Rumah kosong yang dua bulan tak berpenghuni itu kini sudah dihuni oleh satu keluarga baru. Hal itu aku ketahui ketika aku melihat dua buah mobil box berhenti di depan rumah tersebut. Kemudian diiringi oleh dua lelaki bertubuh kekar yang menurunkan perabotan.
Kemudian mmenjelang sore, sebuah mobil avanza terparkir di depan rumah berukuran besar itu. Ada satu keluarga yang lengkap turun dari mobil itu dan mulai membereskan kekacauan dan kesemrawutan di sisa hari. Padahal, hari itu adalah hari puasa. Tapi mereka begitu bersemangat memindahkan barang-barang dan perabotan rumah tangga yang masih berserakan di luar rumah.
Aku melihat seorang ibu berhijab biru menggotong sofa dengan anak perempuan yang mungkin seumuran denganku. Kemudian seorang bapak-bapak --yang dari penampilannya aku bisa menduga lebih tua dari usia Papa—sedang menggotong lemari dengan anak lelakinya yang tampan. Tunggu! Tampan? Ya, jika kau ingin tahu seperti apa definisi tampan yang aku sematkan pada anak sulung sang tetangga baru, aku akan menjelaskannya kepadamu. Tapi nanti.
Yang jelas, sekarang aku sedang memperhatikan aktifitas tetangga baruku itu dari jendela kamarku di lantai dua. Coba lihat anak sulung tetangga baru itu. Tubuhnya jangkung atletis, beralis lebar dengan mata setajam mata elang, rambut berombak, kulit cokelat manis….Ya Tuhan, aku benar-benar naksir pada pandangan pertama. Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan! Bagaimana mungkin aku begitu mudah jatuh cinta pada pandangan pertama? Asal kau tahu, dua bulan yang lalu aku naksir pada tukang roti yang selalu lewat depan rumah. Aku pikir, paras si tukang roti itu mirip seperti opa-opa korea. Tapi ternyata itu tak berlangsung lama, karena setelah itu aku naksir dengan seorang kurir jasa pengantar barang yang selalu mondar mandir hampir setiap hari untuk mengantar pesanan Mama. Ah, mamaku memang gila belanja di market place! Aku naksir pada seorang kurir pengantar barang karena wajahnya mirip bintang film yang aku sendiri tak tahu namanya.
Dan…sekarang aku naksir pada anak tetangga yang memiliki paras seperti pangeran Arab.
“Ria!! Tolong beliin terasi di warung Bu Sarkem!!” itu suara Mama dari arah dapur. Suaranya cempreng sehingga sanggup menembus dinding kamarku yang tebal. Aku mendecakan lidah! Demi menjadi anak yang berbakti, aku harus menyudahi aktifitas menonton si anak tetangga baru itu. Mungkin aku akan melanjutkannya nanti.
***
Dua hari kemudian….
“Ma, mama udah kenalan sama tetangga sebelah?”
“Udah dong. Kemarin mama langsung berkunjung ke rumah Bu Khadijah,” timpal Mama sembari memasukan kue ke dalam kotak.
“Kok Mama nggak ngajak-ngajak sih.”
“Kemarin kan kamu lagi keluar bareng genkmu itu,” jelas Mama.
“Oh, jadi namanya Ibu Khadijah ya Bu. Kalau nama anak-anaknya, Ma?”
“Nggak tahu. Orang kemarin cuman ketemu ibunya. Emangnya kenapa sih kamu tanya-tanya nama anaknya?”
“Nggak kenapa-napa sih, Ma.”
Mama menutup kotak kue dan merapikannya. Kemudian Mama menatap Robi yang tengah leyeh-leyeh di sofa sembari menonton acara reality show di televisi 21 inchi. “Robi, tolong antarkan kue ini ke tetangga baru kita ya,” pinta Mama kepada adik lelakiku.
Aku tahu ini kesempatan terbaikku untuk lebih mengenal sang anak tetangga itu. “Jangan Robi Ma! Aku aja!”
“Tumben!” timpal Mama sembari menatapku heran. “Biasanya kalian selalu saling lempar tugas kalo Mama suruh sesuatu.”
