Jujur, seumur hidup saya belum pernah mengalami hal-hal mistis. Hanya saja, bapak dan kakek saya berkali-kali mengalaminya. Salahsatunya pengalaman ketika shalat bersama Jin.
Satu hari di medio tahun 2010, bapak memutuskan menginap di saung huma karena hujan sudah turun sejak siang. Sementara air sungai meluap dengan air bandang sehingga Bapak tidak bisa menyeberang. Lebih dari itu, keesokan harinya bapak harus ngaseuk (membuat lubang untuk menanam benih jagung) sehingga menginap di saung adalah pilihan yang tepat.
Selepas shalat ashar, bapak merebahkan dirinya di Palupuh saung ketika terdengar salam dari luar saung. Bapak pun bangkit dari Palupuh untuk melihat siapa yang datang. Rasa-rasanya dia tidak familiar dengan suara orang tersebut. Dan memang betul, setelah menengok dari dalam, Bapak tidak kenal siapa yang datang.
"Waalaikum salam," bapak membuka pintu saung. Disanalah berdiri sesosok lelaki tinggi besar dengan memakai pakaian serba putih plus peci putih layaknya pak haji. Tak ketinggalan sorban putih yang tersampir di pundaknya.
"Ini betul dengan Ajengan Kodin?" tanya pria misterius itu dengan senyuman tipis yang bertengger di kedua bibirnya yang agak tebal.
"Leres. Ini sama siapa ya?" tanya bapak dengan kerutan di dahi. Ada sekelebat tanya yang bermain di benak bapak. Ada satu keganjilan dari penampilan si pria itu.
"Saya Tarsim. Sudah bertahun-tahun ingin bertemu dengan Ajengan. Tapi tak kesampaian juga." Lelaki yang mengaku bernama Tarsim itu memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangannya yang besar. Mengajak bersalaman.
Bapak membalas senyum itu dan menjabat tangannya. "Mari silakan masuk." Sementara tanda tanya masih berkelebat. Bagaimana mungkin pria itu datang dengan pakaian putih bersih. Sementara bapak tahu bahwa pria itu muncul dari arah Utara kebun huma. Tak ada jalan setapak selain jalan setapak kecil yang biasa digunakan oleh para pemburu babi hutan. Setelah hujan turun, bisa dipastikan jalan setapak yang dipenuhi oleh perdu dan ilalang itu becek oleh tanah merah dan tentunya licin luar biasa. Tapi...bahkan sendal yang dipakai pria bernama Tarsim itu pun bersih tiada cela. Tak ada bekas tanah yang menempel di sendal atau bercak cokelat di celananya yang putih cerah. Ah sudahlah! Bapak berpikir tak perlu berpikir tentang hal yang remeh temeh.
"Dulu, kakek saya juga kenal dengan bapaknya Bapak Ajengan," terang Tarsim membuka percakapan.
"Tunggu. Pak Tarsim asalnya dari mana?" tanya bapak. Masih tak bisa mengenyahkan rasa penasarannya. Bagaimana tidak, baru pertama kalinya seseorang datang bertamu ke saung huma.
"Saya dari Kotabumi."
"Lampung?"
"Iya. Dulu kakek saya juga berjuang melawan penjajah Belanda sama Jepang. Setelah itu kakek gabung dengan N11," sambung Tarsim.
Bapak menganggukan kepalanya yang telah sempurna beruban. Dia pikir, pasti keluarga Tarsim ini keluarga pejuang pra kemerdekaan. Sama seperti mendiang kakek yang seringkali berkisah tentang masa penjajahan kepada anak cucunya.
"Masih aktif dakwah, Pak Ajengan?" tanya Tarsim.
"Masih. Alhamdulillah," jawab bapak saya sembari turun dari Palupuh dan mendekati tungku kayu yang terdapat kaitan kastrol di atasnya. "Oh iya, sebentar. Saya menjerang air dulu. Siapa tahu Pak Tarsim ingin kopi. Ini ada kopi tubruk."
"Oh tidak usah. Saya tidak haus," jawab Tarsim dengan gelengan kuat.
Satu tanya kembali muncul di benak bapak. Satu pertanyaan yang sedari tadi terabaikan. "Tadi pak Tarsim bilang dari Kotabumi, kok bisa sampai ke Ciamis. Dan bisa-bisanya tahu letak Huma saya yang di tepi walungan cimedang ini?"
"Oh, saya tanya ke orang-orang. Siapa sih orang yang tidak kenal Ajengan Kodin," timpal Tarsim masih dengan senyumannya yang ramah.
"Barangkali mau singkong atau jagung rebus?" Bapak mengangsurkan jagung dan singkong rebus yang sedari tadi terongok di samping."
"Terimakasih." Tarsim mengangguk. Tapi tangannya masih bersidekap dan tidak menyentuh suguhan. Tapi sebagai tuan rumah, tentu Bapak tahu diri. Dia menjerang air, kemudian menyeduh kopi tubruk ditambahi dengan gula. Tak hanya kopi, tentu saja air putih di teko juga diangsurkan. Mengeluarkan dua gelas tua dan mencucurkan air ke dalamnya. Berharap si tamu minum.
"Silakan minum. Pastinya capek perjalanan dari Ciamis. Dari Ciamis naik apa?"
"Jalan kaki," jawab Tarsim santai. Bapak yang kaget.
"Berapa jam sampai sisi walungan Cimedang sini?" tanya bapak lebih lanjut.
"Hanya dua puluh menit," jawab Tarsim masih dengan nada santai. Sekarang kekagetan bapak bertambah dua kali lipat. Normalnya, jika jalan kaki dari perbatasan Ciamis ke Cimedang di Buniasih membutuhkan setidaknya waktu perjalanan dua jam setengah. Ini hanya dua puluh menit. Terlalu mengada-ada.
