenal Ayi dan tidak pernah berjumpa dengan kakaknya.” Tentu saja si calon tentara itu tidak ingin didikte dalam urusan cinta. Lagi pula, dia mencintai adikku, meski aku, emak dan bapak tidak pernah tahu bahwa Ayi memiliki hubungan spesial dengan seorang lelaki.
Sejak hari itu, Ayi seakan-akan tidak suka kepadaku. Barangkali dia berpikir ide menyerobot jodoh itu adalah ideku. Padahal itu hanya ide emak. Akan tetapi agaknya Emak sadar dengan kesalahannya sehingga mengizinkan Ayi dan si calon tentara itu merajut kisah cinta. Mereka menikah, setelah mendapatkan persetujuanku sebagai kakak perempuan yang dilangkahi oleh adiknya. Tak ada yang salah dengan itu. Ayi pun tak merasa bersalah. Setelah pernikahannya, dia dibawa pergi, diboyong oleh suaminya ke luar pulau jawa. Tepat setelah pernikahan itu, sang suami lulus dari akademi dan ditugaskan di pedalaman Papua.
Dan sekarang, Citra akan menjemput takdir jodohnya dengan Saptaji. Kembali meninggalkan jejak hening nan sepi di dalam hatiku. Diam-diam aku bertanya kepada Tuhan, ‘Gusti, kapan giliranku? Kau lihat adik-adikku telah kau berikan anugerah berupa suami yang mampu meredam rasa sepi mereka. Sementara aku…’
Kemudian aku merapal istigghfar. Bagaimana bisa aku menggugat takdirku sendiri.
Tapi agaknya Gusti Allah tidak membiarkanku bertanya-tanya. Beberapa bulan setelah itu, Tuhan mengirimkan satu kesempatan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Setelah mengajar mata kuliah antropologi budaya, aku segera berkemas dan keluar dari ruangan tersebut. Tapi sebuah suara menghentikan langkahku.
“Bu Dosen!” aku mendengar suara bariton itu dan menolehkan kepala. Beberapa meter di hadapanku, berdiri seorang lelaki yang tinggi badannya barangkali lebih dari 180 centi meter dengan tubuh yang besar bagai raksasa. Sampai-sampai aku harus mendongak untuk menatapnya. Tapi ini adalah kali pertama aku melihatnya.
“Kamu mahasiswa pindahan?”
“Iya bu. Saya Bayan. Tapi sepertinya kita pernah bertetangga, Bu,” jawab lelaki itu dengan senyum lebar.
Aku tersentak. Tercengang. Bayan? Apakah dia si bocah kecil ingusan yang dulu sempat aku asuh ketika mamaknya pergi bekerja di ladang? Apakah dia si Bayan kecil yang seringkali merengek-rengek ketika dijaili oleh teman-teman sepermainannya, kemudian aku datang untuk menghardik anak-anak nakal itu, mengusir mereka, kemudian menghiburnya sehingga dia berhenti menangis.
“Kamu si Bayan kecil anaknya Mamak?”
Dia mengangguk berkali-kali. Anggukannya cukup kuat. “Nggak menyangka Teh Endah jadi dosen Bayan.”
Jika dulu, aku menganggapnya seorang adik angkat, tapi kini, entah kenapa, ada desir di hatiku. Si Bayan kecil telah bertransformasi menjadi pemuda yang begitu menawan dengan suara baritone dan mata elangnya. Tapi aku tahu diri. Usia kami terpaut 8 tahun. Itu artinya, Bayan tidak mungkin menjadi jodohku. Tapi semoga saja Tuhan mencatatnya seperti itu. Hingga pada akhirnya Tuhan berhenti membuatku bertanya-tanya ketika Bayan bertanya, “Bu Dosen masih sendiri? Belum punya calon suami?”
Desir itu semakin menjadi.
TAMAT.
No comments:
Post a Comment