“Ria udah tobat, Ma. Kemarin nonton sinetron azab, judulnya, ‘Karena malas membantu orangtua, kuburan seorang gadis mengepulkan asap.’
“Hush! Begitu tuh kalo keseringan nonton sinetron tak berkualitas.”
Tanpa menunggu lebih lama, aku segera menyambar kue basah bikinan Mama untuk aku berikan kepada sang tetangga baru.
“Hati-hati, Ria. Jangan sampai jatuh.”
***
Dengan semangat 45, aku mengetuk pintu rumah tetangga dengan hati yang berdebar-debar. Aku berharap semoga saja yang membuka pintu adalah pangeran muda yang selalu aku intip dari balik jendela kamar.
Setelah mengetuk dua kali dan mengucapkan salam sekali, daun pintu itu terbuka. Ternyata yang keluar adalah sang ibu. Dia tersenyum lebar demi melihatku berdiri di samping pintu.
“Saya Ria, Bu. Tetangga sebelah ibu. Ini Mama bikin kue untuk ibu sekeluarga.”
“Wah…terimakasih banyak ya, Ria. Kalau begitu, mari masuk.”
Tadinya aku hanya ingin mengantar kue saja dan berharap si pemuda yang aku taksir itu membuka pintu. Tapi karena ternyata ibunya yang menemuiku, maka tak ada salahnya aku masuk ke dalam rumah. Siapa tahu hoki keberuntungan datang untukku. Aku berharap pemuda itu datang kemudian kami bersitatap satu sama lain dan saling jatuh cinta. Seperti di sinetron-sinetron yang aku tonton itu lho.
Ya Tuhan! Harapanku terwujud! Aku benar-benar beruntung. Lelaki tampan itu keluar dari ruang kamar dengan pakaian yang rapi jail. Lihatlah rambutnya yang berombak tampak begitu klimis dan terawat. Dan jambangnya….aduh! aku tidak bisa mendeskripsikannya.
Lelaki itu menatapku dan memberikan senyuman yang menawan. Oh No! aku benar-benar salah tingkah! Tapi aku harus membalas senyuman manisnya. Ayolah! Duduk bergabung bersama kami,’ jeritku di dalam hati.
Voila! Keberuntungan kedua datang! Lelaki itu melangkah mendekati sofa dan duduk di samping sang ibu. Menatapku. “Ini siapa, Ummi?”
“Ini Ria, anak tetangga kita. Mengantar kue sebagai tanda selamat datang.”
“Wah…terimakasih ya, Ria.”
“Sama-sama.” Saat itu aku berharap andai saja aku bisa mengantar kue setiap hari ke rumah ini. Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi. “Nama Mas Siapa?” aku memberanikan diri menanyakan nama pemuda yang membuatku terpesona itu. Meski dengan resiko bisa mempermalukan diriku sendiri.
“Oh. Nama saya Wildan,” jawabnya masih dengan senyuman.
Aku hanya mengangguk, kemudian menundukan kepala karena rasa malu. Aku khawatir Wildan tahu bahwa aku tengah naksir padanya.
“Ma, aku mau ngaterin Lastri ke bidan dulu ya.” Wildan kembali beralih menatap ibunya yang dia panggil ‘ummi.’ Tapi tunggu, dia ke bidan mau mengantar Lastri? Apakah Lastri itu adik perempuannya yang kemarin aku lihat?”
Detik itu juga, sang adik perempuan muncul dari arah belakang. Senyumannya manis, mengembang di kedua bibirnya yang tipis. Ah! Pantas saja adiknya manis, kakak lelakinya juga tak kalah manisnya. Lastri mendekat ke arahku dan menyalamiku dengan hangat.
“Jadi, ini istriku, Lastri,” ujar Wildan.
Glek!
“Aku pikir, Lastri ini adiknya, Mas.”
Mereka bertiga tertawa renyah. Barangkali menertawakanku. Jangan-jangan mereka kini paham bahwa aku naksir sama lelaki bernama Wildan. Aku tak ingin tersiksa karena rasa malu. Lebih baik aku pamit saja sekarang.
TAMAT

No comments:
Post a Comment