Sudah seminggu kurang sehari aku melihat kehadiran bocah itu di komplek perumahan kami. Dua hari pertama, bocah itu datang sendiri sembari menggendong karung berukuran besar yang warna putihnya telah pudar oleh noda-noda hitam. Sementara di tangan kanannya terdapat pengait besi yang dia gunakan untuk mengambil barang-barang bekas yang masih bisa dia tukar di tempat penukaran barang rongsokan. Barang itu bisa karton, kardus, botol-botol bekas minuman, gelas plastic, atau besi berkarat yang dibuang orang ke tong sampah.
Aku melihat bocah itu selalu melongok ke dalam bak sampah yang berada di samping komplek perumahan, kemudian tangan kecilnya mulai mengaduk-aduk tong sampah untuk mencari barang-barang yang masih bisa diambil.
Aku selalu melihat bocah itu dari pintu rumah atau dari balik jendela. Rambutnya agak merah karena barangkali selalu terpanggang terik matahari. Bajunya gombrang dan kumal. Celana selutut yang dia pakai juga tak kalah kumalnya dengan baju yang dikenakan. Kakinya telanjang tanpa sandal. Menurut taksiranku, bocah lelaki itu seumuran dengan Wendi, adik bungsuku yang kini telah duduk di kelas 5 SD.
Tentu saja bocah itu bisa masuk ke dalam komplek. Karena komplek perumahan dimana aku tinggal tidak memiliki satpam. Komplek kami hanya komplek perumahan biasa yang tidak membutuhkan penjagaan sehingga siapa pun bisa masuk ke dalam; pengamen, pengemis hingga pemulung adalah pemandangan yang tidak asing. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini aku suka memperhatikan si bocah kecil itu. Ada perasaan iba yang menggelayut di hatiku.
Sementara, kemarin pagi ibu-ibu mulai bergosip tak jelas di depan gerobak sayur Mang Mardiman tentang pencurian.
“Ih tahu nggak sih jeng, pot bungaku ada yang nyolong,” ujar Sarwendah memulai obrolan. “Aku sih curiganya sama pemulung yang suka masuk komplek perumahan.
“Masa sih?” tanya Jeng Sari menimpali. Sementara tangannya mulai mengambil terong dua buah. “Mang, terongnya dua ya. Sama itu tuh, apa namanya…ia udang rebon.”
Mang Mardiman menyodorkan apa yang diminta Sari.
“Aku kipir sudah saatnya komplek kita punya satpam. Harusnya di gerbang depan itu dibangun pos satpam. Biar nggak sembarangan orang bisa masuk.” seru Bu Bela menimpali.
“Iya ih, risi tahu kalo lihat orang-orang luar pada bebas masuk ke dalam. Kemarin aja selama satu hari ada tiga orang yang datang ke komplek minta sumbangan. Yang pertama minta sumbangan pembangunan masjid. Terus abis itu datang satu lagi minta sumbangan pembangunan pesantren. Yang ketiga ada tiga orang yang mengatasnamakan yayasan yatim piatu dan pati jompo.”
“Hati-hati jeng, bisa jadi mereka itu para penipu yang menyamar jadi pengumpul sumbangan.”
“Tapi mereka bawa surat-surat lho. Aku lihat juga stempelnya di surat mereka.”
“Lha iya, jaman sekarang apa pun bisa. Bikin stempel gampang kok. Tinggal ke lapak tukang bikin stempel dengan membuat stempel masjid fiktif, jadi dah.”
“Ah, jangan suudzon mbak. Siapa tahu mereka benar-benar orang yang lagi mencari sumbangan untuk ummat.”
“Eh, ngomong-ngomong tentang pot Sarwendah yang ilang, perasaan ini bukan pertama kalinya,” Sari mulai mengalihkan obrolan dari penarik sumbangan fiktif.
“Iya, pot bungaku udah tiga kali ilang, sama bunga-bunganya sekaligus,” terang Sarwendah. “Aku sih curiga sama si bocah yang suka datang ngacak-ngacak bak sampah itu.”
Aku yang mendengar apa yang dikatakan Sarwendah langsung memalingkan muka ke sumber suara. “Kamu yakin dia pelakunya. Jangan main tuduh sembarangan lho, Jeng.”
“Lha emang siapa lagi. Orang rumahku paling dekat letaknya sama bak Sampah. Seminggu ini tidak ada pemulung yang datang selain si anak itu,” terang Sarwendah yakin.
**
Di hari ketiga, si bocah itu kembali datang ke dalam komplek perumahan dengan membawa pengait besinya. Kali ini tidak sendirian, dibuntuti oleh seorang bocah perempuan yang kira-kira berusia tujuh tahun dengan mata yang sayu dan kulit yang kecokelatan. Sesekali ingus keluar dari satu lubang hidungnya, kemudian dengan cepat dia kembali menghirupnya. Dia tampak kerepotan dengan ingusnya sendiri. Sama seperti sang kakak –aku asumsikan mereka kakak beradik- dia juga membawa karung di punggungnya. Rambutnya tergerai sebahu dengan potongan bob. Tubuhnya agak gemuk dibandingkan sang kakak. Tubuh mungilnya itu dibungkus oleh kaus oblong warna merah yang lebar. Karet di bagian lehernya melar sehingga sesekali merosot melewati pundaknya. Satu pundak tertutup, pundak yang lainnya terbuka. Dia memaki rok warna merah berlipit yang warnanya pudar. Aku pikir itu rok seragam SD.
