18 Nov 2020

PENGALAMAN DITEMPELENG PAK GURU

Ketika saya masuk ke pondok pesantren dulu, saya diantar oleh bapak untuk menemui pengasuh pondok. Kemudian bapak bilang ke saya, “Saya nyerenkeun (menghaturkan) anak saya untuk dididik sama ajengan. Terserah mau diapakan juga ini anak, saya menerima. Karena saya tahu pendidikan yang diberikan kepada anak saya jauh lebih penting dari apa pun yang saya miliki.”

 

Maka, tak heran jika pimpinan pondok kami tidak pernah segan untuk ‘menyakiti’ kami jika kami melanggar norma pesantren. Mau pacaran? Resikonya digundul dan dikalungin karton besar dengan tulisan ‘SAYA TELAH PACARAN’ plus disabet rotan di betis yang rasanya begitu uwow.  Mau mencuri? Siap-siap dijemur dua jam sehari selama seminggu dan denda berat lainnya. Mau melanggar peraturan berbahasa? Siap-siap saja direndam di kolam di tengah malam. Mau menyelinap ke warnet? Siap-siap di rotan di betis. Bahkan, saya sudah bisa merasakan berkali-kali betis saya dicium rotan.

 

Suatu hari, saya mengadu kepada bapak tentang betapa kerasnya hukuman yang kami terima. Apakah bapak marah karena anaknya ‘dihinakan’ sedemikian rupa? Tidak. Justru beliau menasihatiku untuk sabar. Bahkan beliau selalu sesumbar bahwa hukuman itu baik untuk mendisiplinkan kami.

 

Dulu, di masa SMP saya pernah bandel karena berani berisik di masjid. Akhirnya guru agama datang dan menempeleng saya sebagai seorang yang menjadi lulugu (pemimpin) dari kebandelan teman-teman yang lain. Tempelengannya bukan tempelengan ala mimi peri yang cuman nempel di kulit. Bukan! Tempelengannya bikin pipi saya memerah, perih dan menyakitkan.

 

Pulang ke rumah, emak menyadari bahwa ada bekas tangan di pipi kanan saya. Saya mengulang semua kejadian sehingga emak pun ikut marah. “Kok gurumu itu galak banget sih!” seru emak dengan nada kesal.

 

“Lho, anak salah kok dibela,” timpal bapak.

 

“Iya, tapi kalo ditempeleng kayak begini berlebihan namanya,” protes emak.

 

“Ya itu urusan guru. Yang jelas, husni jangan sekali-kali melakukan kesalahan itu lagi, paham?”

Saya mengangguk, emak menghela napas.

 

Pada akhirnya, di zaman kami dulu, guru tak segan untuk ‘bermain tangan’ jika itu diperlukan. Dan kami para siswa yang tahu diri juga segan untuk melaporkan ‘kekerasan’ sang guru kepada kami karena kami tahu justru orang tua kami akan membela guru kami.

 

Tapi lihatlah zaman sekarang.

 

Ada seorang guru yang menggunduli siswanya yang gondrong dan ogah dinasihatin tentang pentingnya berpenampilan rapi. Endingnya guru yang digundulin orang tua yang tak tega anaknya diplontos. Dimana martabat sang guru?

 

Ada seorang guru yang dihukum orang tua murid dengan cara merangkak di lantai karena sang guru menghukum anaknya dengan perlakuan yang sama. Dimana kehormatan sang guru?

 

Pada akhirnya, sang guru segan ‘untuk bermain tangan’ meski hanya sentilan kecil. Karena urusannya akan berimbas pada HAM. F*king HAM! Pun, si murid akan begitu jumawa dan bangga untuk melaporkan ‘kekurangajaran’ sang guru kepada para orangtua mereka. Sehingga si anak tidak lagi takut untuk menghina guru, melawan aturan dan berbuat sekehendak mereka.

Sekali lagi, f*cking HAM yang kebablasan.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment