(Artikel ini bukan untuk menjelekkan salafi, tapi lebih kepada mengkritisi sikap beberapa oknum yang mengaku salafi tapi jauh dari manhaj salaf dalam berdakwah)
Selama ini kita menemukan fakta bahwa anak muda mulai mengenal identitas mereka sebagai muslim sejati. Hal itu ditandai dengan kajian keagamaan yang semarak dan kajian Sunnah dan kembali kepada kemurnian islam. Saya pun masuk ke dalam pusaran hijrah tersebut dan menikmati prosesnya. Saya turut berbahagia karena banyak orang yang menyadari pentingnya syariat Islam, haramnya riba dan bahayanya kemusyrikan dan dekadensi moral.
Tapi sayang sekali, diantara segelintir orang itu ada yang semangat berhijrah tapi kurang beradab terhadap sesama saudara muslim. Sebagian diantara mereka tidak mau lagi berhubungan atau bertoleransi dengan kerabatnya yang masih belum hijrah. Alih-alih berdakwah dengan jalan yang baik, mereka malah mudah menudingkan telunjuknya. Lebih parah lagi jika memperkeruh perbedaan tersebut dengan menjelek-jelekan pihak yang berseberangan dengannya.
Sejak kecil saya telah diajarkan untuk bertoleransi. Jangankan toleransi terhadap agama lain, terhadap sesama muslim pun saya diharuskan untuk toleransi karena pengalaman pahit bully sesama di bangku SMP dulu. Dulu, saya yang berbeda dengan anak-anak Nadhiyin sering dinyinyirin sebagai orang PERSIS. Hanya karena tidak qunut dan saudari-saudariku yang berhijab lebar dan berkaus kaki. Pengalaman terburuk dalam hidup saya. Saya pikir, kenapa sesama muslim sangat mudah menyalahkan.
Kemudian menginjak bangku SMA saya bergabung dengan organisasi Islam underground bernama NII. disana saya pun semakin bingung karena menemukan fakta bahwa organisasi tersebut begitu mudah menjudge orang lain 'kurang berislam', sementara hanya merekalah pemegang kunci surga. Taraf paling menyedihkan adalah ketika anggota jamaahnya tidak boleh menikah dengan orang diluar jamaah mereka, atau kalau tidak membujuk pasangannya untuk ikut serta.
Setelah lulus SMA, saya pun keluar dari organisasi tersebut dan mencoba mengenal banyak ormas, barokah, pengajian dan semacamnya. Sehingga saya berkenalan dengan orang Tarbiyah (PKS) dan HTI. Saya takjub dengan pemikiran Hasan Al-Banna, Sayyid Qutub dan Taqiyuddin an-nabhani. Meski saya mengaji di dua tempat (pengajian PKS dan HTI), mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mengaji dimana pun sah-sah saja.
Saya menemukan atmosfer yang menyenangkan di kedua jamaah tersebut. Orang-orang tarbiyah tidak pernah mempermasalahkan orang lain, pun dengan orang HTI. Masih ingat apa yang murabbi saya katakan, "kendaraan ormas dan harokah Islam mungkin berbeda-beda, tapi tujuannya tetaplah sama. Ini seperti kita ingin pergi ke Jakarta dengan kendaraan yang berbeda-beda. Ada yang memakai motor, kereta api, bis atau bahkan pesawat. Tak perlu menyalahkan pihak lain dan menganggap dirinya yang paling benar."
Kemudian saya mulai merambah pengajian saya. Hal ini dilatarbelakangi karena ketakjuban saya pada pemurnian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimakumullah. Selain itu saya juga membaca banyak karya Ibnul Qayyim murid Syaikh Islam Ibnu Taimiyah yang juga menjadi rujukan ikhwah tarbiyah dan HTI. Saya pada akhirnya mengenal salafi. Saya mulai memotong celana panjang saya yang isbal dan menumbuhkan jenggot saya sebagai manifestasi menghidupkan Sunnah. Istri pun alhamdulillah memakai cadar. Sementara keluarga besarku sebagian besar telah mengenal sunnah, meski sebagian belum. Tapi itu bukan menjadi alasan hubungan keluarga renggang. Tak ada yang berubah. Tak ada yang berbeda. Ketika kerabat tahlilan, kemudian saya tidak ikut serta, mereka mafhum dan tidak menyalahkan saya. Kami saling menghormati perbedaan yang ada. Pun istri, dia bisa bergaul dengan keponakan-keponakannya atau para tetangga yang berhijab pendek tanpa perlu memandang perbedaan.