Kakak beradik itu datang ke bak sampah, mengaduk-aduk sampah dan sesekali tangan kecil itu berhenti, mengambil gelas plastic bekas dan memasukannya ke dalam karung.
Aku masih memperhatikan mereka. Tiba-tiba saja aku teringat adik bungsuku Wendi dan keponakanku, Angelina yang usianya mungkin sama dengan si gadis kecil itu. Mataku tiba-tiba berkaca-kaca. Ah, aku memang sentimental untuk hal seperti ini.
Aku pun keluar dari beranda, berdiri di samping teralis pagar dan melongokan kepala. “Nak! Hei!” seruku sembari melambaikan tangan.
Kedua bocah itu memalingkan wajah mereka secara bersamaan ke arahku. Mereka tampak terkejut melihatku menatap mereka dari balik pagar.
“Sini!” seruku. Tanganku kembali melambai.
Kedua bocah itu tampak ragu. Tapi sejurus kemudian mereka bergegas menghampiriku. Tak lupa membawa karung di punggung mereka.
“Kalian nggak sekolah?” tanyaku ketika mereka berdua telah berdiri di luar pagar. Kali ini aku membukakan pagar dan memberi isyarat kepada mereka berdua untuk masuk ke dalam halaman rumah.
“Nggak Teh, sekarang kan libur corona,” terang si bocah lelaki dengan senyuman tipis. Sejurus kemudian dia menunduk, menekuri kaki telanjangnya yang kusam dan berdebu. Ada dua luka koreng di betisnya yang menjadi tempat nangkring seekor lalat yang barangkali mengikuti bocah itu sejak dari bak sampah tadi.
“Ayo masuk,” perintahku kepada mereka berdua.
“Nggak Teh, di luar saja,” timpal si bocah lelaki itu malu-malu. Sementara si gadis cilik di belakangnya sibuk menghirup ingus di lubang hidung sebelah kanan dan menggaruk betisnya.
“Nggak usah malu-malu. Ayo masuk,” pintaku untuk yang keduakalinya. Mereka pun masuk, kemudian duduk di pinggiran teras.
“Ayo duduk di kursi, Teteh mau ngobrol sama kalian.”
“Kaki saya kotor Teh.”
“Ya sudah, cuci kaki dulu di keran itu.” Aku menunjuk keran yang ada di pojok taman halaman depan. Kedua bocah itu pun menurut. Menuju keran dan mulai membasuh kaki mereka sampai bersih.
“Ingus adekmu itu dibuang juga lho,” seruku dari kursi rotan.
Si bocah lelaki itu mengangguk dan dia meminta sang adik untuk membuang ingus di hidungnya. Tak berapa lama mereka kembali ke teras. Aku mengisyaratkan mereka untuk duduk di dua kursi rotan yang tersisa.
“Nama kalian siapa?”
“Nama saya Sujang. Ini adik saya Nyai,” terang si bocah lelaki itu.
“Kalian sudah lama jadi pemulung?”
“Sudah dua tahun, Teh. Kalo si Nyai baru ikut sejak kemarin. Soalnya dia kepengen ikut.”
“Oh, orang tua kalian kerjanya apa?”
“Bapak sudah meninggal. Emak biasanya sih ngegosok di rumah orang. Cuma sudah seminggu ini emak sakit. Jadinya emak hanya tidur di rumah,” terang si bocah lelaki itu. Dia lebih sering menundukan kepalanya dan memilin-milin ujung kausnya. Sementara si gadis kecil itu hanya duduk terpekur sembari mengamati buah jambu yang ranum di atasnya dengan penuh minat.
Melihat tingkah si gadis kecil itu, aku jadi teringat sesuatu. “Kalian sudah pada sarapan?”
“Belum!” jawab si gadis kecil itu pendek. Dia langsung menatapku. Sementara sang kakak mencubitnya. Memintanya untuk diam dan tak melakukan hal yang memalukan. Sementara aku tersenyum melihat tingkah mereka berdua.
“Tunggu ya. Teteh ambil nasi dulu buat kalian.”
Aku segera beranjak ke dapur untuk mengambil nasi dan lauk pauknya. Sembari mencentong nasi ke piring, hatiku semakin hancur diamuk oleh rasa iba. Mataku basah oleh air mata yang tak bisa lagi aku tahan. Belasan tahun lamanya aku menginginkan anak, dan untuk pertama kalinya aku memiliki angan bahwa seandainya dua bocah itu adalah anak kandungku sendiri.
Bersambung
No comments:
Post a Comment