"Serius?" tanya bapak disertai dengan tawa. Dia berharap si tamu hanya bercanda.
"Serius pak," jawab Tarsim dengan wajah meyakinkan. Tak ada senyum jenaka atau seringai yang biasanya menyertai wajah-wajah pengundang jenaka. Bapak setengah tak percaya. Hanya ada dua kemungkinan, pertama Tarsim itu gila. Kedua, Tarsim membual.
Satu lagi hal yang menjadi tanya di benak bapak. Tarsim tak terlihat berkeringat atau menampakan roman lelah ketika tiba. Satu tetes air di gelas pun tak dia teguk.
Pada akhirnya, mereka mengobrol ngaler ngidul. Mulai tentang obrolan tentang perjuangan umat Islam dalam menegakan syariat, berbagi cerita kakek semasa pra kemerdekaan, bahkan berbicara tentang perjuangan umat Islam paska kemerdekaan. Satu kesimpulan tersimpan di benak bapak; Tarsim ini bukan lelaki sembarangan. Dia orang cerdas dan memiliki ghiroh keislaman yang begitu tinggi.
Hingga akhirnya waktu shalat Maghrib tiba. Bapak dan Tarsim sama-sama beranjak dari Palupuh menuju padasan. Disana ada air yang jernih menggelontor dari selokan kecil yang beemuara di sungai Cimedang.
Bapak pikir tidak ada salahnya Tarsim jadi Imam. Dia persilakan Tarsim.
"Tidak. Bapak Ajengan saja yang ngimamin."
Bapak tetap keukeuh. Sebenarnya, hati kecil bapak menyimpan kekhawatiran dan ketakutan. Bagaimana pun juga, Tarsim itu orang asing yang baru dikenal beberapa jam. Terlalu dini untuk menyimpulkan dia sebagai orang yang baik. Pikir bapak, bagaimana jika ketika mengimami nanti, Tarsim mencelakai bapak dari belakang. Mencekik bapak, menghantam bapak dengan benda tumpul di bagian kepala, atau.... membayangkan hal-hal semacam itu membuat bapak berpikir dua kali untuk berdiri di depan Tarsim sebagai imam.
"Sudah, kamu saja," pungkas bapak. Tarsim pasrah. Dia jadi imam shalat Maghrib. Bapak terkesima. Bacaan Qur'an Tarsim begitu tartil dan mendayu. Menghanyutkan. Di kemudian hari, ketika bapak mengisahkan hal ini kepada saya, beliau mengatakan suara bacaan qurannya seperti qari-qari kenamaan.
Selepas Maghrib, bapak ingin sekali menjamu makan malam untuk Tarsim.
"Pak Tarsim mau menginap disini?" tanya bapak selepas wirid shalat Maghrib.
"Insha Allah," jawab Tarsim yakin.
"Kalau begitu, kita makan malam dulu saja. Kebetulan tadi siang cangehgar (ayam hutan) berhasil saya jerat di bukit. Saya mau bikin cangehgar panggang buat Pak Tarsim."
Tetiba wajah Pak Tarsim berubah pias. "Jangan Pak Ajengan. Saya tidak makan."
"Maksudnya?" Bapak yang telah membuka kurungan dimana cangehgar itu disimpan jadi urung membukanya dan menatap Tarsim keheranan.
"E....eh, saya masih kenyang. Lagi pula, saya sepertinya batal menginap disini. Saya harus pergi sekarang."
Bapak melongok. "Serius? Menginaplah. Mana bisa pulang jalan kaki malam-malam begini. Terlalu berisiko melewati hutan belantara di malam hari."
"Tak apa. Saya sudah biasa."
Akhirnya, setelah mengucapkan kata perpisahan, Tarsim beranjak turun dari Palupuh. Memakai sendal kulitnya dan turun dari saung.
"Assalamualaikum pak Ajengan. Lain kali kita bertemu kembali. Insya Allah."
"Waalaikum salam. Lho, tunggu. Pak Tarsim nggak bawa senter kan? Bawa saja senter saya. Saya punya dua," ujar bapak dari saung sembari mengambil senter di pamidangan.
"Tak usah Pak Ajengan," seru Tarsim sembari menuruni jalan setapak menuju sungai Cimedang yang bergolak dengan air bandang sisa hujan seharian.
"Pak Tarsim!"
Tiba-tiba tubuh bapak bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran di perut dan punggungnya. Bapak mengucap istighfar berkali-kali. Dilihatnya Pak Tarsim lenyap di rerimbunan pohon loa. Bukan lenyap dibalik rimbunnya pohon. Tapi lenyap begitu saja. Seperti sosok mistis di film-film. Menghilang tanpa jejak.
Sekarang bapak paham, kenapa Tarsim tak butuh senter. Kenapa baju putih Tarsim tak kotor, kenapa Tarsim tak kelelahan sehabis perjalanan. Dan kenapa Tarsim tak minum air dan ketakutan ketika ditawari makan.
Tarsim itu.... seorang Jin. Eh, apa sebutan untuk jin? Kata seorang jelas untuk orang, bukan untuk makhluk jin.
16 Aug 2020
Husni
Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.
you may also like
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
New Post
recentposts
social counter
[socialcounter]
[facebook][#][215K]
[twitter][#][115K]
[youtube][#][215,635]
[dribbble][#][14K]
[linkedin][#][556]
[google-plus][#][200K]
[instagram][#][152,500]
[rss][#][5124]
My Tweet

Blog Archive
About this blog
HusniMagazine
Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis..
husnimubarok5593@gmail.com
No comments:
Post a Comment