[Berdasar
Kisah Nyata]
Satu malam
yang begitu damai, lelaki itu datang ke rumah ayah dengan wajahnya yang teduh
dan sorot matanya yang dipayungi alis lebat yang hampir bertautan itu begitu
meyakinkan. Senyuman tulus tak pernah hilang dari kedua bibirnya yang tipis. Diam-diam
aku melihatnya dari balik tirai.
Belum genap
sepekan aku mengenal lelaki itu setelah Ustadzah Hanum bertanya kepadaku
tentang pernikahan. Ustadzah Hanum adalah murabbiyahku sekaligus bosku di rumah
hijab tempat aku bekerja dengan belasan akhwat binaannya. Selain berbisnis, dia
juga sangat piawai membina ruhaniah kami sebagai bawahannya.
“Nis, kamu
udah siap nikah kan?” tanya ustadzah Hanum saat itu.
Aku yang
hari itu membantunya melipat gamis dan memasukannya ke dalam plastik kemasan
langsung mendongakan kepala. “Lho, kok ustadzah nanya gitu sih.”
“Ya, siapa
tahu kamu udah siap nikah. Soalnya ada seorang ikhwan yang udah siap membina
kehidupan rumah tangga. Ikhwan itu nanya ke abinya Salsabila. Nah, makanya abi
suruh saya buat nayain langsung.”
“Lho, kenapa
saya, ustadzah?” jawabku dengan cengegesan. “Toh masih ada Sita, Fatonah,
Merlin, Syifa dan Fatiha yang juga sama-sama jomblo.” Timpalku kemudian sembari
menyebutkan satu persatu teman-temanku sesama jomblo. Hanya ada tiga akhwat
yang sudah menikah di rumah hijab dan halaqoh kajian kami.
“Saya sudah
tanya mereka, tinggal Syifa sama Merlin. Tapi kalo kamu nggak siap buat ta’aruf
nggak papa,” timpal ustadzah Hanum. “Siapa tahu Syifa siap.”
“Beri saya
waktu satu hari, ustadzah. Saya mau istikhoroh dulu,” balasku kemudian.
Ustadzah
mengangguk dengan diiringi senyuman. Memahami bahwa memang pilihan untuk taaruf
bukan perkara sepele yang bisa langsung dijawab iya atau tidak saat itu juga.
Perlu perenungan, dan perlu mengadu kepada Sang Pemilik kehidupan sebelum
benar-benar melangkah lebih jauh.
Aku berpikir
bahwa ikhwan yang kenal dengan abi (panggilan suaminya ustadzah Hanum) sudah
pasti seorang lelaki shalih dan alim. Tentunya, sebagaimana ustadz bilang,
orang-orang akan merasa nyaman bergaul dengan mereka yang memiliki karatker dan
kesamaan visi. Seperti burung merpati yang bergerombol dengan burung merpati.
Tidak mungkin burung merpati bergabung di kawanan burung gagak. Begitu juga
manusia.
Lagi pula,
apa yang aku nantikan? Apa yang harus aku tunggu? Umur sudah cukup untuk
memulai lembar baru dalam bingkai pernikahan. Bahkan mama sendiri sudah
berkali-kali menanyakan, apakah ada lelaki yang sudah ada di hati saya? Dan
sekarang inilah jawaban dari semua itu semua.
Bismillah.
Besoknya,
saya sampaikan kesiapan saya kepada Ustadzah Hanum.
“Alhamdulillah,
kalau begitu mulai besok kita mulai proses taarufnya, ya.” Ujar Ustadzah Hanum
sumringah.
Tak perlu
menunggu waktu lama untuk proses ta’aruf. Hari selanjutnya aku dan lelaki itu
saling bertukar biodata dan hari terakhir adalah proses nadzor di rumah
ustadzah Hanum. Alhamdulilah, kami berdua sama-sama sudah siap dan mantap untuk
melangkah ke tahap selanjutnya. Khitbah.