Tapi kemudian saya terbelalak ketika ada sebagian teman dan ustadz yang sangat suka sekali menjelek-jelekkan orang lain yang tidak sepemahaman. Hal ini dimulai ketika saya mendengar ceramah seorang ustadz tentang kesesatan Ikhwanul muslimin dan HTI. Saya kemudian berpikir benarkah yang mereka tuduhkan? Karena selama saya mengaji dengan orang PKS atau HTI, saya tidak menemukan apa yang mereka tuduhkan.
Di lain kesempatan, saya menemukan ustadz yang mencela orang-orang yang ikut demonstrasi penghina agama ke Monas dengan sebutan khawarij. Kemudian ketika ada demonstrasi berjilid-jilid, ejekan mereka semakin panjang. Majlis taklim hingga majlis sosmed pun panas. Pecah. Kini tak lagi menjadi majlis ilmu, tapi majlis ghibah. Menghibah sesama muslim yang sama-sama berjuang. Sedih hati ini. Jika ustadznya bisa begitu, apalagi jamaahnya.
Mereka bilang anti politik, tapi sangat gemar menyerang muslim yang berpolitik. Jika memang tidak doyan berpolitik, harusnya tidak membahasnya. Cukup bahas masalah fiqih dan aqidah saja. Karena memang hanya itulah ranah mereka. Tak perlu menyalahkan muslim yang mengaji politik atau semacamnya.
Tapi alhamdulillah, itu hanya segelintir orang saja. Karena saya masih mengenal ustadz yang santun seperti ustadz Abduh Tuasikal, Firanda, Khalid Basalamah dan masih banyak lagi. Lisan mereka tidak kotor meski ada perbedaan pendapat dengan ikhwah atau ustadz yang bukan salafi.
Kemudian di fase selanjutnya saya mengenal Hasmi. Tak jauh berbeda dengan salafi. Hanya saja, organisasi ini welcome dengan perbedaan pendapat dan tentu saja tak pernah mencaci maki harokah atau golongan yang berbeda dengan mereka. Saya berkata di dalam hati, "Inilah rumah ideal saya."
Selama ini kita menemukan fakta bahwa anak muda mulai mengenal identitas mereka sebagai muslim sejati. Hal itu ditandai dengan kajian keagamaan yang semarak dan kajian Sunnah dan kembali kepada kemurnian islam. Saya pun masuk ke dalam pusaran hijrah tersebut dan menikmati prosesnya. Saya turut berbahagia karena banyak orang yang menyadari pentingnya syariat Islam, haramnya riba dan bahayanya kemusyrikan dan dekadensi moral.
Tapi sayang sekali, diantara segelintir orang itu ada yang semangat berhijrah tapi kurang beradab terhadap sesama saudara muslim. Sebagian diantara mereka tidak mau lagi berhubungan atau bertoleransi dengan kerabatnya yang masih belum hijrah. Alih-alih berdakwah dengan jalan yang baik, mereka malah mudah menudingkan telunjuknya. Lebih parah lagi jika memperkeruh perbedaan tersebut dengan menjelek-jelekan pihak yang berseberangan dengannya.
Sejak kecil saya telah diajarkan untuk bertoleransi. Jangankan toleransi terhadap agama lain, terhadap sesama muslim pun saya diharuskan untuk toleransi karena pengalaman pahit bully sesama di bangku SMP dulu. Dulu, saya yang berbeda dengan anak-anak Nadhiyin sering dinyinyirin sebagai orang PERSIS. Hanya karena tidak qunut dan saudari-saudariku yang berhijab lebar dan berkaus kaki. Pengalaman terburuk dalam hidup saya. Saya pikir, kenapa sesama muslim sangat mudah menyalahkan.
Kemudian menginjak bangku SMA saya bergabung dengan organisasi Islam underground bernama NII. disana saya pun semakin bingung karena menemukan fakta bahwa organisasi tersebut begitu mudah menjudge orang lain 'kurang berislam', sementara hanya merekalah pemegang kunci surga. Taraf paling menyedihkan adalah ketika anggota jamaahnya tidak boleh menikah dengan orang diluar jamaah mereka, atau kalau tidak membujuk pasangannya untuk ikut serta.
