Ada saatnya kita memaafkan, ada saatnya pula kita memberi pelajaran dan pembalasan terhadap kedzaliman yang dilakukan. Sebelum kita memahami apa maksud dari pernyataan ini, mari kita simak sebuah kisah sebagai analogi atau perumpamaan.
Tersebutlah, ada tiga orang yang sangat shaleh berada di dalam masjid. Di saat yang bersamaan, seorang pemuda bengal masuk ke dalam masjid. Pemuda itu baru saja diberitahu oleh temannya bahwa ada tiga orang shaleh yang sedang beritikaf di dalam masjid.
Temannya bilang, “Hai, perlu kamu tahu bahwa tiga orang yang duduk di masjid itu sangat sholeh. Yang sebelah kiri lumayan shaleh, yang ditengah lebih shaleh dari yang kiri, dan orang yang berada di kanan sangat shaleh dibanding keduanya.”
Kemudian si pemuda bertanya kepada temannya, “Bagaimana saya bisa tahu kualitas keshalehan masing-masing orang tersebut?”
Kemudian temannya bilang, “Mereka sangat khusyu dan berkonsentrasi dalam ibadah. Kamu harus menguji kekhusyuan mereka dengan cara menampar pipi mereka. Mari kita dekati mereka.”
Kedua lelaki itu pun mendekati ketiga orang shaleh tersebut. Yang didekati pertama kali adalah orang shaleh yang berada di pojok kiri. Dia tengah berdzikir dan khusyu dengan dzikirnya.
Si pemuda mengucapkan salam, tapi karena saking khusyunya, si pemuda tidak menjawabnya dan tetap tenggelam dalam dzikirnya. Si pemuda itu pun menampar wajahnya. Dan lelaki itu tidak bergeming.
Maka si pemuda berkata, “Wah, kamu benar. Orang ini memang shaleh. Sampai-sampai dia tidak sadar telah ditampar.”
Si pemuda berpikir, “Orang ini shaleh dan khusyu sampai-sampai dia tidak menyadari apa yang terjadi.”
Kemudian si pemuda mendatangi orang kedua, mengucapkan salam, lagi-lagi tidak dijawab karena orang itu tengah khusyu dengan dzikirnya. Seperti orang pertama, dia juga mendapatkan jatah tamparan di pipi kanan.
Berbeda dengan orang yang pertama, orang kedua itu berhenti sejenak dan bertanya kepada si pemuda yang menamparnya, “Apakah tanganmu tidak kenapa-napa?”
Si pemuda pun berpikir, “Orang ini saleh sampai-sampai dia lebih memikirkan tanganku daripada pipinya. Dia mengajarkanku tentang memaafkan kesalahan orang lain.”
Kemudian si pemuda itu mendatangi orang ketiga, sama seperti rekan-rekannya, dia mengucapkan salam, kemudian menamparnya di pipi kanan.
Anehnya, orang yang ketiga ini justru menoleh dan balas menampar pipi si pemuda dengan tamparan yang lebih keras. Si pemuda pun terkejut karena tidak menyangka dengan reaksi yang akan dia dapatkan dari orang ketiga.
Si pemuda berkata, “Kukira kamu yang paling shaleh diantara dua temanmu.”
Maka si orang shaleh ketiga menjawab, “Aku harus menghentikanmu dari menampar pipi orang yang tidak bersalah sekaligus memperingatkannya dengan keadilan.”
Kisah perumpaman ini memberikan kita pelajaran yang berharga. Bahwa di dalam islam, kita harus melihat apa jalan keluar terbaik. Terkadang kita bisa memaafkan orang lain, tetapi di beberapa kondisi dan situasi, kita tidak hanya harus memaafkan, tapi juga menghentikan kejahatan, kedzaliman dan ketidakadilan.
Dengan alasan inilah kenapa di dalam hadits Rasulullah menyatakan bahwa jika kedzaliman dibiarkan dan tidak dihentikan, maka akan terjadi kekacauan. Ketika seseorang berdoa kepada Allah, sesholeh apa pun dia, doanya tidak terkabul karena dia tidak lagi beramar ma’ruf nahi mungkar. Ketika kejahatan, kemaksiatan dan ketidakadilan telah merajalela, sementara para dai diam dan hanya mengurus dirinya sendiri, disaat itulah hukuman kolektif dari Allah turun.
Diantara pelajaran berharga itu adalah hendaknya kita tidak hanya memikirkan kesadaran keshalehan pribadi, tapi kita juga harus memikirkan bagaimana supaya orang lain tahu kebenaran, bagaimana supaya orang lain berhenti bermaksiat dan bagaimana supaya orang lain berhenti bertindak dzalim. Hendaknya kita mencontoh orang shaleh ketiga, meski orang shaleh pertama dan kedua memiliki nilai yang baik, tapi dakwah dan mencegah kemungkaran memiliki kebaikan yang tidak bisa diabaikan.
No comments:
Post a Comment