Lelaki itu
datang dua hari kemudian untuk mendatangi ayah.
Aku berani
menjawab 'ya' ketika ayah bertanya kepadaku tentang kesediaanku untuk menikah
dengannya. Baru setelah itu ayah menerima lamaran lelaki itu setelah dia yakin
bahwa aku menyetujui lamarannya.
Hampir
setahun lamanya kami berdua menyecap madu. Hingga pada akhirnya prahara itu
tiba begitu saja. Tanpa permisi dan tanpa tanda. Tak ada hujan tak ada angin,
lelaki yang sudah hampir setahun membersamaiku tiba-tiba saja berubah sikap.
Dia dingin, gampang marah dan selalu mencercaku.
Aku tidak
tahu salahku apa?
Aku tidak
tahu kenapa dia berubah?
Dan
belakangan aku tahu alasannya. Ternyata lelakiku memiliki hubungan special di
media sosial dengan ‘akhwat’ lain. Mereka biasa chat satu sama lain. Aku mual.
Aku benci. Aku jijik. Bagaimana mungkin? Bukankah suamiku alim? Bukankah dia
memiliki ilmu agama dan tampilannya pun sungguh islami dengan jenggot dan
jambang plus celana cingkrang.
Saat itu
juga aku memutuskan untuk berpisah. Dan lelakiku setuju. Padahal, waktu itu
kami sudah memiliki seorang malaikat kecil yang seharusnya menjadi perekat
cinta antara kami berdua.
Banyak orang
bertanya-tanya, kenapa? Tapi aku tidak akan pernah membuka aibnya. Masa lalu
tidak untuk diumbar, tapi dipendam dalam memori kenangan sebagai pembelajaran.
Banyak orang
bertanya-tanya, kok pasangan shaleh dan alim bisa bercerai? Rupanya, dalam
benak mereka perceraian dan keretakan rumah tangga adalah aib dan keburukan.
Padahal, banyak para wanita yang bercerai karena memang itulah jalan terbaik
untuknya. Aku tidak bisa mempertahankan rumah tanggaku karena lelakiku tak
punya niat untuk memperbaikinya.
Kemudian ada
sebagian orang yang melontarkan kata, "Lebih baik menikah dengan seorang
lelaki yang agamanya pas-pasan tapi tetap setia dan bertanggung jawab.
Pernyataan ini sepintar memang terlihat masuk di akal, tapi justru sangat cacat
logika. Kenapa bisa begitu? Bagaimana mungkin kita akan merasa nyaman bersatu
di dunia, sementara pada akhirnya di akhirat akan terpisah karena amal
masing-masing yang bagai langit dan bumi. si istri di surga si suami di neraka
karena agamanya yang pas-pasan. Relakah? Lagi pula, hanya wanita yang pas-pasan
agamanya yang merasa enjoy melihat suaminya yang agamanya amburadul. Pun,
wanita shalehah mana yang tidak resah bersanding dengan suami yang amburadul hubungannya
dengan Allah.
Jadi, tentu
saja lelaki yang terbaik adalah yang alim dan bertanggungjawab terhadap
keluarganya. hal inilah yang selalu saya pinta, dan selalu berlindung dari
sifat tercela.
Perlu kita
sadari bahwa lelaki yang baik itu sudah pasti alim. Karena kealiman seseorang
bisa dinilai dari amalnya, wabil khusus interaksinya dengan keluarga atau
istri. Bahkan Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik ummatku adalah yang
paling baik terhadap keluarganya/istrinya."
Jika ada
orang yang nampak alim, tapi nyatanya tidak bertanggungjawab dan menelantarkan
istrinya, maka sejatinya dia belum alim. Dia mungkin terlihat alim dari hafalan
qurannya, dari tampilannya yang islami, tapi sejatinya dia tidaklah alim.
No comments:
Post a Comment