Setelah lulus SMA, saya pun keluar dari organisasi tersebut dan mencoba mengenal banyak ormas, barokah, pengajian dan semacamnya. Sehingga saya berkenalan dengan orang Tarbiyah (PKS) dan HTI. Saya takjub dengan pemikiran Hasan Al-Banna, Sayyid Qutub dan Taqiyuddin an-nabhani. Meski saya mengaji di dua tempat (pengajian PKS dan HTI), mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mengaji dimana pun sah-sah saja.
Saya menemukan atmosfer yang menyenangkan di kedua jamaah tersebut. Orang-orang tarbiyah tidak pernah mempermasalahkan orang lain, pun dengan orang HTI. Masih ingat apa yang murabbi saya katakan, "kendaraan ormas dan harokah Islam mungkin berbeda-beda, tapi tujuannya tetaplah sama. Ini seperti kita ingin pergi ke Jakarta dengan kendaraan yang berbeda-beda. Ada yang memakai motor, kereta api, bis atau bahkan pesawat. Tak perlu menyalahkan pihak lain dan menganggap dirinya yang paling benar."
Kemudian saya mulai merambah pengajian saya. Hal ini dilatarbelakangi karena ketakjuban saya pada pemurnian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimakumullah. Selain itu saya juga membaca banyak karya Ibnul Qayyim murid Syaikh Islam Ibnu Taimiyah yang juga menjadi rujukan ikhwah tarbiyah dan HTI. Saya pada akhirnya mengenal salafi. Saya mulai memotong celana panjang saya yang isbal dan menumbuhkan jenggot saya sebagai manifestasi menghidupkan Sunnah. Istri pun alhamdulillah memakai cadar. Sementara keluarga besarku sebagian besar telah mengenal sunnah, meski sebagian belum. Tapi itu bukan menjadi alasan hubungan keluarga renggang. Tak ada yang berubah. Tak ada yang berbeda. Ketika kerabat tahlilan, kemudian saya tidak ikut serta, mereka mafhum dan tidak menyalahkan saya. Kami saling menghormati perbedaan yang ada. Pun istri, dia bisa bergaul dengan keponakan-keponakannya atau para tetangga yang berhijab pendek tanpa perlu memandang perbedaan.
Tapi kemudian saya terbelalak ketika ada sebagian teman dan ustadz yang sangat suka sekali menjelek-jelekkan orang lain yang tidak sepemahaman. Hal ini dimulai ketika saya mendengar ceramah seorang ustadz tentang kesesatan Ikhwanul muslimin dan HTI. Saya kemudian berpikir benarkah yang mereka tuduhkan? Karena selama saya mengaji dengan orang PKS atau HTI, saya tidak menemukan apa yang mereka tuduhkan.
Di lain kesempatan, saya menemukan ustadz yang mencela orang-orang yang ikut demonstrasi penghina agama ke Monas dengan sebutan khawarij. Kemudian ketika ada demonstrasi berjilid-jilid, ejekan mereka semakin panjang. Majlis taklim hingga majlis sosmed pun panas. Pecah. Kini tak lagi menjadi majlis ilmu, tapi majlis ghibah. Menghibah sesama muslim yang sama-sama berjuang. Sedih hati ini. Jika ustadznya bisa begitu, apalagi jamaahnya.
Mereka bilang anti politik, tapi sangat gemar menyerang muslim yang berpolitik. Jika memang tidak doyan berpolitik, harusnya tidak membahasnya. Cukup bahas masalah fiqih dan aqidah saja. Karena memang hanya itulah ranah mereka. Tak perlu menyalahkan muslim yang mengaji politik atau semacamnya.
Tapi alhamdulillah, itu hanya segelintir orang saja. Karena saya masih mengenal ustadz yang santun seperti ustadz Abduh Tuasikal, Firanda, Khalid Basalamah dan masih banyak lagi. Lisan mereka tidak kotor meski ada perbedaan pendapat dengan ikhwah atau ustadz yang bukan salafi.
Kemudian di fase selanjutnya saya mengenal Hasmi. Tak jauh berbeda dengan salafi. Hanya saja, organisasi ini welcome dengan perbedaan pendapat dan tentu saja tak pernah mencaci maki harokah atau golongan yang berbeda dengan mereka. Saya berkata di dalam hati, "Inilah rumah ideal saya."
No comments:
Post a Comment